“…Sering sama dirumah, tu lah yang Kakak bilang tadi Wi, Abangmu sakit kita kan jadi sering sama dirumah, ada yang jaga rumah, jadi kadang nggak ada
Abang, aduh..nggak ada bapak nggak enak ya nak, kalo Abang kan cemas, dikunci nggak pintu depan tu? Kadang Kakak kan nggak kepikir karna Kakak
sibuk? Kalo Abang trus diliatnya tuh. Kalo nggak ada abaang sepilah kalo ada Abang kan sering melucu sama anak-anak, kalo Kakak nggak pintar melucu-
melucu..” R2.W1b.606-616hal.15.
4. Interpretasi Partisipan II
Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga Rini, 2001. Kepuasan hidup yang diperoleh dari perkawinan ini disebabkan oleh
hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dipenuhi melalui perkawinan Walgito dlam Domikus, 1999, bahwa dalam perkawinan manusia dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan religius. Sementara itu, setiap kehidupan akan mengalami perubahan begitu juga ketika seseorang menikah akan
ada perubahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya. Partisipan mengakui bahwa pascastroke, banyak perubahan yang terjadi dalam
keluarganya. Termasuk perubahan tujuan pernikahan yang direncanakan sebelumnya, seperti keinginan untuk membangun rumah bertingkat sesuai dengan
cita-citanya dulu, selain itu banyak rencana dan cita-cita partisipan yang berubah pascastroke suami. Perubahan tersebut merupakan penyebab munculnya masalah
dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sawitri 2005.
Kondisi fisik dan psikologis suami mempengaruhi partisipan dalam merawat suami. Gejala fisik yang dialami oleh suami partisipan adalah kelumpuhan pada
tubuh bagian kanan yaitu pada bagian tangan kanan suami partisipan, tidak ada gangguan bicara, tidak ada gangguan pendengaran, suami partisipan bisa berjalan,
mulut sedikit mencong dan mampu melakukan hampir semua aktivitasnya sehari-
Universitas Sumatera Utara
hari tanpa bantuan partisipan. Kondisi fisik suami tidak membuat partisipan mengalami kesulitan dalam merawat suami. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Hartke King 2002 yaitu bahwa dalam beberapa kasus, tingkat depresi yang dirasakan caregiver dipengaruhi oleh tingkat
keparahan stroke, kerusakan, level depresi yang dimiliki pasien seperti karakteristik kepribadian pasien yang berhubungan dengan pengalaman depresi
caregiver. Selain itu, tingkat depresi yang dirasakan oleh caregiver juga dipengaruhi oleh self esteem caregiver yang tinggi, tugas yang banyak, dengan
ketidakmampuan pasien. Partisipan mengakui bahwa dirinya merasakan kesulitan pada bulan pertama
suaminya terserang stroke, dimana hal ini sesuai dengan pendapat Grant, Glandon, Elliot, Giger Weaver, 2004 yang mengatakan bahwa minggu dan bulan-bulan
pertama bagi caregiver stroke adalah saat yang berubah-ubah, tidak jelas dan merupakan waktu yang mudah mendapat kecaman.
Pascastroke suami, dalam diri partisipan juga muncul kecemasan akan masa depan keluarga dan anak-anaknya. Hal ini muncul di awal suami terserang stroke,
pernyataan ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Hartke King, 2002 dimana kecemasan, depresi, merasa bersalah, marah seperti dendam secara diam-
diam, mungkin merupakan pengalaman caregiver. Rasa bersalah sering muncul dalam diri partisipan ketika tidak sengaja membuat suaminya tersinggung. Rasa
marah pada suami juga muncul ketika partisipan merasa suami tidak memahami keinginan partisipan.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan merasa bahwa kondisi suaminya yang tidak terlalu parah menyebabkan partisipan mampu menghadapi kondisi suami, disebabkan oleh
kemampuan adaptasi partisipan yang baik, dan kemampuan suami dalam mengatasi masalah yang dihadapinya tanpa harus mengaharapkan partisipan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan O’Connel, Baker Prosser, 2003 yang mengatakan bahwa tingkat depresi yang dirasakan oleh caregiver juga dipengaruhi
oleh tugas yang banyak, dengan ketidakmampuan pasien dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
Komunikasi dengan suami berjalan dengan baik setelah serangan stroke, dimana suami tidak mengalami gangguan bicara. Partisipan dan suami adalah
pasangan yang menjaga keterbukaan dalam perkawinan, sehingga stroke tidak mempengaruhi komunikasi yang dirasakan oleh partisipan. Partisipan tidak
merasakan adanya masalah komunikasi berkaitan dengan kondisi suami yang terserang stroke. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Nancy Peter dalam
Shimberg 1998 bahwa ketika suami mengalami stroke, akan menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi karena pasien yang mengalami gangguan bicara.
Hal ini mempengaruhi penilaian partisipan terhadap aspek komunikasi dalam
perkawinannya.
Partisipan memiliki banyak kegiatan sejak suami mengalami stroke, dimana kegiatannya bertambah. Ketika partisipan memiliki waktu senggang, partisipan
memanfaatkan waktunya untuk membuat kue-kue kering, menonton televisi, tidur, dll. Partisipan sering membawa kue-kue masakannya ke arisan atau
Universitas Sumatera Utara
tempatnya mengaji. Hal ini dilakukan partisipan untuk memenuhi kebutuhan keuangan, dimana setelah serangan stroke, suami partisipan tidak lagi bekerja.
Partisipan merasakan adanya pengurangan waktu senggang sejak suaminya terserang stroke. Partisipan adalah sosok yang aktif dan memilih mempunyai
kegiatan dibandingkan dengan bermalas-malasan. Partisipan menginginkan suaminya mengerti akan keinginannya untuk menikmati waktu bersama dengan
keluarganya, dimana partisipan merasa suaminya cemburu bila partisipan menghabiskan waktu luangnya bersama dengan teman maupun keluarga
pasrtisipan. Berkumpul dengan keluarga dan teman adalah hal yang menyenangkan bagi partisipan. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan
oleh Paul Stephanie 2008 yang mengatakan bahwa istri sebagai perawat suami yang menderita stroke akan merasakan berkurangnya waktu luang untuk
melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika suami belum terserang stroke.
Waktu senggang sering dinikmati partisipan dengan suaminya, dimana partisipan dan suaminya sering bersama berdua dirumah saat anak-anaknya
sekolah. Kegiatan yang dilakukan bersama mulai dari santai bersama sampai dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan berdua dengan suaminya. Newman
Newman 2006, mengatakan bahwa pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan partisipan yang mengatakan kebahagiaanya menikmati waktu bersama degan suaminya.
Universitas Sumatera Utara
Sejak suami stroke, partisipan merasakan adanya perubahan dari segi keagamaan yang dimilikinya. Partisipan meningkatkan kegiatan keagamaan
dengan mengikuti pengajian-pengajian dan meningkatkan ibadah kepada Tuhan. Partisipan dan suaminya berasal dari latar belakang keluarga yang taat beragama.
Bagi partisipan, keagamaan berpengaruh kepada penilaiannya terhadap kondisi stroke suami. Partisipan ingin menjadi contoh bagi adik-adiknya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Landis Landis dalam Wahyuningsih, 2002, dimana orientasi keagamaan memiliki peran penting dalam
perkawinan karena tingkat keagamaan seseorang akan mempengaruhi pola pikir dalam kehidupannya sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan
perkawinan. Keagamaan membuat partisipan merasa harus menerima keadaan suaminya dan
kondisi perkawinan saat ini adalah cobaan dari Tuhan. Landis Landis dalam Wahyuningsih, 2006 juga mengatakan bahwa keyakinan beragama sangat
mempengaruhi kepuasan terhadap perkawinan dalam jangka waktu yang panjang. Partisipan dan suami juga mengisi waktu senggang untuk kegiatan keagamaan,
dimana menurut Hurlock 1999, yaitu bahwa mengisi waktu senggang dengan kegiatan keagamaan akan mampu mengurangi beban pikiran istri, memberikan
ketenangan dan kebahagiaan yang akan mempengaruhi penilaian istri terhadap perkawinannya. Dengan demikian kondisi keagaamaan saat ini akan sangat
mempengaruhi penilaian partisipan terhadap perkawinannya. Partisipan merasakan munculnya konflik dalam perkawinannya berkaitan
dengan kondisi suaminya yang stroke. Bagi partisipan masalah yang muncul
Universitas Sumatera Utara
masih bisa dihadapinya sendiri. Masalah yang muncul yang dirasakan berkaitan dengan kondisi suami yang tidak bisa sembuh dan tidak bisa bekerja. Partisipan
merasa suami yang tidak bekerja sebagai masalah dalam perkawinannya, dimana partisipan menginginkan suami yang memiliki status sebagai pekerja.
Ketika partisipan memiliki masalah dan merasa tidak sanggup memecahkannya sendiri, bisanya partisipan menceritakan masalahnya pada suaminya. Selain cerita
dan diskusi dengan suami, biasanya partisipan menceritakannya pada adik ipar atau mertuanya. Partisipan memilih melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat ketika suaminya marah. Bagi partisipan, menghindari suami yang sedang marah dengan melakukan kegiatan lain lebih bermanfaat dibandingkan
dengan melawan suami. Partisipan melakukan hal ini untuk menghindari suami
terserang stroke lagi. Dalam resolusi konflik partisipan terbuka dengan suaminya.
Partisipan tidak mengalami adanya masalah berkaitan dengan resolusi konflik dalam perkawinannya karena kemampuan partisipan dan juga dukungan yang
diterimanya dari keluarga dan suami. Sesuai dengan pendapat Henslin, 1985 yang mengatakan bahwa kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan
bila semua anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan
mendiskusikan dengan baik.
Partisipan mengakui kemampuan adaptasinya yang cepat dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada perkawinan dan kondisi suaminya. Partisipan
menutupi kekurangan ekonomi dengan cara menjalankan hobbynya memasak. Partisipan merasakan peningkatan penghasilan disebabkan oleh keadaan suami
yang stroke menuntut partisipan menjadi lebih berusaha dalam mencari nafkah,
Universitas Sumatera Utara
kondisi suami yang stroke menyebabkan partisipan mendapatkan ide-ide baru
untuk menghasilkan uang. Kondisi keuangan keluarga yang meningkat
menyebabkan partisipan tidak merasakan adanya gangguan dalam ekonomi keluarga saat ini. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh
Emmanuel et all, 2000 yaitu adanya masalah kesehatan menimbulkan kesulitan dalam bidang ekonomi, mengurangi pendapatan keluarga.
Keadaan ekonomi bertumpu pada partisipan sebagai pencari nafkah bagi keluarga, dimana suaminya tidak lagi bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Mc
Garry 2004 yang mengatakan bahwa mayoritas penderita stroke dikatakan pengangguran dan tidak dapat bekerja kembali pada pekerjaannya yang lama
Penderita stroke mempunyai dampak pada pendapatannya Richard Gordon, 2006. Begitu pula dengan keluarga partisipan. Partisipan merasakan dampak
stroke dalam pendapatan keluarga. Keadaan ini menyebabkan partisipan mencari penambahan penghasilan bagi keluarganya dan suaminya juga mendapat bantuan
ekonomi dari keluarga suaminya. Partisipan mengatakan bahwa kondisi suaminya yang stroke tidak
menyebabkan adanya gangguan dibidang seksual dalam perkawinannya. Partisipan mengatakan bahwa suaminya masih normal sama seperti laki-laki yang
lain, sehingga aktivitas hubungan seksual partisipan ini berlangsung secara normal disebabkan oleh sarafnya yang tidak terganggu. Hal ini bertentangan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bray Humprey dalam Lumbantobing, 2003 menemukan bahwa kegiatan seksual setelah serangan stroke menurun. Hal ini
juga berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mathias et al., 1997 yaitu
Universitas Sumatera Utara
hubungan seksual adalah prediktor yang baik dalam memprediksi kepuasan perkawinan pada istri. Partisipan merasa hubungan seksual bukanlah hal yang
paling penting dalam perkawinan. Partisipan mendapatkan dukungan dari keluarga besarnya, keluarga
partisipan dan juga keluarga suami. Selain itu, partisipan juga mendapatkan dukungan dari sahabat-sahabatnya yang dimilikinya sejak duduk di bangku
kuliah. Dukungan ini membuat pasrtisipan bahagia dan mempengaruhi penilaiannya terhadap perkawinannya saat ini. Hal ini sejalan dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Hurlock, 1999 bahwa hubungan yang baik dengan keluarga dan teman akan menimbulkan perasaan bahagia. Sesuai juga demgan
pernyataan Charlie dalam Herra, 2008 yang mengatakan bahwa seorang istri mungkin akan bertahan dengan kondisi suami yang terserang stroke ketika dia
mendapat dukungan dari sahabatnya. Partisipan memiliki 2 orang anak yang sangat disayanginya. Partisipan
tidak merasa kesulitan dalam mengurus anak disebabkan oleh anak-anaknya yang mandiri. Partisipan juga tidak merasa kesulitan dalam mengatur waktu antara
mengurus anak dan mengurus suami yang stroke, disebabkan oleh suaminya yang
mandiri dan tidak selalu diurus oleh partisipan. Hal ini berbeda dengan penelitian
Hendrick Hendrick, 1992, yang menemukan bahwa kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Rini, 2002 kehadiran anak juga dapat memberikan kepuasan bagi partisipan dimana partisipan merasakan kebahagiaan dan kepuasan dengan perannya sebagai
orang tua.
Universitas Sumatera Utara
Serangan stroke membuat suami partisipan memiliki perubahan kepribadian. Partisipan merasa suaminya juga semakin sensitif dengan kondisinya yang stroke.
Partisipan berusaha menjaga perasaan suaminya supaya tidak tersinggung. Partisipan akan merasa sedih ketika suami sensitif dan tidak memahami perasaan
partisipan. Serangan stroke yang terjadi pada suami membuat suami menjadi lebih rendah
hati. Selain itu partisipan merasa suaminya menjadi pribadi yang lebih sering marah dibandingkan sebelum terserang stroke. Partisipan juga merasakan
suaminya menjadi lebih egois, dimana partisipan merasa suaminya menginginkannya untuk selalu bersama suami, sehingga partisipan kesulitan
berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Matthews, 1996 tentang tingkah laku dan kepribadian suami yang berubah
setelah serangan stroke dapat menyebabkan kekecewaan terhadap istri, namun jika tingkah laku suami ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan akan
menimbulkan perasaan puas pada istri. Dalam hal ini kepribadian suami kadang tidak sesuai dengan harapan partisipan, dimana hal ini mempengaruhi penilaian
partsipan terhadap perkawinannya saat ini. Partisipan membagi tugas rumah tangga dengan suami sehingga dirasakan
bahwa pembagian peran dalam perkawinannya saat ini adalah seimbang. Partisipan merasakan suaminya dapat menjalankan perannya dengan baik.
Partisipan juga merasakan bahagia dengan peran yang dihadapinya saat ini.
Selain perubahan yang membuat partisipan merasa sedih, partisipan juga menganggap banyak hal positif dari keadaan suaminya yang stroke dari segi
Universitas Sumatera Utara
kepribadiannya dimana suaminya menjadi lebih rendah hati, sehingga partisipan merasa suaminya lebih gampang diajak berkomunikasi dibandingkan dengan
sebelum stroke. Selain itu partisipan juga merasa kondisi suami yang stroke menyebabkan banyak waktu yang dinikmati berdua bersama di rumah.
C. Analisa Partisipan III
1. Analisa Data a. Identitas Diri Partisipan III Eren
Tabel 7. Gambaran Umum Partisipan III Keterangan Partisipan
III
Nama Samaran S. Sidabutar
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 59 tahun
Pendidikan Terakhir SMA
Status Menikah Pekerjaan Ibu
Tumah Tangga
Jumlah anak 7 orang
Lama Perkawinan 40 tahun
Lama suami menderita stroke 8 tahun
Partisipan III dalam penelitian ini adalah seorang perempuan berusia 59 tahun yang berasal dari suku Batak Toba berinisial S. Sidabutar. S. Sidabutar adalah
seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama 40 tahun. S. Sidabutar memiliki suami yang berasal dari suku yang sama yaitu Batak Toba. Peneliti
mengenal partisipan sekitar 5 tahun yang lalu, dimana sewaktu peneliti masih duduk di bangku SMA partisipan pindah ke daerah tempat peneliti tinggal di kota
Pematang Siantar. Partisipan menikah dengan suaminya yang seorang pendeta di kampungnya
saat partisipan berusia 19 tahun. Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara