Interpretasi Data Partisipan III

ini membuat partisipan kesal dan marah pada suaminya. Partisipan juga tidak menyukai kebiasaan suaminya yang suka tidur dan malas melakukan terapi. “…Hm…itulah kebiasaannya yang suka tidur. Namboru malas liatnya. Maunya dia rajinlah bergerak, jalan kalopun nggak ada namboru, jangan tidur aja, itulah yang buat namboru suntuk. Makanya kubilang, memang kau nggak ada semangatmu, mending kau mati aja. Dulu dia pernah pura-pura mati nakut- nakutin namboru,.” W2.R3.b.582-588hal.15

4. Interpretasi Data Partisipan III

Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga Rini, 2001. Kepuasan hidup yang diperoleh dari perkawinan ini disebabkan oleh hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dipenuhi melalui perkawinan Walgito dlam Domikus, 1999, bahwa dalam perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan religius. Sementara itu, setiap kehidupan akan mengalami perubahan begitu juga ketika seseorang menikah akan ada perubahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya. Partisipan III merasakan perubahan dalam perkawinannnya dimana secara tiba- tiba suami partisipan mengalami serangan stroke yang disebabkan oleh faktor resiko yang dimiliki oleh suami partisipan yaitu hipertensi. Perubahan ini dirasakan secara tiba-tiba oleh partisipan. Partisipan merasakan keadaan suaminya yang stroke mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Awal suami terserang stroke, membuat partisipan terkejut. Partisipan III mengalami kesulitan selama merawat suaminya. Kesulitan dirasakan partisipan pada dua tahun pertama suami stroke, kemudian partisipan mengatakan bahwa dirinya terbiasa dengan kondisi suami setelah sekitar dua tahun. Di awal suami terserang stroke, partisipan mengalami gangguan emosional dimana sering Universitas Sumatera Utara menangis dan merasa tidak menerima keadaan suaminya. Grant, Glandon, Elliot, Giger Weaver 2004 mengatakan bahwa minggu dan bulan-bulan pertama bagi caregiver stroke adalah saat yang berubah-ubah, tidak jelas dan merupakan waktu yang mudah mendapat kecaman. Kesulitan yang dirasakan oleh partisipan III pada dua tahun pertama suami terserang stroke disebabkan oleh kondisi stroke suami yang parah dan berkaitan dengan kemampuan partisipan dalam adaptasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Zillmer Spiers, 2001 yang mengatakan semakin tinggi ketidakmampuan stroke, semakan tinggi juga peran dan kemampuan adaptasi caregiver, dimana partisipan mebutuhkan waktu 2 tahun untuk beradaptasi terhadap keadaan suaminya. Fultner Raudonis, 2000 Mcbarry Arthur, 2001 mengatakan bahwa kejang-kejang, mengangkat, memindahkan merupakan perawatan yang sulit dilakukan oleh caregiver yang sudah tua. Hal ini sejalan dengan gangguan fisik yang dirasakan oleh partisipan selama merawat suaminya. Kondisi fisik suami di awal serangan stroke menyebabkan partisipan kehilangan peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga dan keadaan yang demikian mempengaruhi partisipan. Partisipan III tidak mengalami adanya perubahan pemikiran dan harapan tentang perkawinannya disebabkan oleh harapan dan kebutuhannya sebelum menikah akan perkawinan telah dicapai oleh partisipan sebelum suami menderita stroke. Pasangan yang merawat pasien stroke akan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan Cavanaugh Blanchard, 2006. Hal ini sesuai dengan partisipan III dimana partisipan mengalami stress ketika merawat suaminya yang stroke. Dalam kasus partisipan Universitas Sumatera Utara III, tingkat depresi yang dirasakan caregiver tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hartke King 2002 yang mengatakan bahwa tingkat depresi yang dirasakan caregiver dipengaruhi oleh tingkat keparahan stroke, kerusakan, level depresi yang dimiliki pasien seperti karakteristik kepribadian pasien yang berhubungan dengan pengalaman depresi caregiver. Tingkat depresi caregiver yang tinggi juga disebabkan oleh kepribadian suami yang sering membuat partisipan menangis di awal serangan terjadi. Partisipan mengatakan bahwa keadaan kepribadian suami yang semakin sering marah, semakin kasar, cepat tersinggung dan selalu minta perhatian partisipan membuat partisipan merasakan hal ini sebagai masalah yang tidak bisa diterima oleh partisipan. Partisipan merasa malu kepada para tetangganya dengan kebiasaan suaminya yang sering berteriak ketika marah. Partisipan juga merasa suaminya tidak menghargai usahanya untuk merawat suaminya ketika partisipan dimarahi oleh suaminya. Kondisi suami yang demikian menimbulkan munculnya rasa marah, dendam, rasa tidak suka yang muncul dalam diri partisipan terhadap suaminya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hartke King, 2002 bahwa kecemasan, depresi, merasa bersalah, marah seperti dendam secara diam-diam, mungkin merupakan pengalaman caregiver selama merawat suaminya yang stroke. Terdapat perubahan komunikasi sejak suami partisipan III terserang stroke, perubahan komunikasi ini bukan disebabkan oleh kondisi fisik suami yang berubah dimana suami partisipan tidak mengalami kesulitan atau gangguan berbicara. Partisipan merasa kesulitan dan malas berkomunikasi dengan suami Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh kepribadian suami yang berubah. Partisipan merasa suaminya selalu merasa pasrtisipan tidak tahu apa-apa dan menganggap dirinyalah yang paling benar. Hal ini membuat partisipan tidak berkomunikasi dengan baik dengan suami. Partisipan juga tidak terbuka pada suami. Hal ini membuat partisipan tidak merasakan adanya kesulitan berkomunikasi dengan suami. Partisipan merasa tidak bisa bercerita dengan suami, tidak bisa mencurahkan perasaan dengan suami sehingga komunikasi dirasakan berubah berkaitan dengan serangan stroke yang terjadi pada suaminya. Hal ini mempengaruhi penilaian partisipan terhadap aspek komunikasi dalam perkawinannya. Waktu senggang yang dirasakan partisipan juga berubah. Tetapi partisipan masih memiliki waktu untuk beristirahat dimana partisipan hanya merawat suami sehari-harinya. Sejak suami terserang stroke, partisipan merasakan adanya pengurangan waktu luang berkumpul dengan teman-temannya. Partisipan mengisi banyak waktu berdua dengan suami di rumah dimana pasrtisipan kebanyakan menghabiskan waktunya di rumah untuk merawat suaminya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa partisipan menikmati waktunya bersama suaminya. Partisipan mengakui suaminya lebih banyak tidur dan jarang menikmati waktu luang bersama suami. Partisipan sering mengisi waktu senggang dengan memasak, tidur atau istirahat atau pergi ke ladang. Partisipan adalah seorang yang aktif dan tidak suka bermalas-malasan, sehingga partisipan menganggap bahwa waktu senggangnya yang berkurang bisa diterima. Partisipan merasakan adanya pengurangan waktu senggang yang dinikmati bersama teman-temannya sejak suaminya stroke. Bagi partisipan, berkumpul dengan keluarga dan sahabat adalah Universitas Sumatera Utara hal yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Paul Stephanie 2008 bahwa istri sebagai perawat suami akan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika suami belum terserang stroke. Orientasi keagamaan yang dirasakan partisipan juga berubah sejak suaminya terserang stroke. Partisipan menjadi semakin banyak berdoa dan semakin aktif dalam kegiatan keagamaan. Mengisi waktu senggang dengan kegiatan keagamaan akan mampu mengurangi beban pikiran partisipan, memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang akan mempengaruhi penilaian istri terhadap perkawinannya. Kemampuan istri dalam menemukan kesenangannya dari agama akan mempengaruhi penilaian yang dirasakannya terhadap perkawinan. Dengan keagamaan partisipan membuat partisipan lebih mampu menerima keadaan kepribadian suaminya. Bagi partisipan, keagamaan adalah satu-atunya pengobat hatinya yang sering terluka oleh kondisi kepribadian suaminya. Keagamaan partisipan memegang peranan penting dalam kehidupannya saat ini dalam menghadapi keadaan suaminya. Partisipan menemukan agama sebagai sumber kebahagiaan yang diperoleh dibandingkan dengan apa yang telah diperolehnya sebelumnya, hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlock 1999. Setelah suami stroke, partisipan berusaha memecahkan masalahnya sendiri, ketika partisipan merasa bahwa masalah tersebut harus dibicarakan dengan suami, partisipan biasanya menyelesaikan masalah bersama dengan suaminya karena partisipan takut suaminya akan marah ketika akan mengambil kesimpulan sendiri, dimana suami partisipan merasa hanya pendapatnyalah yang benar. Dalam Universitas Sumatera Utara resolusi konflik partisipan tidak terbuka dengan suaminya. Seperti pendapat Henslin, 1985, kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan dengan baik. Partisipan mendapat dukungan dari anak-anaknya yang telah menikah tetapi kurang mampu mendiskusikannya dengan baik dengan suami. Dengan demikian Partisipan III kurang mampu dalam mengatasi masalah disebabkan oleh kondisi suaminya.ketika memiliki masalah, partisipan biasanya meminta dukungan anak-anaknya. Manejemen keuangan partisipan juga mengalami perubahan. Bagi partisipan, keadaan suami yang tidak bekerja mempengaruhi peran suaminya dalam rumah tangga sebagai tulang punggung keluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mc Garry 2004 yang berpendapat bahwa mayoritas penderita stroke dikatakan pengangguran dan tidak dapat bekerja kembali pada pekerjaannya yang lama. Meskipun demikian, partisipan menginginkan suaminya memiliki status sebagai pekerja. Partisipan menginginkan melihat suaminya seperti dulu pergi bekerja di pagi hari dan pulang saat sore hari. Saat ini, partisipan mendapatkan bantuan keuangan dari gaji pensiunan suaminya yang dulu adalah seorang guru, selain itu partisipan juga mendapatkan bantuan dari ke enam anaknya. Partisipan pergi ke ladang untuk mengurangi beban pikiran dan mengalihkan perhatiannya dari kondisi suami yang stroke, selain itu berladang merupakan kesenangan partisipan. Dengan kondisi keuangan keluarga yang demikian menyebabkan partisipan tidak merasakan masalah dibidang ekonomi setelah suaminya stroke, berbeda dengan apa yang telak dikemukakan oleh Anderson Batista 2008 yang mengatakan Universitas Sumatera Utara bahwa istri penderita stroke merasakan penurunan pendapatan ketika harus membiayai pengobatan suami dan tanggung jawab yang bertambah setelah suami mereka terserang stroke. Dimana menurut partisipan, partisipan sudah menikmati keluarga yang pas-pasan sejak mereka menikah sehingga partisipan sudah terbiasa dengan kondisi ekonomi saat ini. Hubungan seksual juga merupakan salah satu aspek dalam kepuasan perkawinan. Saat ini hubungan seksual partisipan sudah tidak aktif dilihat dari segi usia partisipan juga yang akan memasuki masa lansia. Hal ini bertentangan dengan apa yang telah dikatakan oleh Bray Humprey dalam Lumbantobing, 2003 yang mengatakan bahwa kegiatan seksual setelah serangan stroke menurun. Bagi partisipan III, aktivitas seksual yang menurun bukanlah sebagai sesuatu aspek penting dalam perkawinannya saat ini. Hal ini bertentangan dengan pendapat Mathias et al., 1997 yang mengatakan bahwa hubungan seksual adalah prediktor yang baik dalam memprediksi kepuasan perkawinan pada istri. Bagi partisipan, kesembuhan suami memegang peranan yang lebih penting dibandingkan dengan hubungan seksual. Partisipan mengatakan sebelum suaminya stroke, aktivitas seksual juga sudah jarang sekali dilakukan melihat factor usia suami dan usia partisipan. Hubungan yang baik dengan keluarga dan teman akan menimbulkan perasaan bahagia Hurlock, 1999. Kepuasan perkawinan istri yang memiliki pasangan stroke sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. Ketika keluarga mendukung dan memberi bantuan, seorang istri akan merasa bahagia. Charlie dalam Herra, 2008 mengatakan bahwa seorang istri mungkin akan bertahan dengan kondisi Universitas Sumatera Utara suami yang terserang stroke ketika dia mendapat dukungan dari sahabatnya. Beberapa pernyataan diatas sesuai dengan apa yang dirasakan oleh partisipan III. Partisipan merasa bahagia memiliki keluarga yang peduli dengan kondisi perkawinannya saat ini. Partisipan mendapat dukungan penuh anak-anaknya yang telah berkeluarga, selain itu partisipan juga mendapatkan dukungan dari teman- teamannya di gereja, dan dukungan dari tetangga-tetangganta. Hal ini membuat partisipan merasakan bebannya berkurang dengan kehadiran keluarga dan teman- temannya. Kehadiran anak dan pengasuhan anak juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan partisipan dalam perkawinannya saat ini. Peran pasangan akan semakin bertambah setelah memiliki anak. Masalah pengasuhan anak menimbulkan tekanan tersendiri Rini, 2002 teori ini sesuai dengan kondisi partisipan yang merasakan kesulitan dengan kehadiran salah seorang anaknya yang sakit-sakitan. Saat wawancara ini dilakukan anaknya tersebut dirawat oleh salah satu anaknya yang tinggal di Jakarta. Meskipun demikian, partisipan tidak merasa tertekan tetapi merasakan bahagia dengan kehadiran anaknya, dimana partisipan memiliki anak-anak yang peduli dan menyayangi dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Hendrick Hendrick, 1992, menemukan bahwa kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangan. Hal ini akan mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami mereka. Ketika anak menuntut perhatian dari istri, istri akan kesulitan membagi waktu antara mengurus suami yang menderita stroke dengan mengurus anak, hal ini dapat menimbulkan tekanan pada istri. Hal ini bertentangan dengan apa yang dialami oleh partisipan III, Universitas Sumatera Utara dimana bagi partisipan kehadiran anak tidak menganggu atau mengurangi waktu senggang yang dimilikinya, disebabkan oleh suaminya terserang stroke setelah semua anaknya menikah. Tetapi partisipan merasakan kepuasan dengan kehadiran anak yang sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Rini, 2002, sehingga bagi partisipan kehadiran anak adalah berkah yang membatunya menghadapi masa-masa sulit menghadapi kondisi perkawinan pascastroke. Salah satu masalah yang dianggap sulit dihadapi oleh partisipan adalah perubahan emosional suami setelah serangan stroke terjadi. Dimana partisipan merasakan perubahan tersebut mempengaruhi perasaan dan pemikirannya. Partisipan stress dengan kepribadian suami saat ini yang semakin sering marah, cepat tersinggung, manja dan egois. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Matthews 1996 tentang tingkah laku dan kepribadian suami yang berubah setelah serangan stroke dapat menyebabkan kekecewaan terhadap istri, namun jika tingkah laku suami ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan akan menimbulkan perasaan puas pada istri. Hal ini sesuai dengan kondisi partisipan III karena partisipan kecewa dengan kepribadian suaminya dimana tingkah laku suami kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh partisipan. Partisipan mengatakan bahwa kepribadian suaminya menyebabkan partisipan sering suntuk. Bagi partisipan, kepribadian suami yang demikian mampu diatasi partisipan dengan cara berusaha memahami dan menghindari suami ketika marah pada partisipan. Perubahan ini mempengaruhi penilaian partisipan terhadap perkawianannya. Universitas Sumatera Utara Aspek kepuasan perkawinan yang terakhir adalah peran egalitarian. Bagi partisipan, peran yang seimbang tidak menjadi keharusan dalam berumah tangga seperti yang terjadi dalam keluarganya saat ini. Meskipun demikian, partisipan merasa bahwa pembagian peran dala keluarganya saat ini seimbang dimana partisipan dan suaminya memiliki pembagian tugas dalam rumah tangga. Partisipan menikmati perannya sebagai orang tua dan perannya sebagai istri.

B. DISKUSI

Hasil-hasil tambahan yang ditemukan di lapangan penelitian yang sekiranya patut dijadikan bahan diskusi akan dijabarkan pada sub bab ini : Partisipan I memiliki suami penderita stroke masih dua bulan dan saat ini belum memiliki peningkatan kondisi fisik dan psikologis yang lebih baik. Partisipan I merasakan ketidakpuasan terhadap perkawinannya. Partisipan II memiliki suami yang telah terserang stroke selama 8 tahun dan memiliki perubahan kesehatan fisik dan psikologis yang sangat baik, dimana suami hanya mengalami kekakuan pada tangan bagian kanan. Partisipan II mengalami kepuasan dalam perkawinannya. Sementara partisipan III memiliki suami yang telah menderita stroke selama 8 tahun, memiliki perubahan fisik yang cukup baik juga tidak mengalami kepuasan dalam perkawinannya saat ini. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh teori utama dalam penelitian ini. Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Grant, Glandon, Elliot, Giger Weaver 2004 mengatakan bahwa minggu dan bulan-bukan pertama bagi caregiver stroke adalah saat yang berubah-ubah, tidak jelas dan merupakan waktu yang mudah mendapat kecaman, hal ini dirasakan oleh partisipan I, partisipan II dan partisipan III. Selain Universitas Sumatera Utara