Komunikasi Partisipan I 1. Analisa Data

perkawinannya, dimana keinginan partisipan untuk memiliki rumah sudah tidak dipikirkan lagi melihat kondisi suaminya yang stroke.

1. Komunikasi

Komunikasi dalam perkawinan partisipan juga berubah, dimana kondisi fisik suaminya mengakibatkan kemampuan suami yang tidak bisa berbicara, selain itu partisipan juga tidak pintar menggunakan bahasa isyarat. Partisipan berkomunikasi dengan suami dengan cara menebak-nebak keinginan suaminya. Dengan perubahan komunikasi ini, partisipan sering merasa pening karena tidak bisa bercerita dengan suaminya. Keadaan suami yang demikian merupakan masalah bagi partisipan. “…Kalo abang nggak bisa ngomong, gimanalah Kakak mau berkomunikasi yah kekgitulah jadi Awak tebak-tebak aja aa.a..aa ajalah, kalo Dia angguk berarti betul, kalo salah kutanya lagi, sampe betul, kekgitulah…”R1.W1b.123-12hal.4. “…Nggak ngerti Dia isyarat-isyarat, tebak-tebak ajalah, yah semua berubahlah, Kakak udah nggak bisa lagi cerita-cerita perasaanku pening juga, suntuk juga Awak…”R1.W1b.130-133hal.4. “…Yah masalahlah udah nggak bisa ngomong…”R1.W1b.136hal.4. Partisipan merasa pening, ingin marah tetapi tidak tahu harus marah pada siapa dengan kondisi suaminya yang tidak bisa berkomunikasi. Partisipan mengatasi komunikasi dengan cara mengikuti semua kemauan suaminya. Partisipan merasa malas bercerita pada suaminya disebabakan oleh keadaan suaminya yang lambat mengerti dan adanya gangguan pendengaran. Kondisi suami membuat partisipan merasa harus lebih bersabar. Partisipan juga kadang dimarahi oleh suaminya ketika partisipan tidak mengerti kemauan suami. Hal ini mempengaruhi keadaan psikologis partisipan. Universitas Sumatera Utara “…Ya pening juga Awak, mau marah, nggak tau mau marah sama siapa..” R1.W1b.139-140hal.4 “…Cara mengatasi masalah komunikasi, yah Awak ikutin ajalah apa maunya Dia, iya-iyakan ajalah…”R1.W1b.143-144hal.4 “…Kadang gimana ya, ya Awak sendirilah yang hadapi, kadang ada yang salah, yah sendirilah hadapi sendiri nggak ada teman untuk cerita…” R1.W1b.147-149hal.4. “…Gimanalah Awak bilang ya, kadang Awak cerita Dia susah kali mengerti, harus dijelaskan baik-baik. Dia udah lambat ngerti Dek, kadang Dia juga nggak dengar jadi Kakak malas cerita…”R1.W1b.152-155hal.4. “…Yah, suntuk juga Awak, mau bilang apa lagi harus sabar-sabarlah, tebak- tebaklah, kalo Dia marah karena Awak nggak ngerti, yah trima-trima ajalah udah bawaan penyakitnya kekgitu, kadang stress juga Awak..” R1.W1b.158- 163hal.5. 2. Kegiatan Mengisi Waktu Senggang Waktu senggang partisipan berkurang sejak suaminya terserang stroke. Partisipan merasa tidak memiliki waktu kosong dimana partisipan harus menjaga anak dan suaminya. Waktu untuk istirahat juga dirasakan berkurang. “…Sejak sakit udah nggak ada lagilah waktu kosong, jaga anak, masak, anakku kan masih kecil-kecil jaga Dia lagi, udah nggak ada lagilah waktu untuk istirahat aja susah..”R1.W1b.165-167hal.5. Partisipan menginginkan adanya waktu senggang, dimana partisipan ingin pulang ke kampungnya dan bertemu dengan keluarganya. Partisipan ingin membawa suaminya disembuhkan dikampung. Karena kondisi tidak memungkinkan untuk membawa suami ke kampung membuat partisipan banyak berfikir sehingga membuatnya pusing dan sakit kepala. “…Kakak ingin kali pulang kampung, biar Awak bisa ketemu adikku yang laki-laki Dia nelepon Awak bilang dikampung ada orang pintar yang bisa sembuhkan stroke, Awak pingin kali bawa Dia kesana, itulah tadi sambil tidur kupikirkan, jadi sakit kepala sakin dipikirkan jadi terbawa mimpi Awak tadi orang pintarnya bilang kalo pengobatanya ini lama gara-gara mimpiku itu Awak jadi pusing, sakit kepala…” R1.W1b.177-185hal.5. Universitas Sumatera Utara Partisipan menghabiskan banyak waktu bersama suaminya tetapi partisipan mengatakan bahwa dia tidak menikmati waktu bersama dengan suaminya karena menurut partisipan kondisi suaminya yang membuat suaminya kebanyakan tidur dan partisipan tidak bisa bercerita dengan suaminya. Kondisi suami yang tidak bisa berjalan membuat partisipan suntuk. Dengan kondisi waktu senggang yang terbatas, partisipan merasa tidak puas dengan waktu senggangnya. “…Ya Awak mang selalunya sama Dia, jaga Dia, tapi ya kek gitulah Dek kami sama teruspun gaklah dibilang kami menikmati waktu berdua. Dia tidur ajanya terus, Awakpun nggak bisa cerita-cerita sama Dia…” R1.W1b.187-191hal.5. “…Ya suntuk juga Awak Dek, kapanlah maunya Dia bisa jalan, biar bisa kubawa ke kampung, pikirku gitu…” R1.W1b.194-196hal.7. “…Nggak lah Dek, gimana lagi Awak bisa puas kalo istirahat aja udah nggak cukup, kadang tidur ajapun Awak nggak bisa…” R1.W1b.198-200hal.5-6.

3. Orientasi Keagamaan