Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga. Dalam setiap hubungan seperti perkawinan, masalah tidak selalu dapat dihindarkan Rini, 2001, karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian, maupun karakter yang berbeda. Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia Domikus, 1999. Bhrem 1992, menambahkan bahwa perkawinan adalah ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar yang didasarkan pada keinginannya untuk menetapkan hubungan sepanjang hidup. Campbell dalam Domikus, 1999 menemukan bahwa orang-orang yang terikat dalam perkawinan merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui perkawinan ini disebabkan oleh hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dipenuhi melalui perkawinan, sebagaimana dikemukakan oleh Walgito dalam Domikus, 1999 bahwa melalui perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan religius. Sawitri 2005 menambahkan bahwa kehidupan secara terus-menerus mengalami perubahan. Universitas Sumatera Utara Perubahan merupakan penyebab utama munculnya masalah dalam perkawinan Sawitri, 2005. Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan oleh Parrot Parrot dalam Berocal, 2003 mengatakan bahwa 49 pasangan memiliki permasalahan dalam perkawinan. Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi dalam munculnya masalah dalam perkawinan, yaitu perubahan natural dan perubahan yang tiba-tiba saja terjadi Watzalawik, Weakland Fisch dalam Sawitri, 2005. Perubahan natural berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam kehidupan normal, dan perubahan ini dapat dipahami dan diterima oleh individu. Perubahan-perubahan ini muncul seiring dengan bertambahnya jumlah usia dan jumlah anak, tuntutan peran sebagai ibu dan ayah. Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Perubahan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan kehancuran. Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan serangan penyakit. Salah satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke. Stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker Adam, 1993. Sekitar 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaannya. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Stroke juga merupakan penyakit yang tingkat hunian di rumah sakit terbanyak kedua setelah gangguan mental Sutrisno, 2007. Stroke adalah hasil penyumbatan yang tiba-tiba saja terjadi, yang disebabkan oleh penggumpalan, pendarahan atau penyempitan pada pembuluh darah arteri, sehingga menutup aliran darah ke bagian otak Shimberg dalam Sarafino, 2006. Universitas Sumatera Utara Munculnya stroke sangat rendah pada usia dini hingga usia pertengahan, dan meningkat tajam setelah usia 55 tahun AHA, 2000 . Pria penderita stroke lebih banyak daripada wanita penderita stroke, penderita stroke kemungkinan besar terjadi pada saat penderita telah menikah Sutrisno, 2007. Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu menurun Newman, 2006. Penyakit stroke bisa merepotkan pihak keluarga pasien. Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya seperti istri. Pihak keluarga bahkan akan merasa terbebani karena biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan pasien tersebut Sutrisno, 2007. Kondisi pasien stroke ini membuat istri pasien mendapatkan dampak dari kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami suaminya, dimana suaminya mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpuhan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif dan kesulitan dalam penyesuaian emosi Sarafino, 2006. Sejalan dengan ini, Bakas, Austin, Lewis Chadwick dalam Victoria, 2008 mengatakan bahwa kebanyakan caregiver stroke tidak siap menghadapi perubahan emosional dan fisik saat merawat seseorang yang mempunyai ketidakmampuan fisik. Coleman, Antonucci Adelman dalam Basow, 1992 mengatakan bahwa dalam perkawinan, kesehatan mental dan kesehatan fisik memegang peranan penting, baik wanita maupun pria. Merawat pasangan yang mempunyai penyakit Universitas Sumatera Utara kronis seperti stroke menghadirkan tantangan lebih berat dibandingkan dengan merawat orang tua yang sakit kronis. Caregiver juga memiliki keterbatasan selama merawat pasien yang stroke seperti gangguan fisik, mental dan spiritual Bakas dkk, 2002. Pasangan yang merawat akan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan Cavanaugh Blanchard, 2006. Fultner Raudonis, 2000, Mcbarry Arthur, 2001 mengatakan bahwa kejang- kejang, mengangkat, memindahkan merupakan perawatan yang sulit dilakukan oleh caregiver yang sudah tua. Stephens Clark, 1997 mengatakan bahwa menyesuaikan diri dengan pasangan yang mengalami penyakit kronis dan fatal memberikan tantangan serius bahkan pada pasangan yang paling bahagia. Dampak dari serangan stroke pada suami juga dirasakan oleh salah seorang istri penderita pascastroke yang diwawancarai oleh peneliti, kutipan wawancara tersebut sebagai berikut : ”…beginilah dek keadaannya setelah abangmu sakit, kakak stress menghadapi kondisi abang yang enggak sembuh-sembuh. Semua urusan kakak yang urus, abangmu enggak bisa diharapkan, kalo kakak enggak ngurus abangmu trus, dia sakit hati. Tiap hari kakak harus masak makanan abangmu. Makanannya enggak boleh sembarangan. Repot kali ngurus orang stroke ini dek.”Komunikasi Personal, 16 Maret, 2008 Ketika stroke menyerang istri, akan berpengaruh pada perannya sebagai ibu rumah tangga, pengasuh anak, dan perannya sebagai pendamping suami. Sedangkan ketika stroke menyerang suami, peran suami dalam sebuah keluarga akan terhambat. Harapan istri akan perkawinan yang akan memberikan kebutuhannya akan terganggu, harapan istri pada suami sebagai pasangan yang mampu memberikan kepuasan pada perkawinannya juga akan terhambat. Istri akan merasa kecewa dengan hubungan perkawinannya dimana istri akan merasa Universitas Sumatera Utara kebutuhannya tidak akan dapat dipenuhi oleh suaminya yang menderita stroke Sawitri, 2005. Dengan demikian, dampak fisik dan psikologis dari serangan stroke yang menyerang suami akan mempengaruhi kehidupan perkawinan yang dirasakan oleh istri. Dalam penelitian ini akan dilihat serangan stroke pada suami dan pengaruhnya terhadap penilaian istri terhadap perkawinannya dimana suaminya terserang stroke yang menghambat peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga, bagaimana pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga dan harapan-harapan istri dan pengaruhnya terhadap kepuasan istri terhadap perkawinannya, dimana jumlah pria yang menderita stroke lebih banyak daripada wanita yang terserang stroke AHA, 2000. Kepuasan perkawinan dicari dan diharapkan oleh setiap individu yang menikah Molly, 1997. Kepuasan perkawinan adalah penilaian positif atau negatif terhadap kehidupan berkeluarga Weigel, et al., 1995. Disisi lain, kepuasan terhadap perkawinan adalah ekspresi perasaan terhadap kehidupan keluarganya. Secara umum, kepuasan perkawinan merupakan evaluasi yang subjektif terhadap kualitas perkawinan secara keseluruhan, tergantung pada bagaimana perkawinan bertahan dengan adanya harapan individu. Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya Hughes Noppe, 1985. Apabila seorang individu merasa puas terhadap perkawinan yang dijalaninya, maka individu tersebut beranggapan bahwa harapan, kebutuhan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai saat akan menikah telah terpenuhi, baik sebagian maupun seluruhnya. Individu akan merasa hidupnya lebih berarti dan Universitas Sumatera Utara lebih lengkap dibandingkan sebelum menikah Chappel Leigh dalam Pujiastuty Retnowaty, 2004. Sebuah pasangan mungkin menganggap pernikahan mereka sangat memuaskan, sementara bagi pasangan lain pernikahan tampak membosankan dan tidak menyenangkan Scazoni Scazoni, 1976. Wanita sebagai bagian dari perkawinan juga memperoleh dampak dari puas tidaknya dalam perkawinan Basow, 1992. Hawkins dalam Pujiastuty Retnowaty, 2004 menambahkan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan subyektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam perkawinan. Banyak aspek yang sering diukur dalam kepuasan perkawinan, antara lain : komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manejemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kehadiran anak dan pengasuhan anak, masalah kepribadian, dan peran egalitarian Olson Fower, dalam Saragih, 2003. Aspek-aspek ini sering menjadi masalah pada istri yang memiliki suami penderita stroke karena kondisi suami mereka. Salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah komunikasi antara suami-istri, dimana mereka saling berbagi dan saling menerima informasi tentang pikiran dan perasaannya Olson Fowers dalam Saragih, 2003. Masalah dalam perkawinan akan muncul ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik Kelly, dalam Sawitri, 2005. Ketika pasangan mengalami stroke, akan menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi karena pasien mengalami gangguan bahasa seperti : aphasia dan gangguan kognitif Nancy Peter, dalam Shimberg, 1998. Keadaan ini akan mempengaruhi kemampuan suami yang terserang stroke Universitas Sumatera Utara dalam berkomunikasi dengan istrinya, dimana komunikasi yang baik dalam perkawinan erat hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu Sawitri, 2005. Kesulitan dalam berkomunikasi tergantung pada tingkat keparahan serangan stroke yang dialami suami, sehingga dampak gangguan komunikasi akibat stroke yang dialami suami akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap istri. Aspek kepuasan perkawinan yang kedua adalah kegiatan mengisi waktu senggang berkaitan dengan bagaimana pasangan meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan, pilihan bersama dan harapan-harapan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan. Kebersamaan ini dinikmati bersama Henslin, 1985. Newman Newman 2006, mengatakan bahwa pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi. Keterbatasan fisik dan psikologis pasien stroke seperti yang telah dijelaskan diatas, dapat mengurangi kebersamaan dalam mengisi waktu senggang bersama istri. Paul Stephanie 2008 mengatakan bahwa istri sebagai caregiver suami yang menderita stroke akan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika suami belum terserang stroke. Orientasi keagamaan juga memegang peranan penting dalam kepuasan perkawinan. Menurut Landis Landis dalam Wahyuningsih, 2002, orientasi keagamaan memiliki peran penting dalam perkawinan karena tingkat keagamaan seseorang akan mempengaruhi pola pikir dalam kehidupannya sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan. Senada dengan itu, Landis Universitas Sumatera Utara Landis dalam Wahyuningsih, 2006 juga mengatakan bahwa keyakinan beragama sangat mempengaruhi kepuasan terhadap perkawinan dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Jane 2006, untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, seseorang harus mendapatkan kepuasan dalam beragama. Banyak wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperolehnya sebelumnya Hurlock, 1999. Begitu juga ketika suami terserang stroke, istri dapat menemukan kembali kesenangannya dari agama yang diyakininya. Mengisi waktu senggang dengan kegiatan keagamaan akan mampu mengurangi beban pikiran istri, memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang akan mempengaruhi kepuasan perkawinannya. Kemampuan istri dalam menemukan kesenangannya dari agama akan mempengaruhi penilaian yang dirasakannya terhadap perkawinan. Resolusi konflik berkaitan dengan bagaimana penilaian istri atau suami terhadap konflik yang muncul dan bagaimana mereka mengatasinya. Fokus pada hal ini adalah keterbukaan antarpasangan dan kemampuan untuk mengatasi konflik dengan baik. Kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan dengan baik Henslin, 1985. Dengan kemampuan komunikasi suami yang terbatas karena serangan stroke, akan mengurangi kemampuan dalam mengatasi masalah yang muncul, istri memegang peranan penting dalam resolusi konflik sebagai pengganti suami. Ketika istri dan suami mampu saling terbuka dalam menghadapi masalah, akan berpengaruh pada kepuasan yang dirasakan istri pada perkawinannya. Universitas Sumatera Utara Manejemen keuangan berkaitan dengan bagaimana cara mengatur keuangan dalam keluarga. Kondisi sosial ekonomi merupakan suatu hal yang penting dalam perkawinan. Kesulitan ekonomi atau kemiskinan dapat menimbulkan berbagai masalah serta tekanan-tekanan dalam kehidupan, yang mempengaruhi kesehatan mental, stress, kecemasan dan depresi Koblinsky, dkk., 1997. Mayoritas penderita stroke dikatakan pengangguran dan tidak dapat bekerja kembali pada pekerjaannya yang lama Mc Garry, 2004. Penderita stroke mempunyai dampak pada pendapatannya Richard Gordon, 2006. Adanya masalah kesehatan menimbulkan kesulitan dalam bidang ekonomi, mengurangi pendapatan keluarga Emmanuel et all, 2000. Kesulitan ekonomi merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam perkawinan, dimana hal ini akan menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan Conger et al., 1990. Keadaan fisik dan mental penderita stroke akan menimbulkan kesulitan dalam bekerja dan kesulitan dalam memenuhi kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga, sehingga kemungkinan munculnya kesulitan ekonomi pada keluarga penderitanya semakin tinggi. Basow 1992, mengatakan bahwa wanita secara emosional dan finansial tergantung pada suami. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan perkawinan dan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh istri yang memiliki suami yang tidak bekerja setelah serangan stroke. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anderson Batista 2008 mengatakan bahwa istri penderita stroke merasakan penurunan pendapatan ketika harus membiayai pengobatan suami dan tanggung jawab yang bertambah setelah suami mereka terserang stroke. Universitas Sumatera Utara Hal ini juga dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah seorang istri penderita stroke, kutipan wawancara tersebut adalah sebagai berikut : “...sejak abangmu sakit, tabungan kakak sama abangmu habis dek, padahal dulu kehidupan kami baik, sejak stroke jadinya beginilah bahkan sampe mobil juga harus dijual. Apalagi kakak enggak bisa nyetir, abangmu udah enggak bisa bawa, jadi dijual aja buat nambah biaya pengobatan. Untuk nambain penghasilan kakak masak pesanan kue dari orang. Untung saja kakak hobby masak, jadi enggak terlalu kesulitan biayai sekolah anak…” Komunikasi Personal, 16 Maret, 2008 Hubungan seksual juga merupakan salah satu aspek dalam kepuasan perkawinan. Pascastroke, kegiatan seksual banyak dipengaruhi oleh beratnya cacat yang diderita. Faktor psikologis seperti : kecemasan, depresi dll. Masalah seksual berkaitan dengan alasan biologis, psikologis atau budaya Basow, 1992. Penelitian yang dilakukan oleh Bray Humprey dalam Lumbantobing, 2003 menemukan bahwa kegiatan seksual setelah serangan stroke menurun. Melihat hal ini, serangan stroke berpengaruh dalam orientasi seksual dalam kehidupan perkawinan penderitanya. Penurunan kegiatan ini akan mempengaruhi kepuasan perkawinan istri penderita stroke. Mathias et al., 1997 mengatakan bahwa hubungan seksual adalah prediktor yang baik dalam memprediksi kepuasan perkawinan pada istri. Keluarga dan teman merupakan aspek yang penting dalam menilai perasaan dan perhatian terhadap hubungan dengan kerabat, mertua, dan teman. Hubungan yang baik dengan keluarga dan teman akan menimbulkan perasaan bahagia Hurlock, 1999. Kepuasan perkawinan istri yang memiliki pasangan stroke sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. Ketika keluarga mendukung dan memberi Universitas Sumatera Utara bantuan, seorang istri akan merasa bahagia. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional dengan kesehatan caregiver stroke Bakas, Austin, Lewis Chadwick, 2002. Kehadiran anak dan pengasuhan anak juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mempengaruhi pola hubungan suami istri. Peran pasangan akan semakin bertambah setelah memiliki anak. Tugas dalam ruang lingkup keluarga juga bertambah, mereka harus mengasuh, mendidik, dan menjaga anak mereka. Masalah pengasuhan anak menimbulkan tekanan tersendiri Rini, 2002. Penelitian yang dilakukan oleh Hendrick Hendrick, 1992, menemukan bahwa kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangan. Hal ini akan mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami mereka. Ketika anak menuntut perhatian dari istri, istri akan kesulitan membagi waktu antara mengurus suami yang menderita stroke dengan mengurus anak, hal ini dapat menimbulkan tekanan pada istri. Kehadiran anak juga dapat memberikan kepuasan bagi istri Rini, 2002. Masalah kepribadian juga merupakan aspek yang sering diukur dalam melihat kepuasan perkawinan. Tingkah laku dan kepribadian suami yang berubah setelah serangan stroke dapat menyebabkan kekecewaan terhadap istri, namun jika tingkah laku suami ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan akan menimbulkan perasaan puas pada istri Matthews, 1996. Melihat kepribadian suami yang berubah akibat serangan stroke seperti depresi, kemarahan, dll ini dapat menyebabkan istri kecewa terhadap suaminya, dimana seyogyanya suami Universitas Sumatera Utara memenuhi kebutuhan afeksi istri Sawitri, 2005, namun ketika suami dapat berperilaku sesuai harapan istri, istri akan puas terhadap perkawinannya. Aspek kepuasan perkawinan yang terakhir adalah peran egalitarian Olson Fower, dalam Saragih, 2003. Peran ini berkaitan dengan peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan seperti pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua Agoestinelli dalam Kail Cavanaugh, 2000. Dalam konsep ini suatu peran dapat menimbulkan kepuasan dalam perkawinan. Peran sebagai istri dan mampu merawat suami dan anak dengan baik, akan memberikan kebahagiaan bagi istri, kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh istri sesuai dengan evaluasi subjektifnya terhadap perkawinan. Aspek-aspek yang terganggu yang dirasakan istri akan berbeda-beda tergantung pada tingkat keparahan serangan stroke yang dialami suaminya, dimana tingkat keparahan juga akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap istri O Connel. Baker Prosser ,2003. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan istri adalah seperti : tingkat pendidikan yang dimiliki istri, latar belakang keluarga, pekerjaan istri, pengaruh orang tua, kehadiran anak, dan lama perkawinan Hendrick Hendrick, 1992, dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kepuasan perkawinan adalah penilaian subjektif yang dirasakan oleh sitri terhadap perkawinannya. Dampak stroke yang menyerang suami juga akan dinilai subjektif pada setiap individu atau istri. Tingkat pendidikan yang dimiliki istri akan berpengaruh terhadap penilaiannya terhadap kondisi suami yang stroke. Selain itu, pemikiran istri yang mempunyai Universitas Sumatera Utara latar belakang pendidikan yang tinggi juga akan lebih puas terhadap perkawinannya Luckey, 1993, dimana istri akan lebih mampu mengatasi perubahan dan akan lebih cepat dalam menyesuaikan diri terhadap kondisi suami, sehingga latar belakang pendidikan yang berbeda akan memberikan penilaian yang berbeda pada perkawinannya dimana suaminya terserang stroke. Latar belakang keluarga juga berpengaruh terhadap pandangan istri terhadap perkawinannya setelah suaminya terserang stroke, misalnya istri yang berasal dari keluarga yang mempunyai riwayat penyakit stroke akan menilai berbeda kondisi suaminya yang stroke dibandingkan dengan istri yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki riwayat penyakit stroke.. Pekerjaan istri juga mempengaruhi bagaimana penilaiannya terhadap kondisi suaminya. Istri yang mempunyai pekerjaan tetap akan berbeda dalam mengatasi kesulitan ekonomi dalam perkawinan setelah suaminya terserang stroke dibandingkan istri yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan harus menggantikan suami sebagai kepala tulang punggung keluarga. Orang tua juga berpengaruh terhadap penghayatan istri. Istri yang mendapat dorongan, perhatian dan bantuan dari orang tuanya akan menilai berbeda kondisi suaminya yang stroke dibandingkan dengan istri yang tidak mendapat dorongan, motivasi dari orang tuanya ketika suaminya terserang stroke. Selain faktor diatas, lama perkawinan juga akan berpengaruh terhadap penilaian istri terhadap perkawinannya. Usia perkawinan yang masih muda dan usia perkawinan yang telah lama akan menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap kepuasan perkawinan setelah suami terserang stroke. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami suami yang menderita kelumpuhan pascastroke mempengaruhi bagaimana penilaian istri terhadap kualitas perkawinannya. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki suami penderita stroke.

B. Perumusan Masalah