kalo Dia kutinggalkan, kek mana ya diurus keluarganya nggak ya? Pikirku gitu Dek…”R1.W2b.416-424hal.11
“…Seperti yang udah kuceritakan samamulah, sepertinya mereka nggak senang kalo abangmu ini sehat, mereka maunya abangmu ini mati aja biar mereka bisa
berkuasa. …”R1.W2b.410-413hal.11. Sejak suaminya stroke, orang tua partisipan tidak pernah mengunjungi
partisipan dimana ayah partisipan juga sedang sakit. Partisipan mendapatkan kunjungan dari adik-adiknya. Bagi partisipan, kehadiran anak-anak dan adiknya
merupakan pembangun semangat. “…orang tua Awak nggak pernah datang, mamakku udah ninggal, bapakkupun
lagi sakit yah mau bilang apa lagilah Awak kan dah kekgitu kondisinya, yang buat Awak semangat paling anak-anakku sama adekkulah,..” R1.W2b.391-
396hal.10. Partisipan tidak memiliki banyak teman. Di lingkungan tempat tinggalnya
partisipan tidak memiliki teman dimana partisipan merasa minder berteman dengan tetangganya karena menurut partisipan tetangganya adalah orang-orang
yang kaya dan sibuk. partisipan sering mendapatkan dukungan dari teman-teman lamanya yang telah menikah
“…Ada, ya bilang sabar-sabarlah tapi Awak nggak banyak kawan Dek, cemanalah kawan-kawan Awak dulu udah kawinnya semua, kalo di Medan ini
Awak nggak ada kawan, cemanalah Awak orang susahnya Dek, dilingkunganku orang kaya-kaya semua sibuk-sibuk Awakpun minder berkawan sama mereka..”
R1.W2b.402-408hal.10.
8. Kehadiran Anak dan Menjadi Orang Tua
Hal yang membuat partisipan senang dan bahagia adalah bertemu dengan anak- anaknya. Bagi partisipan, anak-anak adalah hal yang paling berharga dalam
hidupnya. Partisipan sering menangis karena tertawa melihat anak-anaknya. Partisipan menangis karena tidak menyangka masih bisa tertawa, dan hal yang
membuatnya tertawa adalah anak-anak yang sangat dicintainya. Partisipan kasihan
Universitas Sumatera Utara
pada anak-anaknya yang juga membutuhkan kasih saying dari partisipan. Sejak suaminya dirawat di Rumah sakit, partisipan jarang bertemu dengan kedua
anaknya. “…Kalo bertemu anak-anakku, kadang Awak bisa ketawa kalo dirumah ada
anak-anakku, abangmu inipun juga kadang senang main-main sama anak- anakku, ketawalah dulu sebentar Awak gampang nangis Dek, kadang Awak bisa
nangis karena ketawa bisa juga Awak ketawa, Awak pikir kekgitu...” …”R1.W2b.428-434hal.11.
“…Yang paling berharga yah cuma anak-anakku itulah, kadang Awak mikiri anakku juga, kasian anak-anakku mereka juga perlu dimanja, makanya Awak
nggak suka dirumah sakit ini, Awak maunya pulanglah kerumah, biar sekalian Awak bisa liat anak-anakku, kadang mereka yang buat Awak senang biarpun
kadang mereka juga buat Awak suntuk, karena masih kecil kek gitu, tapi yang namanya nasib mau bilang apalah Awak inilah yang sudah diatur
Tuhan…”R1.W2b.435-445hal.16.
Dalam mengurus suami dan anak-anaknya, partisipan melakukannya dengan cara bergantian.
“…Yah kekgitulah, ganti-gantian siap suami ya anak, siap anak ya suami tapi anak-anakku kebanyakan diurus sama ponakanku, oppungnya juga Awak
kebanyakan ngurus Dia…”…”R1.W2b.453-456hal.12. 9. Kepribadian
Partisipan juga merasakan adanya perubahan kepribadian suami yang mempengaruhi perasaan partisipan, dimana suami partisipan sering marah-marah
kepada partisipan. Partisipan berusaha sabar untuk menerima perubahan kepribadian suaminya dengan cara menerima keadaan. Partisipan menilai keadaan
suaminya adalah disebabkan oleh kepribadian suaminya yang dari dulu bukanlah orang baik. Partisipan merasa keadaan ini adalah cobaan dari Tuhan untuk
suaminya. Partisipan menharapkan adanya perubahan pada suami setelah serangan
Universitas Sumatera Utara
stroke, sehingga partisipan merasakan bahwa perjuangannya merawat suami akan berarti.
“…Berubahlah, emosinya itu berubah-ubah aja terus, marah-maraah aja, maunya makaaan aja terus, kalo Awak nggak ngasih makanan yang enak karena
gulanya itu, marah Dia pusinglah pokoknya…” …”R1.W2b.482-487hal.12. “…Yah terima-terima aja kalo Dia marah kudiamin aja, Kakak masak dirumah
itu dibedakan, direbus-rebus, nggak pake minyak nggak pake garam, ikannya dibedakan kekgitu, repotlah pokoknya makanya suntuk trus tapi sekarang jadi
lebih sabar Awak jadinya...”R1.W2b.482-487hal.12.
“…Udah Awak bilang Dek, Dia ini emang bukan orang yang baik dari dulu, Dia ini suka marah-marah, anak-anakknya aja mau dipukulnya dulu, makanya
kadang Awak mikir, mungkin ini cobaan Tuhan sama Dia biar Dia berubah, mudah-mudahan aja Dia berubah jadi ada artinya Awak menjaga Dia…”
R1.W2b.490-495hal.12-13. Partisipan tidak melihat hal positif dalam kehidupan perkawinannya, bagi
partisipan perasaannya sudah hancur sejak suaminya stroke. Partisipan menyesali semua sejak suaminya stroke dimana partisipan sering stress. Partisipan
mengatakan bahwa suaminya dari awal perkawinan bukanlah orang yang baik. Bagi partisipan, keadaan suaminya yang demikian menibulkan keinginannya
untuk meninggalkan suami. Partisipan akan meninggalkan suaminya seandainya tidak memikirkan nasib kedua anaknya.
“…Apalah yang positif Dek, udah nggak ada lagilah, kalo perasaan ini udah hancurnya semua…”…”R1.W2b.464-465hal.12.
“…Kusesali semuanya, sejak abangmu sakit, keluarganya buat Awak stress. Mungkin kalo Dia orang yang baik Awak mungkin tahan, terima, namanya juga
penyakit tapi karena Dia mang orangnya nggak baik, jadi merasa tidak sangguplah...” …”R1.W2b. 467-471hal.12.
“…Yah cuma anak-anakku inilah Dek, kalo nggak udah kutinggalkan Dia ini Awak kan masih muda…”…”R1.W2b.473-474hal.12.
10. Peran Egalitarian
Universitas Sumatera Utara
Partisipan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendirian sejak menikah dengan suaminya. Pembagian peran dalam perkawinan dirasakan
partisipan tidak seimbang sejak menikah, dan hal ini tidak menjadi masalah bagi partisipan. Partisipan menerima pembagian peran dalam rumah tangga tidak harus
seimbang dan menganggap bahwa dalam sebuah perkawinan pembagian peran tidak harus seimbang.
“…Ya gimana kubilang ya Dek, yah udah Awaklah yang ngurus semuanya, pekerjaan Awak yang urus semuanya, kalo soal pekerjaan rumah dari dulu Dia
emang nggak mau ngurusin kerjaan rumah, Awak yang kerjain semua, paling pulang kerja capek, maen-maen Dia sama anaknya istirahat, gitu
aja…”R1.W2b.500-505hal.13.
“…Dari kawin dulu memang udah nggak seimbang, Awaknya yang ngurus semua urusan rumah, ngurus anak-anak juga. Dari dulu udak kek gitu
Dek…”R1.W2b.509-511hal.13.
“…Kalo pembagian peran ini Awak nggak terlalu pikirkan. Dari dulu kawin emang udah kuterimanya kek gitu, kurasa nggak harus
seimbanglah…”R1.W2b.514-517hal.13.
Setelah ditanyakan tentang kepuasan partisipan terhadap perkawianannya, partisipan mengatakan bahwa partisipan tidak merasakan kepuasan dalam
perkawinannya. Tetapi partisipan menganggap bahwa hal itu bukan suatu masalah.
“…Sebenarnya nggak puas Awak, Awak maunya sama-samalah, tapi yah udah kek gitu, bagi Awak nggak masalah lah…”R1.W2b.551-553hal.18.
“…Bagaimana ya, kalo dibilang puas nggaklah udah begini kondisinya. …” R1.W2b.524-525hal.13
4. Interpretasi Data Partisipan I
Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga Rini, 2001. Kepuasan hidup yang diperoleh dari perkawinan ini disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dipenuhi melalui perkawinan Walgito dlam Domikus, 1999, bahwa dalam perkawinan manusia dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan religius. Sementara itu, setiap kehidupan akan mengalami perubahan begitu juga ketika seseorang menikah akan
ada perubahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya. Partisipan I merasakan perubahan dalam perkawinannnya dimana secara tiba-
tiba suami partisipan mengalami serangan stroke yang disebabkan oleh faktor resiko yang dimiliki oleh suami partisipan yaitu hipertensi dan diabetes.
Perubahan ini dirasakan secara tiba-tiba oleh partisipan. Partisipan merasakan keadaan suaminya yang stroke mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Kondisi fisik dan psikologis suami mempengaruhi partisipan dalam merawat suami. Tingkat kecacatan yang dialami suami juga akan mempengaruhi kesulitan
partisipan dalam merawat suaminya yang menderita stroke. Partisipan I tidak siap menghadapi perubahan emosional dan fisik suaminya yang memiliki
ketidakmampuan fisik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bakas, Austin, Lewis Chadwick, 2002 bahwa kebanyakan caregiver stroke dalam hal
ini adalah seorang istri tidak siap menghadapi perubahan emosional dan fisik saat merawat suami yang mempunyai ketidakmampuan fisik. Gejala fisik yang
dialami oleh suami partisipan adalah kelumpuhan pada tubuh bagian kanan, ketidakmampuan berbicara, ketidakmampuan berdiri dan berjalan tanpa batuan
orang lain, kegiatan sehari-hari kebanyakan dilakukan diatas tempat tidur seperti ;
buang air kecil, makan, lap badan, dll.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi fisik suami menyebabkan partisipan kehilangan peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga, adanya gangguan komunikasi disebabkan oleh
kesulitan suami berbicara, dan adanya gangguan kognitif karena banyak berfikir tentang keadaan suami, dan kondisi emosi yang tidak stabil Sarafino, 2006.
Keadaan yang demikian merubah pemikiran dan harapan partisipan tentang perkawinannya Coleman, Antonucci, Adelman dalam Basow, 1992. Hal ini
sesuai dengan apa yang dirasakan oleh partisipan I dimana partisipan I mengalami adanya perubahan pemikiran dan harapan tentang perkawinannya seperti harapan
untuk memiliki rumah dan tinggal di rumah sendiri, dimana saat ini partisipan masih tinggal bersama dengan kedua mertuanya.
Pasangan yang merawat pasien stroke akan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan Cavanaugh Blanchard, 2006. Hal ini sesuai
dengan partisipan I dimana partisipan mengalami stress ketika merawat suaminya yang stroke dimana partisipan I menghabiskan hampir semua waktunya untuk
merawat suami. Kondisi fisik yang menuntut banyak bantuan dari partisipan, keadaan ekonomi yang sulit sejak suami stroke, membuat partisipan I stress.
Grant, Glandon, Elliot, Giger Weaver 2004 mengatakan bahwa minggu dan bulan-bulan pertama bagi caregiver stroke adalah saat yang berubah-ubah, tidak
jelas dan merupakan waktu yang mudah mendapat kecaman. Hal ini dirasakan oleh partisipan I dimana saat ini partisipan merawat suaminya telah menderita
stroke selama 2 bulan dan merawat suami selama 2 minggu di rumah sakit. Terdapat perubahan komunikasi sejak suami partisipan terserang stroke,
dimana saat ini suami partisipan tidak bisa berbicara, mengalami gangguan
Universitas Sumatera Utara
pendengaran pada telinga bagian kanan, mengalami penurunan kognitif dimana partisipan mengalami penurunan dalam memahami kata-kata, selain itu partisipan
juga tidak memahami bahasa isyarat. Hal ini membuat partisipan merasakan adanya kesulitan berkomunikasi dengan suami. Partisipan merasa suntuk karena
tidak bisa bercerita dengan suami, tidak bisa mencurahkan perasaan dengan suami, partisipan I juga merasakan bahwa suami tidak memahami perasaannya.
Partisipan mencoba berkomunikasi dengan suami dengan cara menebak-nebak keinginan suami. Ketika partisipan tidak memahami keinginan suami dengan
benar, suami akan marah kepada partisipan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nancy Peter dalam Shimberg 1998 bahwa ketika suami mengalami stroke,
akan menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi karena pasien yang mengalami gangguan bicara. Hal ini mempengaruhi penilaian partisipan terhadap aspek
komunikasi dalam perkawinannya. Waktu senggang yang dirasakan partisipan juga berubah. Dimana sejak
merawat suami yang stroke, partisipan merasakan bahwa waktu kosongnya semakin tidak ada. Bahkan waktu untuk beristirahat juga tidak ada. Partisipan
menghabiskan seluruh waktunya untuk merawat suami. Partisipan mengakui bahwa meskipun waktunya kebanyakan diisi bersama suami, tetapi partisipan
tidak menikmati waktu bersama dengan suami, dimana partisipan dan suaminya tidak mengisi waktu tersebut bersama-sama. Suami partisipan kebanyakan tidur
karena keterbatasan yang dimilikinya sejak serangan stroke. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Paul Stephanie 2008 bahwa istri sebagai
Universitas Sumatera Utara
perawat suami akan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika suami belum terserang stroke.
Orientasi keagamaan yang dirasakan partisipan juga berubah sejak suaminya terserang stroke. Partisipan menjadi semakin banyak berdoa, meskipun partisipan
jarang ke gereja sejak suaminya stroke disebabkan oleh kondisi suami yang membutuhkn istrinya setiap saat. Bagi partisipan keagamaan memegang peranan
penting dalam kehidupannya saat ini dalam menghadapi keadaan suaminya. Partisipan menemukan agama sebagai sumber kebahagiaan yang diperoleh
dibandingkan dengan apa yang telah diperolehnya sebelumnya, hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlock 1999. Mengisi waktu senggang dengan kegiatan
keagamaan akan mampu mengurangi beban pikiran istri, memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang akan mempengaruhi penilaian istri terhadap
perkawinannya. Kemampuan istri dalam menemukan kesenangannya dari agama akan mempengaruhi penilaian yang dirasakannya terhadap perkawinan.
Setelah suami stroke, partisipan berusaha memecahkan masalahnya sendiri disebabkan oleh suami yang tidak bisa diajak berdisikusi tentang masalah yang
muncul. Partisipan berusaha memecahkan masalahnya dengan cara berdoa dan banyak meminta pertolongan pada Tuhan. Dalam resolusi konflik partisipan tidak
terbuka dengan suaminya. Seperti pendapat Henslin, 1985, kemampuan untuk mengatasi konflik bisa diwujudkan bila semua anggota keluarga saling
mendukung dalam mengatasi masalah dan mendiskusikan dengan baik. Partisipan tidak mendapat dukungan dari keluarga dan tidak mampu mendiskusikannya
dengan baik. Dengan demikian mempengaruhi kemampuan resolusi konflik yang
Universitas Sumatera Utara
dimiliki partisipan. Partisipan I kurang mampu dalam mengatasi masalah disebabkan oleh kurangnya dukungan dari keluarga dan suami yang tidak bisa
diajak mendiskusikan masalah. Manejemen keuangan partisipan juga mengalami perubahan, saat ini partisipan
tidak memiliki mata pencaharian disebabkan oleh suami partisipan yang memiliki peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga menyebabkan munculnya kesulitan
keuangan dalam perkawinan partisipan. Selain itu partisipan menginginkan ada waktu luang untuknya menggantikan suami mencari nafkah. Tetapi hal itu tidak
mungkin dilakukan mengingat partisipan yang harus mengurus suami. Partisipan merasa stress dengan keadaan ekonomi keluarganya. Partisipan menginginkan
pengertian dan bantuan dari mertuanya untuk mengurangi beban keuangan yang dirasakan partisipan. Selain itu, keadaan ekonomi saat ini membuat partisipan
cemas dengan masa depan anak-anaknya yang membutuhkan pendidikan dan biaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa tokoh berikut ini seperti :
mayoritas penderita stroke dikatakan pengangguran dan tidak dapat bekerja kembali pada pekerjaannya yang lama Mc Garry, 2004.
Penderita stroke mempunyai dampak pada pendapatannya Richard Gordon, 2006. Adanya masalah kesehatan menimbulkan kesulitan dalam bidang ekonomi,
mengurangi pendapatan keluarga Emmanuel et all, 2000. Partisipan merasakan adanya pengaruh negatif stroke dan kondisi suami yag tidak lagi bekerja terhadap
perkawinannya sesuai dengan pendapat Conger et al., 1990 bahwa kesulitan ekonomi merupakan masalah yang menyebabkan pengaruh negatif dalam
Universitas Sumatera Utara
perkawinan, dimana hal ini akan menyebabkan penurunan terhadap kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh partisipan.
Hubungan seksual juga merupakan salah satu aspek dalam kepuasan perkawinan. Saat ini hubungan seksual partisipan masih aktif, tetapi terdapat
penurunan aktivitas seksual yang dirasakan partisipan berkaitan dengan kondisi fisik suaminya. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh Bray
Humprey dalam Lumbantobing, 2003 yang mengatakan bahwa kegiatan seksual setelah serangan stroke menurun. Bagi partisipan I, aktivitas seksual yang
menurun bukanlah sebagai sesuatu aspek yang paling dianggap penting dalam perkawinannya. Hal ini bertentangan dengan pendapat Mathias et al., 1997 yang
mengatakan bahwa hubungan seksual adalah prediktor yang baik dalam memprediksi kepuasan perkawinan pada istri. Bagi partisipan, kesembuhan suami
memegang peranan yang lebih penting dibandingkan dengan hubungan seksual. Hubungan yang baik dengan keluarga dan teman akan menimbulkan perasaan
bahagia Hurlock, 1999. Kepuasan perkawinan istri yang memiliki pasangan stroke sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. Ketika keluarga mendukung
dan memberi bantuan, seorang istri akan merasa bahagia. Charlie dalam Herra, 2008 mengatakan bahwa seorang istri mungkin akan bertahan dengan kondisi
suami yang terserang stroke ketika dia mendapat dukungan dari sahabatnya. Beberapa penjelasan diatas sesuai dengan apa yang dirasakan oleh partisipan saat
ini. Partisipan merasakan bahwa keluarganya kurang memberikannya dukungan. Selain itu, partisipan mengatakan bahwa sesuatu yang membuatnya merasa tidak
tahan dengan kondisi perkawinannya saat ini berkaitan dengan keadaan suaminya
Universitas Sumatera Utara
adalah karena tidak adanya dukungan dari pihak keluarga suaminya. Selain itu partisipan juga tidak memiliki teman yang bisa diajak bercerita dan berdiskusi.
Partisipan membutuhkan dukungan keluarga dan temannya, tetapi dukungan ini tidak didapatkan oleh partisipan.
Kehadiran anak dan pengasuhan anak juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan partisipan dalam perkawinannya saat ini. Peran pasangan akan
semakin bertambah setelah memiliki anak. Masalah pengasuhan anak menimbulkan tekanan tersendiri Rini, 2002. Bertentangan dengan teori ini,
partisipan tidak merasakan kesulitan dengan kehadiran anak-anaknya. Partisipan tidak merasa tertekan tetapi merasakan bahagia dengan kehadiran anaknya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hendrick Hendrick, 1992, menemukan bahwa kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangan. Hal ini akan
mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami mereka. Ketika anak menuntut perhatian dari istri, istri akan kesulitan membagi waktu antara mengurus
suami yang menderita stroke dengan mengurus anak, hal ini dapat menimbulkan tekanan pada istri. Hal ini bertentangan dengan apa yang dialami oleh partisipan,
dimana bagi partisipan kehadiran anak tidak menganggu atau mengurangi waktu senggang yang dimilikinya. Tetapi partisipan merasakan kepuasan dengan
kehadiran anak yang sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Rini, 2002. Kehadiran anak bagi partisipan adalah hal yang paling berharga. Anak-anak
membuat partisipan bertahan dengan kondisi suami dan menyebabkan partisipan mengurungkan niatnya untuk meninggalkan suami.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu masalah yang paling dianggap sulit dihadapi oleh partisipan adalah perubahan emosional suami setelah serangan stroke terjadi. Dimana partisipan
merasakan perubahan tersebut mempengaruhi perasaan dan pemikirannya. Partisipan stress dengan kepribadian suami saat ini yang semakin sering marah,
cepat tersinggung, manja, dan selalu menuntut perhatian dari partisipan. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Matthews 1996 tentang tingkah laku
dan kepribadian suami yang berubah setelah serangan stroke dapat menyebabkan kekecewaan terhadap istri, namun jika tingkah laku suami ternyata sesuai dengan
apa yang diharapkan akan menimbulkan perasaan puas pada istri. Hal ini sesuai dengan kondisi partisipan I karena partisipan kecewa dengan kepribadian
suaminya dimana tingkah laku suami tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh partisipan.
Aspek kepuasan perkawinan yang terakhir adalah peran egalitarian. Bagi partisipan, peran yang seimbang tidak menjadi keharusan dalam berumah tangga
seperti yang terjadi dalam keluarganya saat ini. Partisipan tidak menganggap ketidakseimbangan peran dalam keluarganya sebagai suatu masalah. Partisipan
menikmati perannya sebagai orang tua. Dengan kondisi suaminya yang demikian sering timbul rasa marah pada
partisipan I yang sering dirasakan dan dikendalikan untuk menghindari kemarahan suaminya. Dalam diri partisipan juga muncul kecemasan akan masa depan
keluarga dan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Hartke King, 2002 dimana kecemasan, depresi, merasa bersalah, marah seperti
dendam secara diam-diam, mungkin merupakan pengalaman caregiver.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kasus ini, tingkat depresi yang dirasakan caregiver lebih tinggi dari pasien yang dipengaruhi oleh tingkat keparahan stroke, kerusakan, level depresi
yang dimiliki pasien seperti karakteristik kepribadian pasien yang berhubungan dengan pengalaman depresi caregiver. Selain itu, tingkat depresi yang dirasakan
oleh caregiver juga dipengaruhi oleh self esteem caregiver yang rendah, tugas yang banyak, dengan ketidakmampuan pasien dalam mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya O Connel. Baker Prosser ,2003
B. Analisa Partisipan II 1. Analisa Data
a. Identitas Diri Partisipan II Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan II
Keterangan Partisipan I
Nama Samaran IF
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 43 tahun
Pendidikan Terakhir S1
Status Menikah Pekerjaan Ibu
Tumah Tangga
Jumlah anak 2 orang
Lama perkawinan 14 tahun
Lama suami menderita stroke 8 tahun
b. Deskripsi Data Partisipan II Partisipan II dalam penelitian ini adalah seorang perempuan berusia 43 tahun
yang berasal dari suku Batak Karo berinisial IF. IF adalah seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama 14 tahun. IF memiliki suami yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara