Gambaran Gejala Fisik dan Masalah psikologis Partisipan II Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan II

berapa kilo dia, ni pun dah gemuk lagi dia, sejak sakit tu langsung drop. 20 kilo tu Kak Ida rasa.” R2.W1.b.46-51hal.2 “…Bisa, dulu waktu pertama masih celetlah, masi Kaku, jalannya juga masih susah.” R2.W1.b.62-63hal.2

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah psikologis Partisipan II

Selama merawat suami, partisipan mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami gangguan fisik dan psikologis yang serius. Partisipan mengalami badan yang pegal-pegal dan sering masuk angin saat harus menemani suaminya berobat subuh-subuh. Dimana menurut partisipan hal tersebut disebabkan oleh kemampuan adaptasi partisipan. Di awal suami menderita stroke partisipan mengalami penurunan berat badan. “…Paling Kakak masuk anginlah dulu waktu sering jalan subuh ngantar Abangmu, pegal-pegallah awal-awalnya dulu.” “ R1.W2.b.775-777hal.19 “..Bisa, dulu waktu pertama masih celetlah, masi Kaku, jalannya juga masih susah.” “ R2.W1.b.62-63hal.2 “…oo..berkurang dulu, awal-awal kan Kak Ida jadi makin banyak kerja. Mungkin karna masih awal-awal Kakak kurang juga 2 kilo, tambah lagi 2 kilo, gitu-gitu aja.. Tapi kan nggak lama juga, naik lagi.” R2.W1.b.785-788hal.19 Diawal suaminya stroke, partisipan sering menangis tanpa sepengetahuan suaminya. Hal ini berkaitan dengan keadaan ekonomi keluarganya yang mengharapkan bantuan keluarga, selain itu partisipan juga menangis karena merasa tidak menerima suaminya yang stroke. “…Hmmm kalo itu dulu Kak Ida mau nangis juga Wi, tapi awal-awal dulu nggak bisa trima juga Kakak kek ngemis gitu kan tapi namanya juga kita butuh..” R2.W1.b.844-847hal.21 “…Maulah Wi, nggak mungkin aja semua kan ada proseslah. Skarang aja Kak Ida udah biasa aja..” R2.W1.b.852-853hal.21 Universitas Sumatera Utara “…Nggak trima juga gitu, napa harus skarang, napa harus Kak Ida gitu.” R2.W1.b.859-860hal.21

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan II

Setelah suami stroke, banyak hal yang berubah dalam perkawinan partisipan. Suami yang dulunya bekerja, menjadi pengangguran disebabkan oleh kelumpuhan pada bagian kanan tubuhnya, tujuan perkawinan yang berubah. Pascastroke, keinginan partisipan dan suami untuk memiliki rumah impian menjadi tertunda dan biayanya dialihkan menjadi dana untuk asuransi pendidikan anak-anaknya. “ … Banyak Wi yang berubah. Kan dulu Kak Ida ma Mas Edy maunya rumah ini kami bangun bertingkat. Trus dilantai atas tu khusus untuk tempat santai keluarga, semua lantai atas tu dibuat kasa nyamuknya, biar nggak masuk nyamuk. Kak Ida ma Abangmu dulu dah nabung lah tuk itu. Tapi ya Abangmu stroke kan udah keluar banyak biaya, ya tak pikir jugalah, buat apa ya kan, tak bilang sama mas Edy lah buat uang sekolah anak-anak aja, tak buatlah tu buat asuransi pendidikan anak-anak…R2, W2 B. 741-751 hal. 18.

1 Komunikasi

Kondisi suami partisipan pascatroke yang tidak mengganggu kemampuan komunikasi suami menyebabkan partisipan masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan suaminya. Partisipan tidak merasakan adanya perubahan dalam berkomunikasi sejak suaminya stroke dan partisipan juga tidak merasakan adanya masalah dalam berkomunikasi dengan suaminya disebabkan oleh kondisi stroke suami yang tidak terlalu parah. “Nggak ada, biasa aja. Karna Abang juga strokenya kan nggak parah x. W1. R2.b.182-183hal.5 Universitas Sumatera Utara “Bagus, biasa aja, nggak ada masalah, nggak pernah Kakak singgung-singgung, ah..udah sakit, nggak kerja, nggak pernah ya, untuk apa dibilang, dah terjadi, bukan mau dia kan?” W1. R2.b.140-144hal.4. 2 Kegiatan Mengisi Waktu Senggang Partisipan mempunyai kegiatan yang padat sehari-harinya. Ketika partisipan memiliki waktu senggang, partisipan memanfaatkan waktunya untuk membuat kue-kue, menonton televisi, tidur, dll. Sehari-harinya partisipan mengantar anaknya sekolah, ngaji, arisan, mengantar makanan pesanan orang dan membuat kue ketika memiliki waktu senggang di rumah. Partisipan sering membawa kue- kue masakannya ke arisan atau tempatnya mengaji, dengan begiru partisipan dapat memperkenalkan masakanny kepada orang lain. “..Padat juga sih, tapi kalo Kakak lagi malas masak ya kek gini, nggak ada kerjaan. Kalo lagi dirumah gini ngggak ada kerjaan. Kalo ada bahan kue, Kakak bikin kue, gitu bikin kue kering, nanti ngaji ato arisan dibawain, gitu. R2.W1.b.189-190,196-198hal.5. “…Pagi-pagi, Kakak ngantar Bayu ma Dita sekolah, ngantar peyek, ngaji, ada arisan keluarga, ngaji di tempat ini di tempat situ. Kalo lagi dirumah gini ngggak ada kerjaan. Kalo ada bahan kue, Kakak bikin kue, gitu bikin kue kering, nanti ngaji ato arisan dibawain, gitu.” R2.W1.b.193-199hal.5 Partisipan merasakan adanya pengurangan waktu senggang sejak suaminya terserang stroke, dimana partisipan adalah sosok yang aktif dan memilih mempunyai kegiatan dibandingkan dengan bermalas-malasan. ”Nggaklah, Kakak mang nggak suka tidur-tidur aja. Kadang kalo Kakak pengen tidur, ya tidur-tiduran aja, nonton tivi, R2.W1. b.204-296hal.5. Universitas Sumatera Utara Waktu senggang sering dinikmati partisipan dengan suaminya, dimana partisipan dan suaminya sering bersama berdua dirumah saat anak-anaknya sekolah. Kegiatan yang dilakukan bersama mulai dari santai bersama sampai dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan berdua dengan suaminya. Kegiatan ini sering dialakukan berdua untuk memanfaatkan waktu luang yang dimiliki. Kegiatan ini juga sering dilakukan sambil menunggu anak-anaknya pulang sekolah. “…Sering habiskan waktu berdua kan. Kadang kami ke petisah yok, liat-liat aja gitu. Apalagi kan udah beli motor, kadang beli ikan, ikan hias. Bli ikan hias yok katanya, ayok, kalo nggak, dirumah aja. Ayok beresin rumah, pasang seprei pun dah bisa Abang. Ayok mas, bongkarin bunga yok, ayoklah ayoklah, bongkar bunga, kalo dah bongkarin bunga ya udahlah, tak masaklah dulu, gitu aja. Yah kalo sore-sore ya udah baca Qur’an, nunggu magrib kan, anak-anak udah pada pulang sekolah, nunggu-nunggu magrib nggak ada mau kemana, kadang baca Qur’an kan berdua didepan. Yah gitulah nggak pernah kami pigi-pigi ke karaoke, nggak pernah. Dari mulai pacaran nggak pernah ke karaoke. Nonton bioskop ialah pernah. Tapi kadang mas Edy bilang ya udahlah, bli aja CD nonton dirumah rame- rame sama anak-anak. Mending uangnya beli makan.“ R2.W1.b.250-267hal. 7. Partisipan senang menghabiskan banyak waktu senggang bersama dengan suaminya. “…Senang Kakak, bersyukur InsyaAllah dengan kondisi Abang waktu kita untuk berduaan makin banyak kan? Kek skarang anak-anak sekolah, Kakak berdua dirumah sama Abang..” W1. R2.b. 270-273 hal.7. Partisipan merasa waktu luang bersama teman-teman dan keluarganya berkurang sejak suaminya stroke, dimana suami selalu mengharapkan kehadiran partisipan dirumah. Partisipan merasa suaminya tidak mengerti dengan kondisi waktu senggang yang berkurang dan keinginan partisipan untuk menikmati waktu luang bersama dengan sahabatnya. Universitas Sumatera Utara “…Berkaitan dengan stroke Abang mungkin ada perubahan, misalnya dulu sering ngumpul-ngumpul ma teman-teman dekat, skarang udah berkurang, gitu..” W1. R2. b.246-249 hal.6. “…Nah..itu yang kadang Kakak tu maunya mas Edy ngerti. Karna bosan juga kan dirumah trus, masak seharian, kan capek. Besoknya kalo nggak ada kerjaan kan biasanya Kakak dirumah aja sampe jam dua belas baru jemput Bayu, ya kalo kadang kawan Kak Ida ngajak jalan maunya mas Edy tuh ngertilah. Kasih Kakak waktu lah, jangan dikit-dikit juga ditelpon ya kan? Maunya gitulah wi, kan ma teman-teman tu ingat yang dulu-dulu kan seru. Ketawa-ketawa…” W2.R2.b.810-819hal.20.

3 Orientasi Keagamaan

Sejak suami stroke, partisipan merasakan adanya perubahan dari segi keagamaan yang dimilikinya. Partisipan dan suaminya berasal dari latar belakang keluarga yang taat beragama. Partisipan ingin menjadi contoh bagi adek-adeknya dalam kehidupan sehari-hari. “…Ialah, keluarga mas Edy pun keluarganya orang yang taat beragama. Kak Idapun keluarga yang taat beragama, Jadi mau nggak mau kan kami tu jadi contoh, ha..gitu, apalagi kami dua kan udah haji, ada contoh untuk adek-adek, anak-anak gitu juga. Mau nggak mau ya harus lah, harus mau. Sholat tuh tepat waktu, ngaji, baca Yassin, mulailah kalo kita dengar kaji tu mulai diterapkan. Kadang apa yang kita dapat waktu pengajian tu kita bilang sama adek-adek. Kan begini begini gitu, kadang orang-orang suka kemari emang, keluargapun, makcik- makcik Kak Ida pun datang kesini tukar pikiran, karena dia tau nggak kan mungkin melencenglah yang kita bilang tuh, itulah ya, haruslah dekat sama Allah, dah tua kek gini Wi, apalagi umur dah lanjut….” R2.W1 b. 275-291hal.7. Partisipan dan suaminya telah menjalani ibadah Haji. Ibadah haji ini dilakukan bergantian dengan suaminya. Partisipan mengakui bahwa ibadah Haji tidak dilakukan bersamaan dengan suaminya mengingat anak-anaknya yang harus diurus dirumah. “…Udah, kami dua-duanya udah haji. Tapi Abangmu duluan, Kakak satu tahun setelah Abangmu.” R2.W1.b.134-136hal.4 Universitas Sumatera Utara Partisipan dan suaminya adalah orang yang taat beragama. Partisipan aktif dan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan. “..Ngajilah, aktif semua. Ngaji keluarga, kawan-kawan sebaya ada dua, neruskan jejak mertu satu, dah brapa tu? Lima ya? Blom lagi ngaji malam, itu suami istri. Kalo yang lain itu Kak Ida sendiri aja. Abangpun ada, malam jumat, ganti-gantianlah. R2.W1.b.225-230hal.6 4 Resolusi Konflik Ketika partisipan memiliki masalah dan merasa tidak sanggup memecahkannya sendiri, bisanya partisipan menceritakan masalahnya pada suaminya. Selain cerita sama suami, biasanya partisipan menceritakannya pada adik ipar atau mertuanya. “…Abanglah, kadang kalo ada pengen cerita, yah sebisanya yang bisa Kak Ida hadapi, hadapin sendirilah…” R2.W1b.386-397hal.10 “…Kadang kesal sama Abangmu ni kan, Kakak critalah sama adek Kakak, yang sering datang kesini, tau kan? Kalo nggak crita sama mertualah, biar ntar mertua ingatin mas Edy…” R2.W1b.420-423hal.10-11 Partisipan merasakan munculnya konflik dalam perkawinannya berkaitan dengan kondisi suaminya yang stroke. Bagi partisipan masalah yang muncul masih bisa dihadapinya sendiri. Masalah yang muncul berkaitan dengan kondisi suami yang tidak bisa sembuh dan tidak bisa bekerja. “…Ada, tapi masih bisa. Alah udahlah gitu. Yang pasti kali ya keuanganlah? Perasaan itu sebagai istri kan, aduh kok nggak bisalah suamiku ini sembuh, ato dia nggak bisa sembuhpun, orang yang lebih parah dari dia masih bisa nyari nafkah….” W2.R2.b 295-299 hal.8. Partisipan memilih melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat ketika suaminya marah. Bagi partisipan, menghindari suami yang sedang marah dengan melakukan kegiatan lain lebih bermanfaat dibandingkan dengan melawan suami. Partisipan melakukan hal ini untuk menghindari suami terserang stroke lagi. Universitas Sumatera Utara “…Iyah, nanti bisa kena lagi. Nggak usah sahut-sahutanlah. Ya udah sabar- sabar kau kalo dia marah kata mertua, adek-adek iyalah, nanti sakit lagi biarlah dia cakap-cakaplah sendiri, di blakang aja kita masak, nyuci piring, ntah ngapainlah di blakang sana. Ada untungnya juga kalo kita brantam…” R2.W1b.556-562hal.14

5 Manejemen Keuangan

Keadaan ekonomi bertumpu pada partisipan sebagai pencari nafkah bagi keluarga, selain itu partisipan dan suaminya juga mendapat bantuan ekonomi dari keluarga suaminya. Keadaan suami partisipan berdampak pada kondisi fisik dan psikologis partisipan. Partisipan mengakui kemampuan adaptasinya yang cepat dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada perkawinan dan kondisi suaminya. Partisipan menutupi kekurangan ekonomi dengan cara menjalankan hobbynya memasak. Partisipan biasanya menerima pesanan kue, catering, makanan ringan, dll. Dengan demikian partisipan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. “ … Iya, kan Kakak bikin kue, masih hamil besar si Dita Kak Ida tetap bikin kue, terima tempahan orang gitu, nggak ada istilah bermalas-malasan gitu, nggak pernah….R2.W2 b.442- 445hal. 11. Dari segi keuangan, partisipan yakin akan selalu ada jalan keluar. Partisipan tidak mau mengeluh dengan keadaan ekonomi keluarganya. Partisipan mengakui selama empat belas tahun pernikahan kondisi keuangannya mengalir seperti air. Selain itu, partisipan mengakui bahwa mertua dan keluarganya tidak tinggal diam dan selalu memberikan bantuan dalam segi perekonomian. “….Kak Ida tuh yakin, ada jalan keluar. Kak Ida tuh nggak mau ngeluh, aduh kok bisa nggak ada uang ya, nggak ada, yakin ajalah kita, ada pasti jalan keluar. Buktinya kami dah 14 tahun ini kek air mengalir bisa juga kami pigi jalan-jalan bawa anak-anak ke restoran. Ada ajalah rezeki gitu kan, InsyaAllah ada jalan Universitas Sumatera Utara keluar tuh, yakinlah kita gitu kan? Mertua pun nggak akan tinggal diam kan. Keluarga kita semua membantu…” R2.W1b.353-361hal.9. Pihak keluarga selalu memberikan bantuan ekonomi setiap bulannya, termasuk dalam usaha partisipan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. ”..Iya, kadang kita bilang, anakku mau sekolah nggak adalah uang, mereka pasti bantu. Keluarga bang Edy pun tiap bulan pasti bantu ni uang sekolah Bayu. Adek-adek yang di Jakarta tiap bulan ngasih tuh. Tu mas Edy yang trimalah...” R2.W1b.363-367hal.9. “…Abangpun begajinya tiap bulan, adanya deposito kami gitu. Ada juga rumah kami kontrakkan. Heran orang itu kok nggak kerja dua-dua kok tenang-tenang aja. Yah disyukurilah semua Wi, apa yang ada Wi, dari bikin kue inilah Wi, ya Alhamdulillah bisa ganti kulkas Kakak, ya itulah rezeki dari Tuhan, kalo kita nggak dikasih apa-apa kelebihan dari Tuhan kan…” R2.W1b.400-407hal.10 Partisipan merasa keadaan ekonominya lancar-lancar saja sejak keadaan suaminya stroke. Partisipan mengakui adanya peningkatan penghasilan dalam keluarganya. “…Ya Alhamdulillah lah, pokoknya nggak banjirlah Wi, lancar-lancar aj, kalo perubahan penghasilan Kak Ida bilang, yah malah meningkat dibandingkan dulu.. R2.W1b.426=427 ,438-440 hal.11 Peningkatan penghasilan disebabkan oleh keadaan suami yang stroke menuntut partisipan menjadi lebih berusaha dalam mencari nafkah, kondisi suami yang stroke menyebabkan partisipan mendapatkan ide-ide baru untuk menghasilkan uang. “…Iyah, jadi lebih berusahalah Wi, yang dulu nggak kepikiran nyari uang darimana aja, kalo skarang ya jadi serba muncul ide-ide baru. Berusahalah.” R2.W1b.454-456hal.11. Di awal suami stroke, partisipan merasa tidak enak dengan bantuan keuangan yang diterima dari keluarganya, bahkan partisipan sering menangis di kamar Universitas Sumatera Utara mandi tanpa sepengetahuan suaminya dengan kondisi keuangan yang dibantu oleh pihak keluarga suami, dimana partisipan merasa keluarganya mengemis pada pihak mertuanya. Tetapi kemudian partisipan sadar akan kebutuhannya yang banyak, sehingga partisipan akhirnya terima dan bersyukur akan bantuan yang diberikan oleh keluarganya. “…Yah kalo keadaan ekonomi ini kan yang susah ya Wi ya, awalnya dulu Kakak merasa nggak enak dibantu sama keluarga terus. Perasaan ini rasanya gimana gitu kan, tapi Kakak juga sadar dirilah, ngapain nolak bantuan keluarga kita juga butuh, keadaan ekonomi. Kakak ya trima-trima aja Wi, ini semua udah kehendak Allah. Disukurin aja, masih punya keluarga yang peduli.” R2.W1b.674-681hal.17. “…Hmmm kalo itu dulu Kak Ida mau nangis juga Wi, tapi awal-awal dulu nggak bisa trima juga Kakak kek ngemis gitu kan tapi namanya juga kita butuh, ya bersyukur aja sama Tuhan kita masih ada keluarga yang mau bantu, bersyukurlah Abangmu ni dari keluarga mampu Wi, kalo nggak nggak tau juga Kak Ida…”W2.R2b.687-690hal.17 “…Kalo dulu Kak Ida tuh sering nangisnya tuh dikamar mandi. Jadi Abangmu nggak taulah..”W2.R2 b.859-860hal.21. Manejemen keuangan dilakukan bersama dengan suami. Partisipan menjadi pemegang kendali keuangan keluarga disebabkan oleh suami yang tidak bisa mengontrol pengeluaran keluarga. Tanggung jawab dalam biaya keluarga dilakukan dengan berbagi dengan suaminya. “..Berbagilah kami. Kadang dia nggak punya uang dia diam aja. Ida bagi uanglah untuk ongkos katanya, kasih uanglah, nggak ada malu-malulah. Kak Ida bilang kalo perlu uang bilang, jangan malu-malu. Cuma Kak Ida nggak mau nggak Kak Ida kasih, ni peganglah, nggak mau, kan mas Edy tu orangnya yang kalo megang uang tuh, ah..pengen beli ini buat anak-anak, inilah itulah, gitu, jadi abis-abis gitu aja. Sementara kita kan perlu banyak biaya? Kalo soal-soal uang Kak Ida, tapi kalo soal-soal telepon, air, listrik, tanggung jawab dia, jadi ada tanggung jawabnya...” R2.W1b.459-470hal.12. 6 Hubungan Seksual Universitas Sumatera Utara Partisipan mengatakan bahwa kondisi suaminya yang stroke tidak menyebabkan adanya gangguan dibidang seksual dalam perkawinannya. Partisipan mengatakan bahwa suaminya masih normal sama seperti laki-laki yang lain, hal ini disebabkan oleh sarafnya yang tidak terganggu. “…Soal hubungan suami istri nggak ada masalah kami, nggak ada. Abang walaupun dia sakit bagus-bagus aja, Abang masih baik, sehat, normal cam laki- laki lain, masih normal, mungin nggak kena sarafnya.” R2.W1b.302-307hal.8. Awal suami terserang stroke mertua partisipan khawatir dengan kondisi hubungan suami istri antara partisipan dan suaminya. Partisipan mengakui bahwa diawal serangan stroke, keluarga suaminya sudah memikirkan upaya seandainya partisipan meminta cerai. Partisipan merasa hubungan suami isrti bukanlah hal yang paling penting dalam perkawinan. Bagi partisipan, kesembuhan suaminya lebih penting dibandingkan dengan kondisi seksual. “Iya, sampe dulu mertuakupun itu yang ditakutkannya, dia ngomong sama Kakak Ida kan, trus saya pikirkan juga Edy ni sakit, ntah mana Ida minta cerai katanya gitu kan, udah kami pikirkan bagaimana nanti upaya, katanya. Trus saya bilang, yah semuanya kan bukan kita yang mau saya bilang gitu, kalopun dia terjadi emang nggak bisa hubungan suami istri lagi, ya udahlah kita perempuan ini kan nggak penting kali yang gitu-gitu, lainlah kalo dia hiper, maniak, nggak taulah kalo Kak Ida sih nggak itu yang utama dalam keluarga, yang penting sehat aja.” R2.W1b.308-319 hal.8 Berkaitan dengan hubungan seksual, partisipan merasa bersyukur dengan kondisi sedemikian. Partisipan bersyukur dengan kondisi suami yang masih normal. Selain itu partisipan merasa bahwa hubungan suami istri bukanlah hal yang paling penting dalam keluarga. “..Kakak syukurin aja, ada yang stroke udah nggak bisa, Abang masih normal- normal aja. Senanglah Kakak. Penting Wi, itu nggak bisa dianggap sepele. Makanya tadi Kak Ida bilang, mertua Kakak sampe mikirin gimana kalo Abangmu nggak bisa, sampe mikirin gimana kalo Kak Ida minta pisah…” R2.W2b.691-692,696-699 hal.17. Universitas Sumatera Utara 7 Keluarga dan Teman Partisipan menginginkan suaminya mengerti akan keinginannya untuk menikmati waktu bersama dengan keluarganya, dimana partisipan merasa suaminya cemburu bila partisipan menghabiskan waktu luangnya bersama dengan teman maupun keluarga pasrtisipan dan suami sering membatasi waktunya bertemu dengan keluarga dan teman-temannya. “..Iyah juga, kalo sama keluarga kan mas Edy masih mau ngerti kecuali harus nginap brapa hari. Kalo tu Kak Ida masih ngertilah. Nggak papalah tak pikir gitu,” W2. R2 b. 825-827 hal.26. “...gitu kadang asal kita mau ke rumah mama, gini ada perasaan cemburulah mungkin sama mas Edy ya Wi, apalagi kalo kita pigi ma kawan-kawan jam brapa pulang? Cepat dia nanya tuh, eh pigi aja belum tak bilang, kok udah nanya jam brapa pulang? Iya kan aku perlu tau, ntah 2 jam ntah 3 jam katanya..R2.W1b.591-597hal.15. Partisipan adalah sosok yang aktif dalam kegiatan keagamaan. Hal ini menyebabkan partisipan banyak memiliki teman. Selain itu partisipan juga memiliki sahabat yang sejak lama dimilikinya sejak bangku kuliah. Partisipan merasa senang dengan kehadiran teman dan sahabatnya. “…Banyaklah, pengajian aja udah banyak, yang dari kuliah aja masih tetap ngumpul. Cuma yang namanya sahabat karib yang ngumpul sama nggak ada. Sahabat untuk tempat curhat nggak ada, mending sama suami. Tapi masih mau ngumpul sama teman-teman. Berlima tuh kami dulu…. R2.W1b.378-383hal.9- 10. Universitas Sumatera Utara Selain dukungan dari teman-temannya, partisipan juga mendapat dukungan dan bantuan dari keluarga suaminya. Partisipan bersyukur dengan dukungan dan bantuan dari keluarga dan mertuanya. “…Tapi pastilah biaya ini pastilah jadi masalah, kalo mertua itu pun nggak tinggal diam, udah dibantu sama mereka, masuk rumah sakit kan berjuta-juta, ni pegangkan katanya…“ R2.W1b. 503-506hal.12 “…Iya, itulah yang Kakak sukurin, masih ada keluarga yang mau bantu. Tapi sampe kapan mertua itu hidup. Mudah-mudahan kalo adek-adek yang lain masih sayang sama kita, senanglah kita punya anak…” R2.W1b.508-512hal.13.

8 Kehadiran Anak dan Menjadi Orang Tua

Partisipan memiliki 2 orang anak yang sangat disayanginya. Partisipan tidak merasa kesulitan dalam mengurus anak disebabkan oleh anak-anaknya yang mandiri. Partisipan juga tidak merasa kesulitan dalam mengatur waktu antara mengurus anak dan mengurus suami yang stroke, disebabkan oleh suaminya yang mandiri dan tidak selalu diurus oleh partisipan. “Nggaklah, semua mandiri. Anak-anakpun mandiri, mas Edy pun mandiri. Nggak pernah tak siapin bajunya, seragam, gitu nggak pernah. Cari sendiri, pakaian dalam dibelakang, seragan ada di lemari, kadang Kak bilang gitu kan, susun baju mbak Dita, iya bu katanya, kadang kalo ada waktu Kakak rapikan lemari .” R2.W1 b. 524-530hal.13. 9 Kepribadian Serangan stroke membuat suami partisipan memiliki perubahan kepribadian. Serangan stroke yang terjadi pada suami membuat suami menjadi lebih rendah hati.selain itu partisipan merasa suaminya menjadi pribadi yang lebih sering marah dibandigkan sebelum terserang stroke. Partisipan juga merasakan suaminya menjadi lebih egois, dimana partisipan merasa suaminya menginginkannya untuk Universitas Sumatera Utara selalu bersama suami, sehingga partisipan kesulitan berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. “..Yah…kalo dulu dia mungkin lagak ma orang, ya skarang nggak lagilah, udah tau dia kekurangannnya apa. Udah merunduklah kita kan, namanya kita pun dah tua, da bapak-bapak, dah naik haji, nggaklah sama kek anak muda dulu, kalo sifat- sifat yang lain sih nggak berubahlah.. R2.W1b.544-549hal.14. “…Dulu marah-marah juga, skarang juga masih suka marah. Dari dulu mang gitu, Cuma Kakak nggak mau lawan, pelan- pelan Kak Ida bilang, kok gitu sih mas, iya salah saya, gini gini gini ya udah… R2.W1.b.551-554hal.14. “…Kak Ida kan pengen, rindu ngumpul-ngumpul gitu kan, orang kami naik mobil kok mas, ya udahlah, nggak usahlah gini gitu itu, keluarlah egois dia, nggak dikasihnya… R2.W1.b 583-586hal. 14. Partisipan merasa suaminya juga semakin sensitif dengan kondisinya yang stroke. Partisipan berusaha menjaga perasaan suaminya supaya tidak tersinggung. Partisipan akan merasa sedih ketika suami sensitif dan tidak memahami perasaan partisipan. “…Sensitif lah dia, tak bilang kamu naik mobil aja, ga usah naik kreta tak bilang, napa? Kamu malu ya karna aku sakit katanya, Oh, ya nggak lah mas, ngapain pula harus malu…” R2.W1b.623-626hal.15. “…Mau, kadang sedih juga kan, sakit juga hati digituin, yah, selama ni kalo malu, dah dari awal kita kita bilang, pisah aja? Malu kamu bonceng saya karna saya stroke ya? Ya nggak bukan gitu, membonceng itu kan berat mas, mio kan kecil, mas Edy naik mobil aja, kan sekalian sama orang mama tak bilang gitu, lebih lincah dijalan mas, kalo malu, bilang aja kamu malu. Nggak gitu aja. Pastilah dia sensitif dari dulu gitu..” R2.W1b.628-625hal.16. Kondisi kepribadian suaminya yang sensitif menuntut partisipan untuk menjadi lebih bersabar dan memahami keadaan suami. Partisipan berusaha untuk tidak membuat suaminya tersinggung dengan ucapannya. “…Makanya smua-smua itu Kak Idalah yang jaga, mana mungkin alah kamu kok gitu, jalan aja gitu, kita bilang mas jalannya lurus gitu aja, nggak adalah, Universitas Sumatera Utara biasa-biasa aja, sakitpun dia masih bisa ngurus diri sendiri, bisa juga berbuat untuk orang lain, jadi Kak Ida rasa negatifnya nggak masalahlah, masih banyak hal positif dari Abangmulah…” R2.W1 b.637-643hal 16. “…Yah sabar ajalah, trima aja, namanya juga sakit. Dia juga nggaknya mau kek gitu, yah nggak usah dimasukin ke hati ajalah gitu Wi, kalo dimasukin ke hati bisa stresslah Kakak…R2.W1.b.646-650hal.16. Selain perubahan yang membuat partisipan merasa sedih, partisipan juga menganggap banyak hal positif dari keadaan suaminya yang stroke dari segi kepribadiannya dimana suaminya menjadi lebih rendah hati, sehingga partisipan merasa suaminya lebih gampang diajak berkomunikasi dibandingkan dengan sebelum stroke. Selain itu partisipan juga merasa kondisi suami yang stroke menyebabkan banyak waktu yang dinikmati berdua bersama di rumah. “…ada positifnya Mas Edy stroke, bukannya Kak Ida beryukur Abangmu stroke kan tapi menurut Kakak bilang kan sblom stroke abangmu tu lagak ma orang Wi, uuu lagak kalilah, karna maknya kayalah, apalah. Jadinya sekarang kan brubahlah. Udah sadar diri. Kak Ida juga jadi lebih baik komunikasi apalagi kan berdua terus kan dirumah. Makin terbuka aja. Kami mang terbuka, itulah Kakak puas lah gitu. Yaaa gitulah Wi..” R2.W1b.799-807hal.20. 10 Peran Egalitarian Pembagian peran yang dijalankan dalam keluarga partisipan dirasakan seimbang. Partisipan membagi tugas rumah tangga dengan suami. “…Kak Ida rasa pembagian perannya baik-baik aja, seimbanglah tak rasa. Abang juga masih bisa ngurus-ngurus ini itu kan, kami juga bagi tugas. Mas Edy masih bagus kan, cuma tangannya aja yang susah. Kaki udahlah, lumayanlah… R2.W1. b.653-657hal.16 “…Seimbanglah ya, yah Kakaklah yang bagi. Mas bisa ini nggak? Kalo bisa mas Edy yang ngerjain, kalo nggak bisa ya Kak Idalah yang ngurus, gitu. Kalo pengeluaran keluarga Kak Ida rasa seimbang juga antara Kakak dan Abang, kek yang udah Kakak ceritakan tadi..” R2.W1. b.660-665hal.16. Universitas Sumatera Utara “…Sering sama dirumah, tu lah yang Kakak bilang tadi Wi, Abangmu sakit kita kan jadi sering sama dirumah, ada yang jaga rumah, jadi kadang nggak ada Abang, aduh..nggak ada bapak nggak enak ya nak, kalo Abang kan cemas, dikunci nggak pintu depan tu? Kadang Kakak kan nggak kepikir karna Kakak sibuk? Kalo Abang trus diliatnya tuh. Kalo nggak ada abaang sepilah kalo ada Abang kan sering melucu sama anak-anak, kalo Kakak nggak pintar melucu- melucu..” R2.W1b.606-616hal.15.

4. Interpretasi Partisipan II