Kesimpulan Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum.

BAB VI KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Kehidupan buruh di perkebunan setelah merdeka dan telah dinasionalisasikan tidak jauh berbeda dengan kehidupan buruh pada masa pemerintahan Belanda. Sistem perburuhan pada masa kolonial masih diadopsi, bahkan perhatian dan perlakuan terhadap buruh semakin memburuk, hal ini dapat dilihat dari jumlah jam kerja yang tidak sesuai dengan peraturan kerja seharusnya, upah yang sedikit sehingga tidak mampu memenui kebutuhan hidup keluarga buruh bahkan sistem utang dan perjudian masih menjadi tradisi di perkebunan. Minimnya upah yang diterima sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan mereka harus berhutang di koperasi-koperasi yang didirikan oleh pihak perkebunan, proses utang piutang berlangsung secara terus menerus, hingga saat tiba gajian besar, jumlah upah hanya mampu membayar utang yang sebelumnya dipinjam dari koperasi. Selain masalah jam kerja, upah, jaminan rumah dan keselamatan kerja juga sangat minim. Perlakuan terhadap buruh setelah kemerdekaan lebih buruk dibanding pada masa kolonial, pada masa kolonial jatah catu dalam keadaan kualitas baik, namun setelah perkebunan dipegang oleh orang Indonesia, pemberian catu yang diberikan kepada buruh berada pada kualitas yang sangat buruk seperti beras catu berkutu dan ikan asin busuk dan berulat masih diberikan kepada buruh di perkebunan. Alasan perlakuan buruk pihak perkebunan terhadap buruh mengakibatkan banyak banyak buruh yang bergabung dengan SARBUPRI dan Gerwani dibanding dengan PERKAPPEN. Universitas Sumatera Utara Setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 semua buruh yang bergabung dengan SARBUPRI dan Gerwani masuk daftar hitam pihak perkebunan, mereka tetap melakukan pekerjaan sebagai buruh sebagaiman mestinya, namun harus melapor setiap hari ke pihak perkebunan dan setiap minggu ke kantor Koramil Kec. Tanah Jawa. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1972, karena pada tahun itu pihak perkebunan memiliki kebijakan untuk tidak menggunakan orang-orang yang pernah terkait dengan PKI untuk bekerja di perkebunan. Hingga tahun 1973 kebijakan perkebunan ini mulai terealisasikan, para buruh dipecat dan dikeluarkan dari perkebunan. Pemecatan ini dikenal dengan istilah krimping, dengan demikian para buruh benar-benar terlepas dari pihak perkebunan dan mulai memasuki wilayah perkampungan menjadi petani. Setelah keluar dari pondok-pondok perkebunan, para buruh eks-PKI beradaptasi dengan masyarakat sekitar dengan mengikuti aktivitas seperti gotong royong, melakukan perayaan agama yang diikutu dengan penggunaan tradisi dari nenek moyang mereka. Mereka memulai aktivitas di lahan pertanian yang talah, baik yang berasal dari tanah warisan, membeli, menyewa ataupun menggadai dengan penduduk setempat. Mereka mengolah lahan pertanian dengan pengetahuan yang diperoleh secara otodidaks. Permulaan pertama menjadi petani di Desa Baja Dolok terjadi gagal panen hingga beberapa kali musim panen, hal ini semakin mempersulit kehidupan mereka, namun dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi, pertanian mengalami perkembangan yang dapat dilihat dengan perbaikan kondisi ekonomi dan sosial para buruh eks-PKI, di sisi lain budaya yang telah dipegang sejak lama mulai melebur. Universitas Sumatera Utara Seiring dengan berkembangnya teknologi dan pendidikan di Desa Baja Dolok, maka stigma tentang orang PKI hingga tahun 2000 hampir sama sekali tidak terlihat bahwa di desa ini hidup orang-orang eks PKI dan keturunan yang pada masa Orde Baru dianggap sebagai pengkhianat negara, pembunuh, pengacau dan tidak beragama dapat melembur dengan adanya perbaikan pendidikan. Namun tidak sedikit dari keturunan buruh eks PKI yang masih tetap menjadi buruh. Namun apa yang mereka lakukan selama 27 tahun di wilayah perkampungan mampu menciptakan suatu counter stigma di lingkungan tempat tinggal mereka. Universitas Sumatera Utara

6.2 Saran