BAB V KEHIDUPAN BURUH EKS-PKI MENJADI PETANI
Setelah keluar dari pondok perkebunan dan memilih untuk menetap di wilayah perkampungan, para buruh eks-PKI mulai menempati tanah-tanah yang telah mereka beli
sebelum keluar dari pondok perkebunan untuk dijadikan tempat untuk memulai kehidupan baru mereka. Awalnya para buruh eks-PKI memilih wilayah perkampungan hanya sebagai
tempat tinggal namun dengan memiliki lahan-lahan pertanian mereka memilih untuk mengolah lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selanjutnya. Dengan demikian
mereka secara tidak menyadari bahwa dengan beralih mata pencaharian sebagai petani status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan buruh.
5.1 Sistem Kepemilikan Tanah
Masalah penguasaan tanah di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena menyangkut berbagai aspek baik aspek ekomomi, demografi, hukum, politik maupun sosial.
Kelima aspek tersebut merupakan hal penting dalam membagi klasifikasi susunanan masyrakat, hal ini bukan saja menyangkut hubungan manusia dengan tanah saja tetapi
menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Manusia bisa menciptakan segala benda berdasarkan ilmu yang mereka miliki namun mereka tidak mampu mnciptakan tanah.
Masalah penguasaan tanah merupakan hal yang sangat sensitif bagi kehidupan masyarakat di bumi.
Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Indonesia adalah bentuk kepemilikan tanah yang didasarkan pada konsep tradisional, bahkan sampai Undang-Undang Pokok
Universitas Sumatera Utara
Agraria UUPA tahun 1960 secara nasional diberlakukan. Adapun beberapa bentuk penguasaan tanah tradisional adalah:
1. Tanah yayan atau yasayoso yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal
dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal UUPA 1960
sebagai tanah milik. 2.
Tanah Norowito, gagalan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya adalah tanah pertanian milik bersama yang daripadanya warga desa dapat memperoleh
bagian yang digarap. Penggarapan tersebut dapat dilakukan secara bergilir ataupun secara tetap yang didasarkan pada syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak
garap tersebut umumnya diperlukan syarat bahwa penggarap tersebut harus sudah kawin, mempunyai rumah dan pekarangan serta bersedia melakukan kerja wajib
desa. Dalam UUPA 1960 hak atas tanah ini diubah statusnya menjadi tanah milik penggarap terakhir.
3. Tanah titisara, bondo desa, kas desa adalah tanah milik desa yang biasanya
disewakan dengan cara dilelang kepada siapa yang menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin atau pemeliharaan desa seperti perbaikan
jembatan yang rusak, perbaikan jalan dan membangun mesjid. 4.
Tanah bengkok yaitu tanah desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa, terutama lurah. Hasil tanah ini dianggap sebagai gaji selama mendudukki jabatan tersebut.
Tanah bengkok dan tanah titisari ini dalam konsep barat digolongkan dalam kategori
Universitas Sumatera Utara
tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal dalam UUPA 1960 tanah bengkok itu tetap berfungsi sebagai adanya.
84
Mengenai sistem kepemilikan tanah di Desa Baja Dolok sangat sulit, berdasarkan informasi yang diperoleh dari para informan tanah di desa ini merupakan tanah raja, setelah
para kuli kontrak datang ke wilayah kerajaan ini mereka memiliki hak menggarap yang kemudian menjadi hak milik. Adapun kepemilikan tanah di Desa Baja Dolok dapat diperoleh
berdasarkan: a.
Tanah warisan, yaitu tanah yang dimiliki berdasarkan keturunan karena nenek moyangkeluarga mereka yang pertama kali membuka desa dan menempatinya,
sehingga kepemilikannya diwariskan kepada keturunannya. b.
Tanah yang diperolah dengan ganti rugi jual beli dengan masyarakat setempat, hal ini disebabkan karena pemilik tanah tersebut membutuhkan uang untuk keperluan
lain sehingga tanah tersebut dijual. c.
Tanah raja, tanah ini merupakan peninggalan dari raja yang pernah berkuasa di wilayah ini. Tanah ini boleh ditempati oleh masyarakat yang datang ke wilayah ini
namun tidak boleh menjualnya kepada siapapun, khususnya bagi mereka yang berasal dari suku Batak.
85
Lahan pertanian yang masuk ke wilayah administrasi Desa Baja Dolok hanya seluas ±451 Ha dan hanya dimiliki oleh beberapa penduduk di wilayah perkampungan. Pada tahun
1960 para petani di Desa Baja Dolok meminta kepada pihak perkebunan Bah Jambi untuk
84
Sedio M.P. Tjondronegoro ed, Dua Abad Penguasaan Tanah, Gramedia: Jakarta, 1984, hlm. 295.
85
Wawancara dengan Muhayan pada tanggal 14 Mei 2013 di Huta II Baja Dolok.
Universitas Sumatera Utara
memberikan lahan perkebunan pisang dan nenas kepada masyarakat Baja Dolok, berbagai aksi dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan kembali lahan yang telah direbut oleh
pihak perkebunan. Aksi ini sempat terhenti karena meletusnya G 30 S 1965, para petani takut melakukan perebutan lahan pertanian karena setiap yang melakukan aksi perlawanan
dimasukkan dalam orang-orang yang menentang negara dan digolongkan ke dalam orang- orang PKI.
86
Pada tahun 1966 para petani melakukan aksi kembali untuk merebut lahan perkebunan pisang dan nenas kebun Bah Jambi, aksi ini dimenangkan oleh pihak petani dengan syarat
yang diberikan pihak perkebunan bahwa lahan tersebut harus segera diairi. Jika lahan tersebut tidak segera diairi maka akan diminta kembali oleh pihak perkebunan. Dalam tahap
awal pengembangan lahan dimulai dengan pembukaan areal pertanian dengan melakukan pembabatan pohon pisang dan nenas, selanjutnya melakukan pemerataan tanah dan
pembuatan pematang-pematang untuk memungkinkan air hujan dan ditampung lebih lama untuk tanaman padi.
87
Dalam tahap berikutnya mulai dikembangkan irigasi untuk memberikan air ke lahan yang memerlukan sebagai pelengkap pemberian air ke lahan yang memerlukan sebagai
pelengkap pemberian air tadah hujan. Dengan demikian orang-orang yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh besar di Desa Baja Dolok memiliki kesempatan untuk memiliki
tanah garapan sendiri. Berdasarkan informasi dari beberapa informan bahwa buruh
86
Wawancara dengan Ngatemin pada tanggal 14 Juni 2013 di Huta III Baja Dolok
87
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
perkebunan eks-PKI juga memperoleh bagian lahan pertanian ini karena sebelum G 30 S 1965 meletus mereka ikut melakukan aksi perebutan lahan perkebunan Bah Jambi.
88
Tanah yang berhasil diambil alih oleh petani tetap menjadi lahan garapan bagi petani di Desa Baja Dolok, namun perlu diketahui bahwa lahan ini tidak masuk ke dalam wilayah
administrasi Desa Baja Dolok melainkan masuk ke dalam administari Desa Bah Jambi II. Hingga tahun 2000 para petani tetap melakukan aktivitas di lahan pertanian ini tetapi
pembayaran pajak dilakukan di desa Bah Jambi II.
89
Kepemilikan tanah bagi buruh eks PKI setelah memasuki wilayah perkampungan diperoleh dari tanah warisan keluarga, membeli, menyewa, bagi hasil dan gadai lahan dari
penduduk perkampungan. Mereka memperoleh tanah ini sebelum mereka keluar dari perkebunan, karena pihak perkebunan memberi kerenggangan waktu untuk meninggalkan
perkebunan dan mencari tempat tinggal baru. Sistem sewa, bagi hasil dan gadai biasanya berlaku bagi lahan pertanian, bagi buruh
yang hanya mampu membeli lahan untuk tempat tinggal namun tidak mampu membeli lahan pertanian.
a. Sistem sewa, menyewakan tanah garapan kepada orang lain, hal ini seperti
pemidahan pengelolah tetapi bukan pemindahan hak milik. Sistem sewa biasanya dibayar dengan jumlah tetap dalam bentuk uang atau gabah hasil panen. Sewa 1
rante lahan pertanian biasanya seharga 5 kaleng gabah.
88
Wawancara dengan Ngadikan, Ngatemin dan Sumarno pada tanggal 11 Juni 2013 di Huta III Baja Dolok.
89
Wawancara dengan Ngatemin pada tanggal 14 Juni 2013 di Huta III Baja Dolok
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem bagi hasil di Indonesia berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainya. Di Baja Dolok sistem bagi hasil dibuat oleh pemilik lahan dan penggarap, semua biaya produksi seperti biaya bibit, pupuk, biaya menanam dan memanen
ditanggung oleh penggarap. Hasil dari pertanian selanjutnya dibagi sepertiga, dimana penggarap mendapatkan bagian sebanyak 23 sedangkan pemilik lahan
sebanyak 13 dari hasil panen. Jangka waktu perjanjian bagi hasil dilakukan minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak. c.
Gadai, penggarap meminjamkan uang kepada pemilik tanah, dimana penggarap menerima sawah sebagai barang gadaian dan menggarapnya sebagai milik sendiri.
Syarat-syarat gadai ditentukan oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepatan dan ada pihak ketiga yang menjadi saksi, lamanya masa menggarap lahan pertanian
sesuai kesepatan kedua belah pihak, biasanya tiga kali panen dan setelah itu penggarap harus mengembalikan lahan kepada pemilik lahan apabila utangnya
telah dilunasi.
90
90
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Data kepemilikan tanah pertanian di desa Baja Dolok dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 5
Data Kepemilikan Tanah Pertanian di Desa Baja Dolok tahun 1980
D U
S U
N Mengusahakan Tanah
Pertanian Milik Sendiri
Mengusahakan Tanah Milik Orang
Lain Mengusahakan
Tanah Milik Sendiri dan Orang lain
0,00- 0,25
0,25- 0,5
Ha Di
atas 0,5 Ha
0,00- 0,25
0,25- 0,5
Ha Di
ata s
0,5 Ha
0,00 -
0,25 0,25
-0,5 Ha
Di atas 0,5 Ha
Afd VII -
- -
- -
- -
- -
Kp. Jawa 108
68 68
41 46
9 102
42 92
Kp. Banua 13
24 18
16 20
9 15
28 39
Kp. Balimbingan
20 31
24 13
13 4
15 39
35
Afd. VII -
- -
- -
- -
- -
Sumber: Data monografi Desa Baja dolok tahun 1980
Dari tabel 5 bahwa kepemilikan tanah tidak selalu mencerminkan penguasa tanah, hal ini dapat dilihat bahwa orang yang memiliki tanah sendiri masih menggarap tanah milik
orang lain mencapai 451 kk sedangkan orang yang memiliki tanah dan dikerjakan sendiri mencapai 380 kk dan mereka yang tidak memiliki tanah tetapi mengerjakan tanah milik
Universitas Sumatera Utara
orang lain sebanyak 171 kk. Di dusun II Kampung Jawa Baja Dolok pemilik tanah yang masih mengerjakan lahan milik orang lain seluas 0,25 Ha-0,5 Ha sebanyak 102 kk,
kemungkinan kepemilikan tanah yang sempit ini mendukung mereka untuk menggarap tanah orang lain melalui sewa atau gadai. Sementara jumlah orang yang tidak memiliki tanah dan
meyewa tanah milik orang lain seluas 0,25 Ha- 0,5 Ha memiliki presentase yang tinggi dibanding penyewa di tanah seluas 0,5 Ha ke atas. Dengan demikian penduduk Desa Baja
Dolok dapat dikelompokkan menjadi:
1. Pemilik penggarap murni yaitu petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri.
2. Penyewa Murni yaitu mereka tidak memiliki tanah tetapi mempunyai tanah garapan
sendiri melalui sewa atau bagi hasil. 3.
Pemilik Penyewa yaitu mereka yang menggarap tanah miliknya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain.
4. Pemilik bukan penggarap.
5. Tunakisman mutlak yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki tanah dan tidak
mempunyai tanah garapan, sebagian besar yang disebut sebagai tunakisman adalah buruh tani dan orang yang bekerja bukan disektor pertanian.
5.2 Kegiatan Ekonomi Sebagai Petani