Persepsi Aktivis terhadap Relasi Politik OMS
5.3.2. Persepsi Aktivis terhadap Relasi Politik OMS
dengan Partai Politik
Hal yang menarik adalah persepsi aktivis yang masih aktif di berbagai OMS yang ada di Aceh, khususnya dalam kategori pekerja LSM. Mereka menyatakan bahwa terdapat banyak pandangan terkait dengan relasi politik aktivisi OMS dengan partai politik. Secara umum, tidak ada persoalan dan hal wajar jika ada aktivis mencalonkan diri sebagai calon legislatif, karena itu adalah suatu hak konstitusional setiap warga. Disamping itu, maju sebagai legislatif sebagai proses pembuktian diri dari kerja-kerja sipil yang lebih konkret dalam konteks pengelolaan negara. Dimana ketika menjadi legislator maka kebijakan pemerintah akan lebih mudah dikontrol sesuai dengan kerja-kerja OMS
ditingkat grassroots. 77
Disisi lain, Abdullah 78 secara umum juga berpendapat sama. Namun demikian harus ada garis
demarkasi antara kerja politik dengan kerja sipil. Artinya, jika seseorang aktivis OMS yang sudah memilih untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari
77 Wawancara dengan Yulinda, aktivis Gerak Aceh yang
mencalonkan diri sebagai Caleg Kota Banda Aceh dari Partai Nasional Aceh
78 Abdullah, pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) yang berprinsip bahwa harus ada pemisahan antara masyarakat sipil
dengan masyarakat politik (political society) dengan masyarakat politik (political society)
Hal yang sama juga dikatakan Dahlan Isa, direktur LSM SAHARA, bahwa setiap pengurusnya dibolehkan menjadi aktivis Parpol dan atau mencalonkan diri sebagai Caleg pada pemilu. Namun harus mengikuti kode etik lembaga yaitu setiap aktivis organisasi berhak berpolitik tetapi harus melepaskan poisisinya di dalam organisasi agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Lebih jauh Dahlan menyatakan:
“....hampir setiap pemilu pasti ada staf SAHARA yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tapi itu tidak berpengaruh terhadap organisasi. Diinternal Sahara ada kode etik, ini diterapkan khusus kepada staf yang sudah terlibat dalam partai politik ataupun yang mencalon diri sebagai calon bupati dari jalur independen. Secara otomatis mereka tidak bisa dilibatkan lagi “....hampir setiap pemilu pasti ada staf SAHARA yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tapi itu tidak berpengaruh terhadap organisasi. Diinternal Sahara ada kode etik, ini diterapkan khusus kepada staf yang sudah terlibat dalam partai politik ataupun yang mencalon diri sebagai calon bupati dari jalur independen. Secara otomatis mereka tidak bisa dilibatkan lagi
Sementara MaTA berpandangan lebih ekstrem, dimana mereka yang terlibat secara langsung dengan partai politik tidak hanya dieliminasi dari kerja-kerja program keorganisasian, melaikan harus mengundurkan diri secara permanen dari kepengurusan lembaga. Hal ini sesuai dengan statuta lembaga MaTA yang melarang secara keras keanggotaannya atau kepengurusannya terlibat aktif dalam partai politik. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdullah bahwa:
“...tidak ada pengurus, mantan pengurus MaTA yang menjadi pengurus Parpol. Dalam aturan AD ART MaTA memperketat, tidak dibenarkan bagi pengurus terlibat dalam politik praktis, kalau ada yang memilih untuk bergabung dengan parpol, maka harus mengundurkan diri. MaTA tidak melarang seseorang tentang pilihan hak politik anggota, tetapi lembaga membatasi, agar tidak muncul kepentingan yang lain dalam lembaga, jika seseorang bergabung dengan partai, maka
akan ada kepentingan partai”. 80
79 Wawancara dengan Dahlan Isa, Direktur LSM SAHARA
Lhokseumawe, 4 September 2013
80 Wawancara dengan Abdullah Abdul Muthaleb, Manager
Program MaTA pada 12 November 2013
Dalam konteks relasi OMS atau LSM sebagai sebuah organisasi dengan partai politik yang juga sebagai sebuah organisasi, maka relasi itu patut dibangun. Relasi yang dibangun itu adalah relasi yang bertujuan untuk sinergisasi program-program stretegis untuk kepentingan publik semata, bukan kepentingan pragmatisme-materialistik dan politis diantara keduanya. Sinergisasi program strategis yang dimaksud disini adalah upaya mempengaruhi peran partai di parlemen untuk mengambil kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan publik. Salah satu contoh adalah yang dilakukan oleh KontraS Aceh dalam mempengaruhi Partai Aceh dalam pengesahan qanun KKR Aceh sejak tahun 2006 sampai disahkan pada tahun 2013 lalu. Begitu juga yang dilakukan oleh Katahati Institute dalam mengadvokasi qanun Komisi Informasi Aceh (KIA), atau relasi yang dibangun oleh Gerak Aceh dalam mengadvokasi penyusunan anggaran daerah yang berbasis gender, atau Sekolah Demokrasi Aceh Utara membangun relasi dengan membangun kapasitas (capacity building) setiap politisi dari berbagai partai politik yang ada melalui sekolah politik bagi para politisi.
Berdasarkan hal di atas maka relasi OMS secara organisasi dengan partai politik dibangun atas dasar
polas relasi partisipatoris. Relasi partisipatori ini umumnya dibangun atas dasar lobi-lobi personal tokoh
OMS dengan tokoh Parpol untuk kepentingan agenda organisasi. Secara umum OMS tidak ada yang mengklaim dirinya sebagai organisasi sipil bagian dari organisasi partai politik, meskipun secara program organasasi sipil tersebut berorientasi untuk kepentingan partai politik tertentu, seperti yang dilakukan oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) yang bekerja untuk pemenangan Partai Aceh atau sesuai setidaknya berjuang terhadap isu yang juga diperjuangan oleh partai politik. Namun mereka tidak mau disebut sebagai partisan (klientalistik) dari partai tersebut, seperti halnya NDI (National Democratic Institute) yang merupakan underbow-nya Partai Demokrat di Amerika Serikat, atau IRI (International Republic Institute) sebagai partisannya partai Republik.
Begitu juga sebaliknya, tidak ditemukan adanya organisasi yang secara nyata kontras dan anti-terhadap partai politik, selain FPI (Front Pembela Islam) dan Hizbut Tahrir. Kedua organisasi massa ini secara ideologis tidak hanya kontras terhadap partai politik, akan tetapi juga terhadap konsep demokrasi. Konsep anti-terhadap demokrasi merupakan konsekuensi dari ideologi
pergerakan yang menganut sistem
kekhalifahan. 81
81 Ke-khalifah-an merupakan sistem kedaulatan Islam (ad-
daulah islamiyah) yang mengaliminer konsep negara moderen (trias
Jadi secara umum relasi yang dibangun oleh OMS di Aceh adalah relasi partisipatory secara organisasi, dan relasi klientalistik secara personal aktivis organisasi dengan tanpa membawa nama organisasi. Meskipun demikian, sulit dipisahkan bahwa antara popularitas aktivis dari organisasi tertentu dengan personalitasnya yang bekerja untuk partai politik tertentu. Ketidakberanian untuk “menyeret” organisasi sipilnya dari kegiatan partai tertentu juga sebagai upaya untuk menjaga kemurnia organisasi dari keperpihakan kepada partai politik tertentu.
Sikap semacam ini menunjukkan apa yang disebut Ghia Nodia sebagai “narsisisme masyarakat sipil”, yakni sikap yang sangat bangga memandang masyarakat sipil sebagai aktor yang memiliki moralitas tinggi, idealis, bersih, independen, netral dan pro rakyat; sementara mereka memandang politik dan partai politik sebagai dunia yang kotor dan pragmatis. Ini yang melandasi sikap pertama di kalangan OMS: relasi OMS- partai sangat diperlukan dan harus dilakukan, tetapi
harus disertai idealisme (narsisisme) masyarakat sipil. 82
politica), dan kembali kepada konsep pemerintahan Islam klasik pada masa kejayaan ke-khalifah-an Usmaniyah dan atau Abbasyiah. Baca: KH. M. Shiddiq al-Jawi, Empat Pilar Negara Khalifah, diunduh dari http:hizbut-tahrir.or.id
82 Ghia Nodia, Civil Society Development in Georgia:
Achievements and Challenges, Policy Paper, Tbilisi: Caucasus
Sementara Sutoro menyatakan bahwa itu adalah bentuk relasi “malu-malu” dan cenderung mengambang
(floating relation). 83 Relasi “malu-malu” ini adalah bentuk untuk menyatakan kepada kepada publik bahwa
organisasinya bukanlah organisasi yang bekerja untuk kepentingan partai politik. Meskipun publik mengetahui bahwa secara tidak langsung organisasi tersebut bekerja untuk partai politik tertentu.
Gambar 4: Pola Relasi OMS Terhadap Partai Politik
Partai Politik
Personal
Pola Relasi
Tidak Langsung
Kegiatan
Grafik di atas menunjukkan bahwa pola relasi yang dibangun ada yang langsung dan ada juga yang
Institute for Peace, Democracy and Development, 2005
83 Sutoro Eko, Konsultan Ahli The Aceh Institute, 2013
tidak langsung. Secara langsung ada dua pola, yaitu langsung relasi kelembagaan dan relasi personal. Temuan The Aceh Institute menunjukkan bahwa relasi yang dominan dibangun oleh OMS adalah relasi personal dengan partai politik baik langsung maupun tidak langsung. Relasi personal langsung ini artinya, personal yang bersangkutan sebagai pengurus OMS sekaligus pengurus partai politik. Sementara relasi personal tidak langsung, ia bekerja untuk partai politik atas profesionalisme personalnya, serta tidak mengkaitkan dengan lembaga OMS yang dipimpinnya, atau tempat dia bekerja.
Sementara lembaga yang mempunyai relasi langsung secara kelembagaan dengan partai politik tidak ada, kecuali hanya beberapa lembaga organisasi sipil yang langsung dibentuk oleh partai politik tersebut, seperti ORMAS Nasdem, AMPI, Kosgoro, dll. Sebaliknya kalau organisasi sipil yang mempunyai relasi dalam bentuk kegiatan atau istilah Sutoro relasi programatik banyak dilakukan oleh berbagai lembaga, seperti ormas Muhammadiyah, NU, dan beberapa yang lain.
Relasi programatik yang dimaksud disini adalah organisasi masyarakat tersebut menerima dukungan
finansial baik berupa dana pribadi politisi maupun dana aspirasi dari partai politik tertentu dan digunakan untuk kerja-kerja organisasi masyarakat tersebut.
Relasi dengan parpol untuk mendapatkan dana aspirasi ini juga dipengaruhi oleh relasi personal atau relasi ideologi ORMAS tertentu dengan partai politik tertentu. Adapun skema bantuan aspirasi biasanya diambil dari pos dana hibah, yang mana setiap organisasi sipil terlebih dahulu mengusulkan program dan pertanggungjawaban kepada lembaga pemerintah tempat dana hibah dititip oleh anggota legislatif tertentu, dan harus mendapatkan persetujuan pemilik dana aspirasi.
Adapun kerja-kerja ORMAS dari dana aspirasi menjadi kewenangan ormas tersebut. Namun demikian, terdapat juga beberapa organisasi yang menerima aspirasi bekerja untuk komunitas pemilik dana aspirasi tersebut. Artinya, ada keuntangan bersama (muatulisme) antara yang memberi aspirasi dan yang menerima aspirasi.
Dahlan Isa, direktur SAHARA, menyatakan bahwa fenomena relasi antara OMS dengan partai politik paska program rehab-rekon tsunami umumnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Kondisi ekonomi LSM di Aceh saat ini sudah berbeda pada saat Aceh konflik dan tsunami, dimana paska tahun 2009 sudah sedikit sekali sumber pendanaan bagi gerakan LSM di Aceh, sehingga tidak sedikit membangun relasi “klientalistik” Dahlan Isa, direktur SAHARA, menyatakan bahwa fenomena relasi antara OMS dengan partai politik paska program rehab-rekon tsunami umumnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Kondisi ekonomi LSM di Aceh saat ini sudah berbeda pada saat Aceh konflik dan tsunami, dimana paska tahun 2009 sudah sedikit sekali sumber pendanaan bagi gerakan LSM di Aceh, sehingga tidak sedikit membangun relasi “klientalistik”
Selain relasi karena faktor ekonomi, faktor karir aktivis OMS yang menyakini bahwa parpol sebagai kelanjutan dari kerja-kerja sipil, sehingga perlu untuk masuk ke partai politik. Hal yang menarik adalah migrasi aktivis menjadi politisi itu cenderung memperlihatkan karir individual ketimbang sebagai gerakan dan politik representasi dari gerakan sipil itu sendiri. Menurut Aditya Perdana bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong aktivis bergabung dengan parpol. Pertama, alasan karir dan regenerasi dalam tubuh OMS. Pilihan terhadap karir ini didorong kepada posisi baru yang ia nyakini akan lebih mempunyai pengaruh terhadap perubahan yang lebih baik, melalui jabatannya sebagai pejabat negara.
Lebih jauh Adiyta menulis bahwa pilihan untuk bergabung dengan partai politik lebih disebabkan alasan yang emosional yaitu berdasarkan kedekatan, baik secara etnisitas ataupun secara garis perjuangan. Maka tidaklah heran bila beberapa aktor masyarakat sipil yang dikenal dekat dengan kelompok masyarakat di desakampung lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki kedekatan tersebut.
84 Wawancara dengan Dahdan Isa, 12 November 2013
Secara nasional misalnya pada Pemilu 2009, para aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatat sebagai caleg DPR RI semakin semarak. Diantaranya terdapat nama Ratna Bantara Mukti (aktivis perempuan-PDIP), Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), Indra Jaya Piliang (akademisipeneliti-Golkar), Hetifah Sj Sumarto (aktivis planologi-Golkar), ataupun Binny Buchori (aktivis perempuan-Golkar), yang resmi bertarung dalam sebagai caleg di masing-masing daerah pemilihannya. Namun demikian, diantara nama-nama tersebut hanyalah Hetifah SJ Sumarto yang sukses memperoleh kursi di Senayan dalam periode 2009-2014 nanti.
Ada pandangan masyarakat (pemilih), munculnya kenyakinan bahwa anggota legislatif yang sudah ada sekarang tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik dan signifikan bagi pembangunan dan mewujudkan negara lebih baik. Oleh karena itu dirasa penting untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan baik ditingkat legislatif maupun eksekutif agar pemerintahan dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita konstitusi dan prinsip-prinsip good governance
Trens yang terjadi ditingkat nasional pada pemilu tahun 2009 juga berkembang dan menular ditingkat provinsi Aceh, dimana ketiga faktor yaitu faktor ekonomi, kedekatan emosional, kemajuan karir dan terakhir karena faktor ingin merubah pemerintahan dan atau negara kearah yang lebih baik. Apalagi seperti Trens yang terjadi ditingkat nasional pada pemilu tahun 2009 juga berkembang dan menular ditingkat provinsi Aceh, dimana ketiga faktor yaitu faktor ekonomi, kedekatan emosional, kemajuan karir dan terakhir karena faktor ingin merubah pemerintahan dan atau negara kearah yang lebih baik. Apalagi seperti
soceity), dimana satu sama lain tidak dapat dipisahkan. 85
Gambar 5: Pola orientasi politik aktivis sipil terhadap
partai politik
Gambar ini menunjukkan bahwa pola orientasi yang paling dominan terjadinya migrasi aktivis OMS ke partai politik adalah
untuk meningkatkan karir, dan hanya sedikit diantaranya yang punya konsep dan
komitmen awal untuk menjadi pelopor perubahan
85 Kausar, Relasi Politik OMS dengan Parpol, disampaikan
pada Seminar Para stakholders dan OMS di Aceh pada 12 November 2013, di Oasis Hotel, Banda Aceh
(reform) dalam penyelengaraan negara menjadi lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Beberapa aktivis yang mempunyai komitmen untuk menjadi “agent of change” untuk reformasi di birokrasi
dan parlemen melalui mekanisme
pengambilalihan kekuasaan belum ada kesepakatan bersama diantara aktivis OMS itu sendiri. Artinya, sebagian besar aktivis OMS yang masih berpikir tidak “percaya” dengan komitmen itu karena melihat fenomena yang ada, bahwa tidak sedikit aktivis sipil yang sudah menjadi anggota legislatif terjebak dalam budaya pragmatisme-materialistik.