Pola Relasi Politik OMS yang Berkembang

5.3.3. Pola Relasi Politik OMS yang Berkembang

  Secara umum, relasi yang terbentuk antara OMS dengan partai politik di Aceh, secara organisasi adalah relasi partisipatory. Yaitu membangun kemitraan dengan parpol dalam mempengaruhi kebijakan. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Gerak Aceh terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan guru di Aceh. dalam hal ini Gerak Aceh melakukan konsultasi dengan Komisi D untuk memberi tekanan kepada pemerintah agar benar-benar menata dan meratakan distribusi guru. Komisi D menyampaikan hal ini melalui pandangan umum misalnya, sehingga akan lebih menguatkan misi mempengaruhi kebijakan ini. Tekanan tersebut disampaikan dengan cara mengundang mereka Secara umum, relasi yang terbentuk antara OMS dengan partai politik di Aceh, secara organisasi adalah relasi partisipatory. Yaitu membangun kemitraan dengan parpol dalam mempengaruhi kebijakan. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Gerak Aceh terkait dengan kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan guru di Aceh. dalam hal ini Gerak Aceh melakukan konsultasi dengan Komisi D untuk memberi tekanan kepada pemerintah agar benar-benar menata dan meratakan distribusi guru. Komisi D menyampaikan hal ini melalui pandangan umum misalnya, sehingga akan lebih menguatkan misi mempengaruhi kebijakan ini. Tekanan tersebut disampaikan dengan cara mengundang mereka

  Sementara secara personal, aktivis OMS melakukan penyebaran diri kesejumlah partai politik yang ada, baik partai politik berbasis lokal maupun nasional. Proses penyebaran ini, baik sebagai pendiri partai maupun sebagai pengikut partai yang sudah ada. Dari sekian pertai lokal tersebut, terdapat beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina pada ormas DI (Dewan Dakwan Islam Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibutabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu juga halnya dengan beberapa aktivis KontraS Aceh yang mendukung pembentukan Partai Aceh (PA) seperti Kautsar, Hendra Fadli, serta tokoh sipil Humam Hamid yang mendirikan PBA.

  Disamping partai lokal juga terdapat beberapa tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional, seperti TAF Haikal yang bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PNA) pada pemilu 2009, dan Akhiruddin Mahjuddin bergabung dengan Partai Demokrat, Hendra Budian dengan Partai Golkar dan beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya.

  Hasil temuan ini serupa dengan hasil penelitian Teuku Ardiansyah (2011) yang menunjukkan bahwa relasi yang dibangun oleh OMS mayoritas melalui penyebaran kadernya disuluruh partai politik yang ada, baik parpol berbasis nasional maupun lokal. Kedua, sebagian LSM tidak ada relasi secara khusus dengan partai politik, seperti LSM yang bergerak diisu HAM, Lingkungan dan LSM Anti-Korupsi. Sementara hanya sedikit yang membangun relasi dengan partai tertentu secara pragmatis karena ada unsur ekonomis atau lainnya.

  Sayangya, penyebaran aktivis OMS dalam berbagai partai politik ini tidak diberangi dengan agenda bersama yang diperjuangkan di berbagai partai politik yang berbeda itu pula. Sebaliknya, yang muncul adalah lahirnya agenda-agenda personal yang disesuaikan dengan agenda partai politik. Dengan kata lain, disatu sisi migrasi aktivis OMS ke dalam partai politik tertentu merupakan agenda pribadipersonal OMS tersebut, dan Sayangya, penyebaran aktivis OMS dalam berbagai partai politik ini tidak diberangi dengan agenda bersama yang diperjuangkan di berbagai partai politik yang berbeda itu pula. Sebaliknya, yang muncul adalah lahirnya agenda-agenda personal yang disesuaikan dengan agenda partai politik. Dengan kata lain, disatu sisi migrasi aktivis OMS ke dalam partai politik tertentu merupakan agenda pribadipersonal OMS tersebut, dan

  Gambar 6: Model Relasi LSM dan Partai Politik

  Sumber: Teuku Ardiansyah, 2011

  Beberapa LSM lainnya mempunyai agenda secara sadar untuk mendukung kadernya menjadi fungsionaris partai politik tertentu. Hal ini seperti yang dilakukan LBH APIK, dimana organisasi yang bergerak di isu-isu penguatan partisipasi perempuan diruang publik ini, mendukung pengurusnya atau kadernya untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis diberbagai partai politik yang ada. Disamping juga untuk memperjuangkan visi dan platform politik LBH APIK Beberapa LSM lainnya mempunyai agenda secara sadar untuk mendukung kadernya menjadi fungsionaris partai politik tertentu. Hal ini seperti yang dilakukan LBH APIK, dimana organisasi yang bergerak di isu-isu penguatan partisipasi perempuan diruang publik ini, mendukung pengurusnya atau kadernya untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis diberbagai partai politik yang ada. Disamping juga untuk memperjuangkan visi dan platform politik LBH APIK

  Secara umum, relasi politik yang dibangun oleh LBH Apik dengan anggota parlemen perempuan adalah relasi untuk melakukan advokasi kebijakan, khususnya regulasi dibidang perempuan dan anak. Relasi yang dibangun oleh LBH APIK sama halnya juga dilakukan oleh Jaringan Perempuan untuk Keadilan (JARI). Bagi

  JARI 87 Aceh (Womens Network for Justice

  AcehJaringan Perempuan untuk Keadilan) pilihan politik ini dilandasi dua hal. Pertama, sebenarnya LSM harus membangun relasi dengan partai politik, karena banyak orang saat ini terlibat dalam partai politik malah tidak mengetahui politik, tidak mengetahui berpolitik dengan benar. Kedua, dimaksudkan untuk memperkuat representasi politik kaum perempuan.

  Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa transformasi aktivis OMS ke partai politik disatu sisi untuk memudahkan kegiatan-kegiatan advokasi yang menjadi core dari gerakan OMS sendiri, dan disisi lain sebagai upaya untuk merebut kekuasaan dan kedudukan strategis dalam pemerintahan. Namun demikian, menurut Rahmat Hidayah dalam artikelnya “Dari Jalanan ke Parlemen” yang dirilis oleh Republika (15

  86 Wawancara dengan Roslina Rasyid, Direktur LBP APIK, 3 November 2013

  87 Direktur JARI Aceh, Khairul Hasni, 2 November 2013

  Mei 2013) menyatakan bahwa perubahan orientasi gerakan dari sipil ke politik umumnya tidak membawa pengaruh apapun terhadap kebijakan partai politik, sebaliknya terjebak dalam prilaku partai politik yang sangat pragmatisme dan realistis. Beberapa contoh aktivis seperti Anas Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir Djamil, Budiman Sujatmiko, dll pada akhirnya juga “terjebak” dalam kebiaasan lazim politisi yang pragamtisme-materialistik.

  Kesimpulan serupa meskipun tidak sama juga dikatakan oleh Marcus Mietzner (2013), yang menganalisis masuknya (hijrah) para aktivis pro- demokrasi ke ranah politik. Jumlah aktivis yang masuk ke DPR (2009-2014) cukup signifikan, yaitu 7, lebih tinggi dari pensiunan tentarapolisi yang hanya 2. Mereka tersebar diberbagai partai politik dengan mengusung isu dan kepentingan yang berbeda, dan untuk menyamakan penggunaan istilah, maka kita sebut sebagai aktivis-politisi. Secara umum ada tiga tipe orientasi aktivis-politisi tersebut, yaitu: (1) Aktivis- politisi yang berorientasi pada karir. Karir identik dengan kedudukan dan pencarian nafkah. (2) aktivis- politisi yang berorientasi politik: membangun political capital, memanfaatkan momentum politik untuk memperbesar kekuasaan baik individu maupun organisasinya. (3) aktivis-politisi yang berorientasi pada perubahan (reformasi dan birokrasi). Tipe yang pertama Kesimpulan serupa meskipun tidak sama juga dikatakan oleh Marcus Mietzner (2013), yang menganalisis masuknya (hijrah) para aktivis pro- demokrasi ke ranah politik. Jumlah aktivis yang masuk ke DPR (2009-2014) cukup signifikan, yaitu 7, lebih tinggi dari pensiunan tentarapolisi yang hanya 2. Mereka tersebar diberbagai partai politik dengan mengusung isu dan kepentingan yang berbeda, dan untuk menyamakan penggunaan istilah, maka kita sebut sebagai aktivis-politisi. Secara umum ada tiga tipe orientasi aktivis-politisi tersebut, yaitu: (1) Aktivis- politisi yang berorientasi pada karir. Karir identik dengan kedudukan dan pencarian nafkah. (2) aktivis- politisi yang berorientasi politik: membangun political capital, memanfaatkan momentum politik untuk memperbesar kekuasaan baik individu maupun organisasinya. (3) aktivis-politisi yang berorientasi pada perubahan (reformasi dan birokrasi). Tipe yang pertama