Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai
6.1. Pengaruh OMS terhadap Kebijakan Partai
Politik
Partai politik bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem demokrasi, bahkan menjadi syarat utama mewujudkan dari sistem tersebut. Melalui partai politik kebijakan dibuat dengan mekanisme proses pembuatan produk perundang-undangan. Sehingga keberadaan OMS sangat dibutuhkan guna mengontrol dan mengevaluasi kinerja partai politik yang berada di legislatif, baik secara internal maupun ekstrenal. Pengawasan internal ini dilakukan dengan peran kader OMS yang menjadi politisi partai politik tertentu. Sementara pengawasan eksternal dilakukan dengan kegiatan advokasi melalui public hearing, demontrasi dan kritikan melalui media massa.
Secara umum, ada beberapa contoh pengaruh OMS terhadap kebijakan parpol diparlemen, baik ditingkat nasional maupun ditingkat lokal. Setidaknya
91 Prinsip Good Governance antara lain: Akuntabilitas,
Pengawasan, Daya Tangkap, Profesionalisme, Efisiensi, Transparansi, Kesetaraan, Wawasan Ke Depan, Partisipasi dan Penegakan Hukum, diunduh dari Komite Nasional Kebijakan Governance, 10 Januari 2014 Pengawasan, Daya Tangkap, Profesionalisme, Efisiensi, Transparansi, Kesetaraan, Wawasan Ke Depan, Partisipasi dan Penegakan Hukum, diunduh dari Komite Nasional Kebijakan Governance, 10 Januari 2014
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 92 dan UU No.2 tahun 2011 partai politik serta yang terakhir UU
Pedesaan 93 . Sementara di tingkat lokal, OMS berhasil mendorong disahkannya Qanun No.17 tahun 2013
tentang Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, Qanun No.4 tahun 2010 tentang Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, dan beberapa produk hukum daerah lainnya.
Meskipun demikian, gerakan OMS ini belum terbentuk secara masif. Beberapa advokasi kebijakan terhadap partai politik juga lebih mengedepankan relasi personal dibandingkan dengan “bergaining position” kelembagaan OMS sebagai sebuah komunitas. Seperti halnya advokasi terhadap Qanun KKR, relasi personal aktivis KontraS di parlemen mempunyai pengaruh yang signifikan dalam proses pengesahan qanun tersebut. Hal ini terlepas dari kepentingan Parpol untuk mendapatkan simpati rakyat pada pemilu 2014, namun setidaknya
92 Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri,
Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta, YAPPIKA, 2006
93 Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009, dapat
diakses di www.parlemen.net diakses di www.parlemen.net
Artinya, peran secara masif keorganisasian belum terbentuk, seperti temuan penelitian ini dimana relasi OMS secra organisasi belum cukup kuat. Meskipun dengan masuknya kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) ke partai politik, namun belum mampu mempengaruhi kebijakan partai politik secara masif. Hal ini dikarenakan keberadaan aktivis menjadi kader partai tidak memiliki dukungan dari pihak luar yakni kalangan LSM dan Ormas. Selain itu, beberapa aktivis LSM atau Ormas yang menjadi kader partai politik tidak memback-up ide- ide gerakan OMS untuk kepentingan publik secara penuh. Disamping juga sikap LSM yang menjaga “jarak” dengan politisi partai politik secara organisasi, karena khawatir diklaim sebagai underbow partai.
94 Hal ini juga dikatakan oleh Zaini Djalil , Ketua Partai Nasdem Provinsi Aceh. Menurutnya kebanyakan
dari aktivis yang telah menjadi kader partai politik sangat kurang memiliki komitmen melakukan upaya memperjuangkan
kebijakan bersumber kepada
kebutuhan publik.
94 Tanggal 7 Desember 2013, Pukul 10.20
“...Seharusnya aktivis OMS yang bergabung dalam partai politik mampu menunjukkan ke publik agar publik mengetahui bahwa kader partai berasal dari aktivis serius memperjuangkan aspirasi dari konsistuennya ataupun masyarakat dampingannya. Sebaliknya hal ini tidak terjadi secara penuh, meskipun di Nasdem umumnya berasal dari aktivis OMS”
Namun pendapat Zaini Djalil ini berbeda dengan pengakuan dari Ketua Umum PNA Irwansyah alias Muksalmina. Ia menyatakan bahwa pengalaman PNA terhadap para aktivis OMS yang menjadi kader di PNA telah banyak berkontribusi dalam merumusakan arah kebijakan partai melalui pemikiran mereka yang jelas, terukur, terarah, dan mereka tetap memiliki konsisten
kepedulian terhadap masyarakat. 95
Namun demikian, menurut Muksalmina tidak semua ide ataupun pemikiran mantan aktivis yang bertransformasi menjadi kader partai diterima sangat tergantung dari persetujuan forum ketika memutuskan kebijakan di partai tersebut. Dirinya menambahkan, ketika mantan aktivis bergabung menjadi kader partai politik maka bentuk mekanisme partisipasi di internal dengan memberikan kontribusi pemikiranide. Bahkan
95 Wawancara dengan Muksalmina, Ketua Umum Partai
Nasional Aceh, 7 Desember 2013 Nasional Aceh, 7 Desember 2013
Dinamika terhadap peran OMS dalam mempengaruhi kebijakan parpol juga terdapat berbagai pandangan. Sebagian menyatakan bahwa untuk mempengaruhi kebijakan parpol tidak harus melakukan tranformasi ke dalam parpol, melainkan cukup diluar partai politik. Hal yang perlu dilakukan hanya membangun komunikasi secara aktif dan progresif dengan partai politik. Dengan demikian kalangan LSM maupun Ormas mampu menunjukan bahwa tidak harus masuk partai pun mampu mendorong perubahan kebijakan di partai politik.
Tabel 5: Beberapa contoh peran aktivis OMS terhadap
kebijakan pemerintah dan partai politik di Aceh.
Achehnese Civil Pertemuan rutin
1. Membicarakan terkait
Society Task
stakeholder dan
permasalahan serta
Force (ACSTF) komponen
mencari solusi
dan Jaringan
masyarakat sipil
mengatasinya. Demokrasi Aceh 2. Mendiskusikan
(JDA) Menginisiasi
agenda bersama guna
perumusan UU
mendorong pelayanan
Pemerintah Aceh
publik dan tata kelola publik dan tata kelola
pemerintahan
Sipil, serta advokasi proses
Mengusulkan draf UU
pembentukan
No. 11 tahun 2006 versi
RUU sampai
masyarakat sipil
ditetapkan menjadi UU No.11 Tahun 2006 (Support Yappika dan DRSP). CARe Aceh Pembentukan
1. Menjembatani
Forum
komunikasi intensif
Komunikasi
antara partai politik
Partai Politik
dengan konstituennya.
Dalam Mengatasi
2. Mengidentifikasikan
Kebutuhan
masalah-masalah dan
Konstituen
kebutuhan dari
3. Menguat dan
Republican
meningkatnya akses
Institute, 2010
partisipasi dari
dan 2011)
berbagai komponen masyarakat sipil dan pihak – pihak yang dianggap strategis untuk memenuhi hak dasar rakyat.
Forum LSM
1) Advokasi
1. Memperbaiki kualitas
Aceh Revisi Qanun
demokrasi melalui
Pilkada
implementasi pemilu.
perlindungan terhadap
Penyelenggara
hak-hak pemilih
an
dalam melaksanakan
Pemerintahan
pemilu.
dan Partisipasi Publik
Program ini mendorong
Institute Pemilu 2009
interaksi dan sinergisasi antar kekuatan pemilu,
Kerja
sehingga terpetakannya
Pelayanan
isu dan kebutuhan dasar
Publik Aceh
masyarakat serta harapannya (masyarakat)
kepada partai politik peserta pemilu 2009.
The Aceh
Penguatan
Untuk mewujudkan
Institute Peran
sigernisasi antara
Masyarakat,
kebijakan partisipatif
Bappeda dan
(warga), birokratis
DPRK Banda
(Bappeda) dan politis
Aceh
(partai politik)
terhadap pembangunan partisipatif melalui terhadap pembangunan partisipatif melalui
Untuk mewujudkan
Penyusunan
kebijakan partai,
anggaran
khususnya diparlemen
APBK yang
dalam pembahasan
berbasis
anggaran yang
gender
memperhatikan kebutuhan perempuan diranah social.
Dalam mempengaruhi kebijakan tersebut, OMS akan beririsan (berkorelasi) dengan kepentingan partai politik, dan juga pemerintah. Dengan kondisi seperti itu maka aktivitas LSM dituntut untuk mampu mempengaruhi para politisi diparlemen agar kebijakan- kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada kepentingan publik secara umum. Jika tidak maka peran OMS tidak mampu melahirkansubtansi produk kebijakan sesuai dengan keinginan OMS dan masyarakat sipil secara khusus.
Sementara pengaruh secara internal, aktivis OMS yang menjadi pengurus partai politik sangat sulit diwujudkan, khususnya dalam mewujudkan lahirnya prinsip-prinsip good governance secara totalitas. Hal ini dikarenakan posisi aktivis OMS dipartai politik “tersandera” oleh sistem partai politik yang lebih Sementara pengaruh secara internal, aktivis OMS yang menjadi pengurus partai politik sangat sulit diwujudkan, khususnya dalam mewujudkan lahirnya prinsip-prinsip good governance secara totalitas. Hal ini dikarenakan posisi aktivis OMS dipartai politik “tersandera” oleh sistem partai politik yang lebih
Gambar di atas menunjukkan bahwa intervensi OMS terhadap kebijakan partai politik dilakukan melalui posisi di eksternal dan juga diinternal, dimana secara internal para aktivis OMS menjadi bagian dari partai politik. Sementara dari eksternal OMS secara organisasi melakukan proses advokasi-advokasi ke partai politik untuk mempengaruhi kebijakan diparlemen atau dipemerintahan.
Dari kedua posisi tersebut, maka posisi ekternal cenderung lebih efektif dalam mempengaruhi kebijakan partai politik di parlemen, dibandingkan dengan intervensi melalui internal partai politik. Kecenderungan posisi eksternal lebih efektif dibandingkan dengan posisi internal karena posisi eksternal posisi OMS lebih independen. Sementara
“terkontaminasi” oleh kepentingan partai politik itu sendiri.