Gerakan OMS Paska Reformasi

4.1. Gerakan OMS Paska Reformasi

  Tumbangnya orde baru menuju reformasi telah membuka ruang gerakan masyarakat sipil diranah publik. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa juga menjadi momentum bangkitnya gerakan masyarakat sipil lebih luas, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial-budaya. Selain itu, pembagian kekuasaan dari konsep sentralistik berubah menjadi desentralisasi mendorong lahirnya berbagai gerakan OMS diseluruh daerah di Indonesia, termasuk di Aceh. Namun karena kondisi pemberlakuan operasi militer menyebabkan gerakan OMS masih sangat terbatas.

  Secara umum, gerakan OMS paska reformasi di Aceh memiliki agenda bersama saat itu. Menurut M.

  Alkaf 49 gerakan masyarakat sipil paska reformasi telah bersepakat membangun agenda bersama, tidak hanya

  49 M.Alkaf,”Pasang Surut Gerakan Politik di Aceh (Studi

  Kasus Power Movement Referendum Aceh 1998-1999)”, Thesis tidak dipublikasi, 2012, hlm. 1-2.

  sebatas agenda bersama akan tetapi dilakukan secara nyata. Agenda bersama terbagi menjadi dua aras di level nasional dan level lokal. Untuk level nasional terdiri dari; tegakkan supremasi hukum, Adili Soeharto, Amandemen UUD 1945, Otonomi daerah seluas- luasnya, Berantas KKN dan Perlindungan HAM. Sedangkan pada konteks lokal Aceh, dimana OMS memiliki agenda berbeda dengan nasional. Agendanya adalah tuntuan pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM). Setelah itu berturut-turut isu-isu kemanusiaan dan keadilan dijadikan sebagai masalah yang harus diselesaikan pemerintah pusat di Aceh, seperti pengusutan pelanggaran HAM, menarik tentara non- organik, aksi boikot pemilu dan akhirnya tuntutan referendum untuk Aceh.

  Seperti dijelaskan di atas, bahwa paska reformasi Aceh dilanda konflik. Ketika itu pembagian peran antar OMS sangat solid, terarah, dan terkoordinasi. Namun tidak semua yang dikatagorikan OMS melakukan upaya gerakan bersama. Faktanya hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat (buffer aksi) yang berani bersikap untuk melaksanakan agenda bersama yang telah disepakati bersama dengan mahasiswa. Ketika itu OMS yang berbentuk ormas umumnya mengambil posisi menjadi oposisi dengan Seperti dijelaskan di atas, bahwa paska reformasi Aceh dilanda konflik. Ketika itu pembagian peran antar OMS sangat solid, terarah, dan terkoordinasi. Namun tidak semua yang dikatagorikan OMS melakukan upaya gerakan bersama. Faktanya hanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat (buffer aksi) yang berani bersikap untuk melaksanakan agenda bersama yang telah disepakati bersama dengan mahasiswa. Ketika itu OMS yang berbentuk ormas umumnya mengambil posisi menjadi oposisi dengan

  “....Beberapa OMS, khususnya ormas tidak berani untuk mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintah, khususnya ketika Aceh dalam kondisi darurat militer. Hal ini dikarenakan kondisinya sangat tidak aman. Sehingga sikap keabu-abuan terkadang sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari klaim sebagai lawan pemerintah. Inilah yang membuat tekanan dalam gerakan tidak begitu masif dan kuat terhadap berbagai kebijakan pemerintah saat itu”.

  Selain itu, kondisi di Aceh pada saat itu berbeda dengan gerakan sipil di Indonesia secara umum, dimana gerakan sipil di Aceh masih berjuang mewujudkan perdamaian dan demokrasi. Gerakan sipil pada saat ini bahkan tidak terlalu tertarik dengan partai politik, bahkan sebagian menentang eksistensi partai politik karena dianggap tidak mampu memperjuangan perdamaian di Aceh. Gerakan OMS yang dipelopori oleh LSM dan buffer aksi lebih cenderung bekerja untuk isu- isu kemanusian di Aceh. Seperti membantu para pengungsi yang melakukan eksodus dari kampungnya

  50 Wawancara dengan Helmy M Hakim, di Banda Aceh pada tanggal 25 November 2013.

  karena menghindari kontak senjata antara TNIPolri dengan GAM.

  Data dari PCC (People Crisis Center) menunjukkan bahwa pengungsian di Aceh mencapai 250.000 jiwa yang tersebar di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan sejak penerapan Darurat Militer dan Darurat Sipil. Pengungsian terjadi paska kontak senjata antara TNI dengan GAM, masyarakat berupaya untuk mengamankan diri dengan menciptakan rasa keamanan bersama-sama di kamp-kamp pengungsian. Beberapa organisasi

  pendamping kemanusiaan, misalnya SMUR membentuk PCC, KARMA dan SIRA membentuk PEMRAKA. Kegiatan yang dilakukan antara lain: pertama, manajemen pengungsian, pendidikan dan pendidikan keagamaan, sanitasi, dan mengumpulkan bantuan

  kemanusiaan 51 .

  Sementara perkembangan gerakan aktivis melakukan transformasi dengan membentuk berbagai

  lembaga perkumpulan seperti; Forum LSM Aceh 52 , Suloh Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan beberapa

  51 Data People Crisis Center, 2008.

  52 Pada Musyawarah II tahun 1992 di Saree Aceh Besar

  dibentuk lembaga dipermanenkan dengan nama Forum Regional LSM (FR-LSM) Aceh. Selanjutnya dalam perjalanan dan dinamika organisasi pada akhirnya berdasarkan hasil Musyawarah IV tanggal

  2 sd 4 Januari 1997 Forum Regional LSM Aceh berubah menjadi Forum LSM Aceh.

  yang lain 53 . Tetapi terdapat juga gerakan aktivis yang tidak tergabung dalam lembaga perkumpulan melainkan

  berdiri sendiri, seperti; ACSTF, The Aceh Institute, Gerak Aceh, Katahati Institute, dll 54 .