Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di Aceh

5.3.4. Analisis Terhadap Relasi Politik OMS di Aceh

  Berdasarkan temuan di atas, maka secara umum relasi yang dibangun oleh OMS di Aceh adalah relasi partisipatif (participatory). Dimana beberapa OMS, khususnya LSM membangun relasi dengan partai politik melalui tokoh tertentu dari partai politik dalam kerja- kerja advokasi.

  Disisi lain, relasi secara personal ini tidak sedikit yang kemudian menyebabkan banyaknya aktivis OMS yang melakukan migrasi ke dalam partai politik. Upaya melakukan migrasi, istilah lain – infiltrasi secara personal ke dalam partai politik tertentupun belum mampu mempengaruhi terhadap kebijakan partai politik itu sendiri secara internal.

  Artinya, relasi partisipatoris antara OMS dengan partai politik yang cenderung efektif adalah relasi mempengaruhi kebijakan partai politik untuk kepentingan rakyat secara eksternal, tidak secara internal. Karena pengaruh secara internal, jika tidak dikatakan lemah, maka cenderung bersifat mengambang (floating linkage), dan umumnya terbawa arus kepentingan partai ensich. Kondisi ini seperti dikatakan Sutoro diakibatkan oleh kondisi aktivis OMS di partai Artinya, relasi partisipatoris antara OMS dengan partai politik yang cenderung efektif adalah relasi mempengaruhi kebijakan partai politik untuk kepentingan rakyat secara eksternal, tidak secara internal. Karena pengaruh secara internal, jika tidak dikatakan lemah, maka cenderung bersifat mengambang (floating linkage), dan umumnya terbawa arus kepentingan partai ensich. Kondisi ini seperti dikatakan Sutoro diakibatkan oleh kondisi aktivis OMS di partai

  Pertama, beberapa aktivisi OMS yang “migrasi” ke partai politik belum mempunyai modalitas yang memadai untuk mengimbangi apalagi merebut kekuasaan di partai politik di posisi strategis. Sebaliknya beberapa aktivis OMS yang mempunyai posisi strategis tidak mampu mengintegrasikan agenda masyarakat sipil dengan agenda partai politik. Umumnya yang terlihat adalah agenda partai politik semata.

  Kedua, relasi dan komunikasi antara OMS dengan partai politik secara institusional relatif tidak terbangun dengan baik. Kecuali pada saat menjelang pemilu beberapa partai politik membangun komunikasi untuk kepentingan politis partai, dan komunikasi dibangunpun tidak melalui institusi secara resmi, melainkan secara personal pengurus OMS tersebut. Disamping itu belum tercipta hubungan yang saling mempercayai satu sama lain. OMS dianggap organisasi idealis dan partai politik cenderung lebih pragmatis.

  Asiah Uzia, Mantan Koordinator Kontras Aceh, pengurus Partai PNA dan Caleg untuk DPRK Banda Aceh mengatakan:

  “...Relasi yang terbangun itu positif, tapi bisa menjadi negatif, ini ketika ada aktivis yang menjadi caleg, sedikit sekali aktivis OMS yang “...Relasi yang terbangun itu positif, tapi bisa menjadi negatif, ini ketika ada aktivis yang menjadi caleg, sedikit sekali aktivis OMS yang

  Kecenderungan OMS secara institusi menjaga jarak dengan aktivis sipil yang menjadi Caleg dari partai politik tertentu adalah bagian dari menjadi stigma idealisme tentang independensi, integritas dan netralitas dalam berhubungan dengan partai politik.

  Namun beberapa LSM secara personal membangun relasi dengan fungsionaris partai politik tertentu. Relasi ini terbentuk akibat hubungan emosional, ideologi, modal politik dan juga faktor ekonomi – personal dan juga untuk lembaga--. Namun terkait faktor ekonomi untuk kepentingan kelembagaan yang didukung oleh partai politik tertentu, juga umumnya dipengaruhi oleh kedekatan personal, bukan kelembangaan. Lembaga hanya dijadikan untuk proses administrasi dalam mendapatkan dukungan dana tersebut, khususnya dana aspirasi.

  Sedangkan relasi personal pengurus OMS dengan personal partai politik tertentu yang disebabkan hubungan emosional atau ideologi lebih ditunjukkan dengan dukungan secara personal pula bagi modal politik Caleg partai tertentu, dan tidak terlihat (samar) adanya pengakuan dukungan secara institusional.

  Di tengah kondisi yang samar-samar itu Muhammadiyah menunjukkan sikap terbuka dan jujur mengakui relasi yang dibangun dengan partai politik, khususnya relasi programatik. Muhammadiyah sering menerima dana aspirasi dari anggota parlemen yang berasal dari pengikut Muhammadiyah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hiqzil Apandi, bahwa:

  “... Ormas Pemuda Muhammadiyah sering menerima dana aspirasi dewan, hampir setiap tahun

  Muhammadiyah di DPR. Tetapi dana itu tidak dipakai untuk kerja-kerja dan kepentingan partai, melainkan digunakan untuk kegiatan organisai, misalnya untuk rehab masjid, membangun sekolah dan lain-lain...”,

  Lebih jauh Hiqzil Apandi mengatakan bahwa meskipun organisasinya menerima dana aspirasi dari kedekatan secara ideologi dengan anggota dewan, namun secara institusional Muhammadiyah tetap melakukan kontrol terhadap partai politik.

  Relasi secara ideologi yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat ini adalah bentuk dari visi-misi dari lembaga Muhammadiyah itu sendiri, dan dana aspirasi pun bagian dari dari masyarakat yang dialokasikan oleh anggota legislatif. Disamping itu, dukungan dari partai politik tidak hanya partai tertentu, melainkan dari berbagai partai. Artinya relasi itu terbentuk karena dari ideologi kemuhammadiyahan, bukan kepartaian.

  Beberapa OMS lain yang membangun relasi secara institusional dan personal dengan partai politik tertentu, dan bekerja untuk partai politik tertentu umumnya organisasi sipil yang dibentuk dan atau terbentuk secara temporer. Beberapa organisasi sipil tersebut cenderung tidak dikenal oleh publik, kecuali organisasi yang berbentuk underbow partai.