Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska

5.2. Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska

  MoU dan UUPA

  Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap

  melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik. 64

  Pasca ditanda-tangani MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia secara singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam UUPA adalah pembentukan partai politik berbasis lokal seperti disebutkan pada Bab XI pasal 75 sampai pasal 95 UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Parlok).

  Kehadiran Parlok ini memberikan warna politik berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum adanya partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai

  64 Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum

  (APF), Banda Aceh, 19 November 2013 (APF), Banda Aceh, 19 November 2013

  

  Proses pembentukan Parlok pertama diinisiasi oleh aktivis sipil yang bergabung dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk Partai Rakyat Aceh (PRA). Kemudian, mantan aktivis GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah nama menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN Dr.Farhan Hamid membentuk Partai Aceh Bersatu (PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang berbasis pesantren dan didukung oleh ulama tradisional membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir aktivis yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) membentuk partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).

  Pesta demokrasi pertama setelah perjanjian damai dilakukan pada tahun Juli 2009 menjadi pertarungan

  politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai nasional (Parnas). Ada hal yang menarik dimana partai

  lokal yang dibentuk oleh eks-GAM yaitu Partai Aceh membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang merupakan partai berbasis nasional. Sebuah kontrak politik dimana untuk calon legislatif tingkat nasional (DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang diusulkan oleh partai Demokrat, sebaliknya untuk calon legislatif provinsi dan kabupatenkota akan dikuasai oleh Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu berjalan, dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7 diantaranya berasal dari partai Demokrat. Hal yang sama juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah kursi, 33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh PDA dan sisanya partai 5 kursi Golkar, 10 partai Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara Parlok lainnya tidak memperoleh satupun kursi.

  Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatan Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatan

  Konstelasi politik dan demokrasi semakin tajam ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama dimulai ketika aksi boikot untuk ikut pemilukada yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai mayoritas di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256 UUPA tentang calon independen yang membatasi hanya untuk sekali saja. Sehingga konsekuensinya setiap orang berhak mencalonkan diri melalui calon independen, disamping yang diajukan oleh partai politik.

  Keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan Jakarta yang tidak “menghargai” UUPA sebagai UU khusus bagi Aceh. Disisi lain, secara politis juga memberikan peluang bagi incumbent untuk kembali mencalonkan diri melalui jalur independen pada pemilukada 2011 tersebut.

  Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan pelaksanaan pemilukada ditunda. Karena keputusan MK memberikan konsekuensi terhadap tahapan pelaksanaan

  65 Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai

  Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24 Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24

  Dominasi PA dalam setiap perkembangan politik di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan jadwal pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal, (2) tidak ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana alam, (4) gangguan keamanankonflik.

  pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di atas, namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI dan juga keputusan “politis” MK tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka, telah menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali,

  yang akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012. 66

  66 Kemendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan

  Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember 2011

  Pemilukada ini akhirnya dimenangkan pasangan yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan wakil Gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.

  Dalam pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa tindakan kekerasan menjadi potret pelaksanaan pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya seperti money politic. Namun demikian, tidak satupun kekerasan dan temuan politik uang (money politics) tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana pemilu. Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang diproses adalah kasus pembunuhan etnis jawa yang dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU anti-

  terorisme. 67

  Menjelang pelaksanaan pemilu nasional pada April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis lokal yang tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya membubarkan diri dan atau tidak lulus verifikasi faktual. Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu hanya 1 partai yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh. Namun demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos verifikasi akhir dari Kementarian Hukum dan HAM dan Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh, yaitu: (1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat

  67 Chairul Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam

  Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh), 2012

  Aceh (PDA), dan (2) Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu partai yang didirikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan GAM seperti Sofwan Dawod, Irwansyah, Muharram, Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa mantan kombatan lainnya.

  Secara umum, perkembangan partai politik di Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai politik, 2 diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh mantan eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi merupakan partai yang berbasis santri di pesantren. Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan diikuti oeh 13 partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh. Beberapa partai yang tidak lolos verifikasi melakukan pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan partai politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA yang bergabung dengan PNA.

  Proses pendirian Parlok di Aceh, baik oleh mantan kombatan GAM maupun oleh para aktivis menunjukkan kesadaran berpolitik dalam proses penguatan demokrasi di Aceh menjadi lebih positif, khusus dari perspektif struktur demokrasi itu sendiri. Pemilu pada 9 April 2014 akan menjadi ajang yang menarik untuk melihat kekuatan parpol mana yang akan mendominasi kekuasaan secara politik di Aceh dimasa yang akan datang. Setidaknya ada dua Parlok yang memiliki kekuatan basis karena relasi eks-kombatan Proses pendirian Parlok di Aceh, baik oleh mantan kombatan GAM maupun oleh para aktivis menunjukkan kesadaran berpolitik dalam proses penguatan demokrasi di Aceh menjadi lebih positif, khusus dari perspektif struktur demokrasi itu sendiri. Pemilu pada 9 April 2014 akan menjadi ajang yang menarik untuk melihat kekuatan parpol mana yang akan mendominasi kekuasaan secara politik di Aceh dimasa yang akan datang. Setidaknya ada dua Parlok yang memiliki kekuatan basis karena relasi eks-kombatan

  Hal menarik yang akan terlihat dalam pemilu 9 April 2014 mendatang juga terkait dengan koalisi PA dengan partai Gerindra, yang secara langsung menunjukkan proses re-integrasi politik antara mantan eks-kombatan yang merupakan refleksi dari PA, dengan mantan kopassus yang merujuk kepada pribadi Prabowo sebagai pendiri dan ketua pembina partai Gerindra. Lebih dari itu, seperti dikatakan oleh Ruslan bahwa koalisi dengan partai Gerindra karena ada kepentingan partai Aceh yang diperjuangan dan didukung secara

  penuh oleh partai milik Prabowo tersebut. 68

  Disisi lain, kehadiran Partai Nasdem yang membawa slogan “restorasi” juga menjada fenomana baru dalam proses demokrasi khususnya di Aceh. Setidaknya partai ini menjadi pilihan anak muda, dan

  68 Ruslan adalah salah satu aktivis Partai Aceh untuk

  Kabupaten Pidie, disampaikan pada FGD “Potensi Konflik di Aceh pasca MoU dan UUPA”, Sigli, 3 Desember 2013 Kabupaten Pidie, disampaikan pada FGD “Potensi Konflik di Aceh pasca MoU dan UUPA”, Sigli, 3 Desember 2013

  Namun melihat kenyataan yang ada, Fuad Mardhatillah melihat dari sisi yang berbeda. Menurutnya, OMS seharusnya berada pada backstage atau dipanggung belakang dari panggung politik praktis. Namun tumbuhnya “libido” untuk berkuasa, telah mendorong mereka untuk tampil ke frontstage. Namun sayangnya meskipun telah berada di frontstage yang lebih banyak ditonjolkan adalah pencitraan, kemunafikan dan kepalsuan. Salah satu contoh bentuk kepalsuan itu adalah penampilan dibaliho-baliho dengan tanpa ada bukti yang nyata terhadap kata-kata yang

  diucapkannya. 69

  Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan bahwa dinamika politik di Aceh paska ditanda-tangani perdamaian pada 15 Agustus 2005 dan disahkannya

  69 Fuad Mardhatillah adalah salah satu pendiri dan pembina

  The Aceh Institute, aktivis kemanusiaan Aceh serta akademisi di UIN Ar-Raniry, disampaikan pada Seminar Para Stakeholders OMS di Banda Aceh, November 2013

  UUPA tahun 2006 menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam proses demokrasi sangat tinggi. Bahkan semua elemen yang ada, baik yang berasal dari eks-kombatan GAM, aktivisi sipil dan para politisi lainnya mempunyai “libido” yang sangat tinggi dalam memperebutkan kekuasan ditingkat lokal Aceh, baik dilevel eksekutif maupun legislatif.