Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU

4.3. Gerakan OMS Paska MoU Helsinki dan UU

  Pemerintahan Aceh

  Secara umum, paska ditanda-tangani MoU Helsinki dan pengesahan UUPA oleh Pemerintah

  Republik Indonesia pada tahun 2006, beberapa OMS terlibat langsung dalam pembentukan partai politik berbasis lokal. Sementara aksi-aksi kontra-politik (gerakan jalanan) yang digerakkan oleh aktivis sipil menjadi meredup.

  58 Wawancara dengan Gading Hamonangan, Politisi Partai

  Demokrasi Indonesia Perjuangan, 30 November 2013

  Proses meredupnya gerakan jalanan yang menjadi ciri khas gerakan OMS juga dipengaruhi oleh faktor pengkaderan yang tidak berjalan. Sementara senior aktivis OMS telah merubah orientasi pergerakan dari jalanan ke parlemen.

  Disisi lain, pengaruh dari pembangunan paska tsunami yang membuat beberapa OMS bekerja untuk isu-isu tertentu, telah menyebabkan hilangnya isu bersama seperti halnya terjadi sebelum adanya MoU dan tsunami. Perpecahan dikalangan aktivis OMS yang disebabkan oleh perbedaan orientasi politik juga memperparah melemahnya pergerakan sipil di Aceh.

  Bebarapa aktivis senior OMS “terjebak” dalam memperjuangkan kepentingan partai politik tertentu. Secara tidak langsung hal ini mempengaruhi pada gerakan OMS dalam menyingkapi dinamika yang berkembang karena relasi senioritas yang sangat kental mempengaruhi indepedensi dari organisasi itu sendiri. Hal ini terlihat dalam sikap OMS di Aceh yang menyingkapi perdebatan terhadap pasal 256 UUPA tentang Calon Independen. Disatu sisi beberapa aktivis yang bergabung dalam Partai Aceh mencoba mempengaruhi beberaba OMS untuk menolak calon independen. Disisi lain, terdapat OMS yang berjuang untuk tetap diberlakukannya Calon Independen pada pemilukada tahun 2012.

  Terkait dengan tranformasi aktivisi OMS ke dalam partai politik yang makin terbuka dan menjadi bagian di dalam sistem partai politik menjadi fenomena menarik dalam gerakan sipil di Aceh. Sayangnya masih terdapat personal aktivis yang pasang dua kaki, dimana disatu sisi tetap aktif di LSM dan disisi lain aktif di partai politik atau kegiatan politik lainnya. Sebaiknya hal itu harus dipisahkan. Ini terkait dengan etika dalam dunia gerakan di LSM. Selain itu makin membuat aktivis bertanggung jawab terhadap mandat secara kelembagaan di LSM. Akan tetapi fenomenanya sekarang banyak aktivis hijrah ke partai politik, sehingga membuat

  kekosongan kader di tingkat gerakan OMS. 59

  Meskipun demikian, dengan adanya aktivis OMS di partai politik menjadi hal yang juga akan memudahkan kegiatan advokasi kebijakan yang dilakukan OMS sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Juanda Djamal salah satu aktivis yang tergabung dalam Jaringan

  memperjuangakan rancangan UUPA versi masyarakat sipil. Menurutnya, dengan adanya anggota parlemen dari aktivis sipil akan memudahkan komunikasi dengan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi OMS.

  59 FGD dilakukan di Takengon (31 Oktober 2013), Lhokseumawe (3 November 2013), dan Banda Aceh (25 November

  Hal yang sama juga dikatakan oleh Burhanuddin, yang menulis disatu sisi adanya aktivisi OMS di partai politik akan memberikan akses bagi kita dalam mempengaruhi kebijakan parlemen sesuai dengan kebutuhan publik. Namun disisi lain, OMS harus tetap independen dan tidak terjebak dalam kepentingan

  pragmatisme politisi tersebut 60 .

  Hal ini juga terungkap dalam FGD The Aceh

  Institute (2013) tentang “Pemetaan Relasi Politik OMS dan dampaknya” 61 , dimana kondisi gerakan OMS tidak

  begitu kuat lagi secara independen keorganisasian, dikarenakan hampir sebagian besar senior telah hijrah ke partai politik, dan disisi lain dukungan dari LSM internasional berkurang. Kondisi ini memerlukan strategi-strategi lain dalam menjalankan visi dan misi OMS di Aceh. Salah satunya adalah membangun stretegi relasi dengan politisi di partai politik untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gerakan OMS, seperti:

  1. Melakukan advokasi agar terbentuknya Komisi

  Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dengan mempengaruhi kader OMS yang sudah masuk kepartai penguasa, seperti ke partai Aceh.

  60 Mohamad Burhanudin, Paradoks Demokrasi Aceh dan

  Problem Rekonsiliasi, http:regional.kompas.com. 28 Oktober 2011

  61 Hasil FGD, Pemetaaan Relasi Politik OMS dan

  Dampaknya, Banda Aceh: The Aceh Institute, 5 November 2013

  2. Melakukan advokasi kewenangan turunan UU

  tentang Pemerintah Aceh yang belum dibuat dan disahkan Pemerintah Pusat melalui dorongan di media massa.

  3. Membantu implementasi dari kewenangan

  UUPA yang telah dimandatkan pada pasal- pasalnya.

  4. Mengontrol dan mengevaluasi implementasi dari

  kewenangan UUPA bagi Provinsi Aceh.

  Kegiatan-kegiatan ini sebagai bentuk strategi dari gerakan OMS untuk menemukan kembali format dan agenda kerja-kerja OMS paska konflik dan pembangunan akibat gempa dan tsunami. Sehingga posisi dan peran OMS tetap terjaga dalam membangun demokrasi dan pembangunan yang berkeberlanjutan.