Paska MoU Helsinki dan UUPA

3.1.2. Paska MoU Helsinki dan UUPA

  Sejak tahun 2005 sampai 2009, ratusan bahkan ribuan OMS lokal terbentuk di Aceh. Namun seperti disebutkan di atas yaitu bertujuan untuk program tsunami. Pembentukan OMS ini juga tidak terlepas dari banyaknya dana untuk program rebah-rekons Aceh. Beberapa LSM internasional membutuhkan mitra lokal untuk menjalankan programnya, demikian juga pembentukan OMS lokal ini akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan.

  Pada fase ini relasi OMS di Aceh dengan negara asing dan LSM asing begitu dekat, dan menjadi mitra dalam merealisasikan berbagai program pembangunan kembali Aceh. Sebaliknya relasi antara OMS lokal sendiri dengan pemerintah relatif kecil, dan cenderung OMS dalam bentuk perkumpulan atau koperasi.

  Setelah proses rehab dan rekons berakhir pada tahun 2009 beberapa aktivis OMS melakukan metamorposis orientasi gerakan dari gerakan sipil ke gerakan politik, khususnya politik lokal. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu legislatif pertama paska perjanjian damai di Aceh dilakukan pada tahun 2009, dan sejumlah partai lokal mendaftar diri ke kementerian Hukum dan HAM kantor wilayah Aceh. Beberapa partai lokal yang lolos verfifikasi mengikuti pemilu tahun 2009 antara lain: (1) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), (2) Partai Daulat Aceh (PDA), (3) Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), (4) Partai Rakyat Aceh (PRA), (5) Partai Aceh (PA), dan (6) Partai Bersatu Aceh (PBA).

  Dari sekian partai lokal tersebut, terdapat beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina pada ormas DI (Dewan Dakwan Islam Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibusabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu Dari sekian partai lokal tersebut, terdapat beberapa aktivis OMS yang ikut menjadi pelopor dan bagian dari terbentuknya partai politik yang berbasis lokal tersebut, antara lain terdapat Ghazali Abas Adan, yang mendirikan partai Paas dan merangkap sebagai pembina pada ormas DI (Dewan Dakwan Islam Indonesia), sementara di Partai Daulat Aceh ada Tgk Muhibusabri, Tgk.Ali Imran, Waled Husaini, dan lainnya yang umumnya adalah aktivis dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sedangkan di Partai SIRA terdapat sejumlah nama seperti Teuku Banta Syahrizal yang juga pernah menjabat sebagai program manager ACSTF, dan juga Wiratmadinata yang ikut melahirkan PRA. Begitu

  Disamping partai lokal juga terdapat beberapa tokoh OMS yang bergabung dengan partai nasional, seperti TAF Haikal yang bergabung dengan PAN pada pemilu 2009, dan Akhiruddin Mahjuddin bergabung dengan partai demokrat, Hendra Budian dengan Partai Golkar dan beberapa aktivisi gerakan sipil lainnya.

  Proses transformasi beberapa aktivis OMS ke partai politik juga tidak terlepas dari upaya untuk merebut parlemen dan posisi-posisi strategis dalam upaya mengambil jabatan-jabatan publik. Seperti halnya trend yang berkembang di Indonesia paska reformasi, dimana sejumlah aktivis mahasiswa reformasi menjadi pengurus partai politik dan juga menjadi anggota parlemen. Beberapa contoh aktivis seperti Anas Urbaningrum, Fahri Hamzah, Nasir Djamil, Budiman Sujatmiko, dll.

  Proses transformasi beberapa tokoh sentral dari OMS ke partai politik juga secara tidak langsung mempengaruhi eksistensi dari OMS tersebut, dimana orientasi OMS tidak terlalu progresif lagi untuk menentang berbagai kebijakan partai politik yang dianggap kebijakannya tidak berorientasi kepada kerakyatan. Setidaknya terdapat dua faktor yang Proses transformasi beberapa tokoh sentral dari OMS ke partai politik juga secara tidak langsung mempengaruhi eksistensi dari OMS tersebut, dimana orientasi OMS tidak terlalu progresif lagi untuk menentang berbagai kebijakan partai politik yang dianggap kebijakannya tidak berorientasi kepada kerakyatan. Setidaknya terdapat dua faktor yang

  Selain itu, perkembangan OMS paska MoU dan UUPA yang terkait dengan program paska konflik, umumnya dibentuk oleh personal yang mempunyai relasi

  dengan Badan Reintegrasi Aceh. 32 Namun OMS yang mendapatkan bantuan atau kerjasama dengan BRA ini

  cenderung tidak dikenal public, dan keberadaannya hanya temporer. Sehingga sulit untuk menginventarisir jumlahnya secara pasti. Salah satu organisasi sipil yang dekat dengan lembaga ini dalah ASG (Aceh Security Group). Lembaga ini didirikan oleh sejumlah mantan kombatan GAM, dan sering bekerja untuk mendata korban konflik dan dijanjikan akan mendapatkan bantuan rumah.

  32 Badan Reintegrasi Aceh adalah lembaga non dinas yang