murabahah belum terjadi pembelian. Tetapnya keuntungan baru bisa dikatakan
fixed ketika telah terjadi. Hal ini sangat berbeda ketika murabahah sebagai
produk pembiayaan.
3. Ketidakpastian Pembeli Komoditas
Ketika bank berada pada posisi sebagai wakil nasabah untuk menjual komoditasnya, permasalahan baru akan muncul ketika ternyata broker yang
akan membeli komoditas tidak ditemukan sampai batas waktunya maka pihak bank yang akan membeli komoditas tersebut, sehingga jual beli ini bisa masuk
kategori jual beli terpaksa. Karena bank terpaksa membeli komoditas tersebut untuk memenuhi janjinya demi memberikan prosentase yang telah disepakati.
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jual beli ini tidak sah karena tidak disertai keridhaan dalam akad
17
.
4. Konsekuensi Hukum Bentuk Simpanan Nasabah
Dalam konsep komoditi murabahah, jual beli yang terjadi hanya sekali dalam tempo waktu tertentu. Kalau dana tersebut dipakai lagi oleh bank untuk
melakukan jual beli keuntungan sudah pasti dinikmati oleh bank. Dan mungkin inilah yang dicari oleh bank karena dengan demikian dia mendapatkan dana
segar dan likuid sangat murah. Jika hal ini tidak seizin pemiliknya makan jual beli ini termasuk jual beli fudhuli. Dalam menyikapi hal ini, Ulama Hanafiyah
membedakan antara menjual dan membeli. Dalam menjual, jual beli fudhuli
17
Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah: Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum Bandung: PT Pustaka Setia, 2006, h. 94.
dianggap sah jika terdapat kerelaan dari pihak yang berwenang pemilikwalinya. Adapun dalam hal membeli untuk dirinya sendiri dianggap
sah, kecuali jika ia membeli dengan mengatasnamakan orang lain, maka akadnya dianggap sah jika terdapat kerelaan dari pihak yang berwenang
pemilikwalinya. Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, semua jenis akad fudhuli
baik menjual ataupun membeli harus mendapat kerelaan dari pihak yang berwenang pemilikwalinya. Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa akad jual beli ini mutlak tidak sah dan tidak perlu digantungkan pada izin pihak lain yang berwenang.
18
5. Menjual Komoditas Yang Belum Dimiliki
Sebagaimana yang penulis ungkapkan sebelumnya bahwa jual beli murabahah
ini sejatinya menjual janji untuk melakukan jual dan beli komoditas di masa yang akan datang. Berarti menjual sesuatu yang belum dimiliki dan
belum berada di tangannya. Padahal Islam jelas melarang siapa pun untuk menjual sesuatu yang belum dimilikinya. Termasuk Imam Syafi’i yang secara
mutlak yang juga diamini oleh Ibnu Hazm dan merujuk kepada hadis Nabi SAW:
َﺘْﺑَﺄَﻓَأ ىِﺪْﻨِﻋ َﺲْﯿَﻟ َﻊْﯿَﺒْﻟا ﻰﱢﻨِﻣ ُﺪﯾِﺮُﯿَﻓ ُﻞُﺟﱠﺮﻟا ﻰِﻨﯿِﺗْﺄَﯾ ِﮫﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﺎَﯾ َلﺎَﻗ ٍماَﺰِﺣ ِﻦْﺑ ِﻢﯿِﻜَﺣ ْﻦَﻋ َﻦِﻣ ُﮫَﻟ ُﮫُﻋﺎ
18
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 127-128.
ﻮﱡﺴﻟا لﺎَﻘَﻓ ِق
كﺪﻨﻋ ﺲﯿﻟ ﺎﻣ ﻊﺒﺗ ﻻ ماﺰﺣ ﻦﺑ ﻢﯿﻜﺣ هاور
19
Dari Hakim bin Hizam, Beliau berkata kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual
beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?
Kemudian, Nabi bersabda, Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.
HR. Hakim bin Hizam Rasionalisasi terhadap larangan pada hadis tersebut sangatlah jelas,
karena kepemilikan objek transaksi merupakan syarat memindahkan kepemilikan objek transaksi kepada pihak pembeli. Secara konsep murabahah
memang dibolehkan oleh syariah. Namun dalam implementasi komoditi murabahah
, objek transaksinya bukan merupakan harta yang dimaksudkan oleh syari’ah. Dalam konsepnya objek transaksi dianggap telah memenuhi syarat
dan rukunnya. Padahal kalau dilihat dari alur proses transaksi pada bursa berjangka objek transaksinya tidak ada. Sehingga jual beli ini lebih cocok
disebut dengan jual beli al-dain bi al-dain yang dijual dengan murabahah. Dari konsep ini ditemukan kesan memperturutkan hawa nafsu yaitu
mendapatkan keuntungan dengan cara apapun hilah walaupun itu sebenarnya riba yang dilarang. Abdullah Saeed dalam bukunya menyoal bank syariah kritik
atas kaum neo-revivalis telah membahas dengan panjang bagaimana bahaya riba jika tidak memperhatikan aspek moral dan etika, karena mementingkan
hilah untuk mencapai tujuannya.
19
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar. Mathba’ah al-Babi al-Halbi, 1372, h.164.