Menjual Sesuatu Untuk Masa Yang Akan Datang future contract

Misalnya seseorang menjual buah yang akan dihasilkan dari kebunnya, dengan harga tertentu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jual beli dengan cara seperti ini sah menurut fikih, karena tidak ada unsur gharar di dalamnya. Hal tersebut karena seorang pembeli akan membayar komoditi seharga dengan buah yang dapat diambil. Dan seandainya kebun tersebut tidak menghasilkan apapun maka sesungguhnya pembeli tidak memiliki kewajiban untuk membayar apapun. 15 Di bawah ini akan dijelaskan dalil yang dimungkinkan dapat digunakan untuk pelarangan transaksi jual beli buah sebelum layak panen future contract. Yang pertama yakni bahwa jual beli dengan harga keseluruhan sekaligus, sekalipun tidak mengandung unsur gharar dan sisi ketidaktahuan terhadap wujud komoditi, maka sesungguhnya dalam transaksi tersebut tetap dikatakan mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan terhadap efek dari akad itu sendiri. Karena sesungguhnya transaksi dalam kondisi tersebut menjadi mu’allaq bergantung atas adanya buah, dan itu adalah perkara yang dapat dimungkinkan akan keberadaanya.dan kita telah mengetahui bahwa para ulama fikih tidak membolehkan transaksi jual beli dengan adanya ta’alluq penggantungan bersyarat karena mengandung unsur gharar dan juga interpretasi lainnya. 16 Dan dalam transaksi tersebut juga mengandung unsur gharar dari sisi ketidaktahuan 15 Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam , h.234. 16 Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam ., h.235. dalam takaran komoditi ataupun harga, yaitu ketika seseorang tidak mengetahui ukuran dari apa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut walaupun faktanya memang menghasilkan buah. Dalil yang kedua yakni bahwa jual beli semacam ini dapat dikategorikan sebagai transaksi al-kali bi al-kali jual beli hutang dengan hutang, atau juga salam akan tetapi untuk buah tertentu dalam sebuah kebun, dan kedua transaksi tersebut dilarang dalam fikih. Hal demikian karena jika pembeli tidak membayarkan uangnya maka hal ini bisa disebut dengan transaksi al-kali bi al- kali , dan jika pembeli membayarkan uangnya maka ini adalah akad salam untuk komoditi tertentu. 17 Para pendukung akad kedua membela akan sahnya transaksi tersebut karena transaksi tersebut dianggap telah terlaksana. Dengan kondisi yang sama bahwa jual beli yang diperdebatkan keabsahannya adalah jual beli mu’allaq menggantungbersyarat atas adanya buah. Dan telah diketahui, bahwa transaksi bersyarat tidak akan terlaksana kecuali dengan terlaksananya sesuatu yang disyaratkan. Dengan alasan ini, maka pendapat kedua dianggap batal. Sekarang tinggal landasan argumentasi yang dipakai oleh pendapat pertama yang mengatakan bahwa unsur ta’liq dalam jual beli tidak diperbolehkan. Dan pendapat yang dipilih adalah tidak bolehnya memasukkan unsur penggantungan bersyarat dalam jual beli, walaupun pendapat mayoritas 17 Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam ., h.235. telah menolak sebagian pendapat para ulama fikih dengan membolehkan adanya ta’liq . 18 Adapun ta’liq dalam kondisi seperti itu tidak diperbolehkan karena tidak adanya kebutuhan mendesak dan tidak adanya unsur maslahah yang terbangun, bahkan terkadang dapat menimbulkan kemudharatan, yaitu ketika hasil panen lebih banyak dari yang telah disepakati oleh pembeli, karena ia akan merasa tidak mampu untuk membayarnya. Dan terkadang juga harganya berubah dari hasil panen yang dihasilkan dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Maka kemudharatan dapat dipastikan akan menimpa salah satu pihak yang berakad dengan penuh penyesalan dan kerugian. Dan hal ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan transaksi jual beli atau tetap melanjutkan transaksi dengan tidak adanya rasa saling ridho. Padahal saling ridho merupakan hal yang sangat ditekankan oleh syari’at dalam transaksi jual beli. Oleh karenanya kemashlahatan dapat terbangun ketika larangan jual beli hasil panen yang belum layak panen untuk waktu yang akan datang itu tetap dilarang, sekalipun transaksi tersebut dapat diharapkan hasilnya dan dijual dengan harga keseluruhan sekaligus.

2. Jual Beli Sesuatu Yang Belum Dimiliki Secara Penuh Oleh Penjual

Transaksi ini merupakan jual beli yang bertentangan dengan aturan fikih. Karena fikih tidak membolehkan seseorang menjual sesuatu yang belum 18 Al-Shidiq Muhammad al-Amin al-Dharir, Al-Gharar wa Atsaruhu fii al-Uqud fii al-Fiqh al-Islami , h.140-142. dimilikinya pada waktu transaksi berlangsung terhadap objek transaksinya yang utama. Dalam hasyiyah penjelasan Ibnu Abidin yang dikutip oleh Hussein Shahatah dikatakan: Termasuk salah satu syarat dari jual beli adalah objek transaksinya harus dimiliki secara penuh oleh penjual dari apa yang ia jual untuk dirinya sendiri. Maka tidak diperkenankan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, walaupun pada akhirnya objek tersebut akan menjadi miliknya setelah transaksi berlangsung, sebagai aplikasi dari sebuah hadis sahih tentang larangan seseorang menjual sesuatu yang bukan miliknya. 19 Dalam masalah ini Ibnu Qudamah berkata bahwa tidak adanya perbedaan pendapat ulama terkait hukum masalah ini. 20 Adapun ‘illat penyebab larangan dari hal tersebut adalah adanya unsur gharar yang timbul akibat adanya ketidakmampuan penyerahan komoditi. 21 Dalam permasalahan ini transaksi salam dikatakan sebagai pengecualian dari larangan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya, karena adanya hadist yang membolehkan akad salam. Maka dikatakan hadis yang terkait dengan salam merupakan mukhasis pengkhususan dari umumnya hadis tentang larangan untuk menjual sesuatu yang bukan milknya. 22 19 Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam , h.237. 20 Abu Muhammad Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdasi, Al- Mughni. T.t, Dar al-Manar, 1367, h.206. 21 Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam , h.238. 22 Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh Muntaqa al-Akhbar, h.165. Adapun transaksi salam yang terjadi di pasar keuangan yang dikenal dengan future contract, maka sesungguhnya transaksi tersebut mengandung banyak hal merugikan secara syar’i. Di antaranya adalah tidak disyaratkannya transaksi tersebut kepemilikan penuh si penjual, akan tetapi cukup dengan adanya komitmen untuk menyerahkan komoditi pada waktu tertentu jika pembeli memintanya. Sebagaimana pula tidak disyaratkan adanya uang muka dalam transaksinya, yang ada hanyalah syarat untuk membayar nisbah yang tidak lebih dari 10. Maka hal ini merupakan jual beli sesuatu yang bukan miliknya yang dilarang dalam Islam dan tidak termasuk dalam transaksi salam yang telah mendapat rukhsah untuk menjalankannya. Transaksi- transaksi sebagaimana yang disebutkan di atas jelas dilarang dalam syari’ah, walaupun si penjual memiliki suatu komoditi tertentu kemudian diserahkan kepada sang pembeli. Akan tetapi kenyataannya yang ada tidaklah seperti itu, karena transaksi ini hanya berakhir dengan pembayaran selisih dari harga agio, dan yang berakhir dengan serah terima komoditi tidak lebih dari tiga persennya, sebagaimana dibatasi oleh para broker yang ada dalam pasar tersebut. Dan inilah yang menjadikan transaksi ini lebih dekat kepada jenis perjudian daripada transaksi jual beli. 23 Selanjutnya penulis ingin memaparkan sebuah permasalahan yang terkait dengan jual beli sesuatu yang belum dimiliki secara penuh, sebagaimana tertuang 23 Muhammad al-Miqri ibn Abd al-Aswaq al-Maliyah. h. 23-24,makalah dipresentasikan pada akademi fiqh Islam Jeddah dalam konferensi yang ketujuh.