Jual Beli Sesuatu Yang Belum Dimiliki Secara Penuh Oleh Penjual
Adapun transaksi salam yang terjadi di pasar keuangan yang dikenal dengan future contract, maka sesungguhnya transaksi tersebut mengandung
banyak hal merugikan secara syar’i. Di antaranya adalah tidak disyaratkannya transaksi tersebut kepemilikan penuh si penjual, akan tetapi cukup dengan
adanya komitmen untuk menyerahkan komoditi pada waktu tertentu jika pembeli memintanya. Sebagaimana pula tidak disyaratkan adanya uang muka dalam
transaksinya, yang ada hanyalah syarat untuk membayar nisbah yang tidak lebih dari 10. Maka hal ini merupakan jual beli sesuatu yang bukan miliknya yang
dilarang dalam Islam dan tidak termasuk dalam transaksi salam yang telah mendapat rukhsah untuk menjalankannya.
Transaksi- transaksi sebagaimana yang disebutkan di atas jelas dilarang dalam syari’ah, walaupun si penjual memiliki suatu komoditi tertentu kemudian
diserahkan kepada sang pembeli. Akan tetapi kenyataannya yang ada tidaklah seperti itu, karena transaksi ini hanya berakhir dengan pembayaran selisih dari
harga agio, dan yang berakhir dengan serah terima komoditi tidak lebih dari tiga persennya, sebagaimana dibatasi oleh para broker yang ada dalam pasar
tersebut. Dan inilah yang menjadikan transaksi ini lebih dekat kepada jenis perjudian daripada transaksi jual beli.
23
Selanjutnya penulis ingin memaparkan sebuah permasalahan yang terkait dengan jual beli sesuatu yang belum dimiliki secara penuh, sebagaimana tertuang
23
Muhammad al-Miqri ibn Abd al-Aswaq al-Maliyah. h. 23-24,makalah dipresentasikan pada akademi fiqh Islam Jeddah dalam konferensi yang ketujuh.
dalam sebuah hadis yang melarang untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah larangan tersebut termasuk
setiap apa yang tidak dimiliki oleh seorang penjual pada waktu transaksi berlangsung? Baik itu untuk komoditi tertentu atau komoditi yang dalam
tanggungan yang tersifati kadar dan karakternya mausuf fii dzimmah, seperti salam
, atau juga apakah untuk komoditi yang bersifat mausuf fii dzimmah dapat diserahkan pada waktu akad? Atau termasuk sesuatu yang diserahkan beberapa
saat setelah transaksi berlangsung? Atau hanya khusus untuk kondisi-kondisi tertentu?
Adapun untuk menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis berpendapat bahwa larangan hadist terhadap seseorang untuk menjual sesuatu
yang bukan miliknya itu jika yang dimaksud dalam transaksi yang penyerahan objek transaksinya harus dilakukan pada waktu akad berlangsung, dan penjual
tersebut belum memilikinya secara penuh, dan jika disepakati atas penyerahan komoditinya beberapa saat setelah akad berlangsung, maka hal demikian
diperbolehkan, karena ‘illat dari larangan hadis adalah adanya unsur gharar yang timbul akibat ketidakmampuan dalam penyerahan komoditi, dan gharar tersebut
akan hilang atau berkurang ketika ada keyakinan dari pihak penjual untuk mendapatkan komoditi dan kemudian diserahkan kepada pembeli.
24
24
Hussein Shahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam
., h.239-240.
Dalam pandangan syari’ah, suatu transaksi terlarang ketika paling tidak mengandung salah satu dari riba, gharar risiko berlebihan dan maysir
perjudian. Pembahasan yang dilakukan oleh ulama mengenai kontrak berjangka dan instrumen turunan derivative lainnya umumnya terletak pada kandungan
gharar yang berlebihan di dalamnya. Gharar bisa didefinisikan sebagai
penjualan dari probable items yang eksistensi dan karakteristiknya tidak pasti, karena mempunyai risiko berlebihan yang mana membuat perdagangan itu
menyerupai atau bahkan menjadi perjudian. Gharar timbul ketika adanya ketidakpastian atau ketidakcukupan informasi jahl dalam persyaratan-
persyaratan yang ada dalam suatu kontrak seperti harga, obyek transaksi, jumlah obyek, waktu penyerahan, tempat penyerahan dan lainnya.
25
Dalam sejumlah hadis, Rasulullah Muhammad SAW telah melarang jual beli yang mengandung gharar ini. Kontrak berjangka memiliki pengertian mirip
dengan kontrak forward, yaitu sebuah kontrak untuk membeli atau menjual suatu komoditas atau sekuritas di masa datang pada harga yang telah ditetapkan
sekarang. Hanya tidak seperti forward, kontrak berjangka biasanya terstandard dan diperjualbelikan di suatu bursa resmi. Contohnya dalam kontrak berjangka
komoditas tembaga, satu unit tembaga akan diperdagangkan pada harga x dan akan diserahkan pada waktu penyerahan delivery date, akhir bulan ketiga.
25
M.Gunawan Yasni, “Kritik Syari’ah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank- Bank Asing”,diakses pada 5 September 2010 dari http:cybersofyan.wordpress.com20100905kritik-
syariah-terhadap-transaksi-murabahah-commodity-bank-bank-asing
Dari kontrak ini timbullah kewajiban dari kedua belah pihak yang bertransaksi yang pemenuhannya ditunda sebagai waktu penyerahan. Kewajiban
dari pembeli long position adalah menyerahkan satu unit tembaga, sementara kewajiban penjual short position adalah membayar x unit uang. Meskipun
dalam bursa berjangka, setiap trader wajib mendeposit sejumlah dana margin kepada pengelola bursa clearing house, tidak mengakibatkan kewajiban kedua
belah pihak tidak tertunda. Alasannya, jelas karena margin itu sendiri tidak diserahkan kepada para pihak counterparties dari kontrak dan biasanya
mempunyai nilai jauh lebih kecil dibanding dengan besar nilai kontrak. Mayoritas ulama sepakat bahwa transaksi dengan penyelesaian kewajiban dari
kedua belah pihak pada suatu waktu di masa datang secara syariah terlarang karena adanya kandungan gharar yang berlebihan. Transaksi seperti ini dikenal
juga dengan nama bai’ al-mudaf. Ada beberapa justifikasi terhadap adanya kandungan gharar dalam kontrak berjangka.
26
Pertama, timbulnya penundaan kewajiban kedua belah pihak dalam kontrak berjangka membuat transaksi ini menjadi penjualan sesuatu yang belum
dimiliki atau dikuasai oleh penjual short sale, sehingga secara syariah termasuk dalam transaksi terlarang kecuali untuk beberapa kontrak seperti salam dan
istishna yang mayoritas ulama menerimanya. Banyak bukti yang menunjukkan
26
M.Gunawan Yasni, “Kritik Syari’ah Terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank- Bank Asing”,diakses pada 5 September 2010 dari http:cybersofyan.wordpress.com20100905kritik-
syariah-terhadap-transaksi-murabahah-commodity-bank-bank-asing
bahwa penjualan semacam ini telah mendorong prilaku spekulatif berlebihan yang mengarah ke perjudian.
Kedua, berasal dari praktek yang terjadi pada kebanyakan bursa berjangka dimana penyerahan fisik sebagai cara penyelesaian kontrak bukanlah
menjadi tujuan. Dalam banyak kasus di bursa berjangka, transaksi biasanya berakhir dengan cash settlement pembayaran kas atau melalui offsetreversing
trade pembalikan transaksi perdagangan sebelum waktu penyerahan, tanpa
adanya penyerahan fisik. Malah terhadap kontrak berjangka yang memiliki dasar transaksi seperti indeks, penyerahan fisik sama sekali tidak memungkinkan.
Ketidakpastian mengenai adanya penyerahan fisik ini membuat barang yang diperjualbelikan dalam kontrak berjangka diragukan keberadaannya atau malah
sama sekali maya. Sehingga tidak diragukan lagi ke-gharar-annya. Ketiga, sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game pasti ada yang
untung disebabkan pasti ada yang rugi juga mendukung transaksi ini terjerembab menjadi maysir ketika harga dari barang dasar underlying good
kontrak tersebut sangat berubah-ubah volatile harganya dan sulit untuk ditebak pergerakannya khususnya pada kontrak berjangka valuta asing. Keuntungan
dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance perjudian yang jelas
mendorong prilaku spekulatif. Selain gharar, kontrak berjangka juga membuka ruang terjadi riba.
Mudahnya, ambil contoh dalam suatu kontrak berjangka atau forward valuta asing. Seorang individu membeli 1000 dari suatu pihak spot pada rate
1:Rp.8500. Beberapa waktu kemudian individu tersebut masuk ke suatu kontrak berjangkaforward dengan counterpart yang sama untuk menjual 1000 pada
forward rate 1: Rp9.500 setelah satu bulan. Transaksi secara tidak langsung menunjukkan bahwa si individu tersebut meminjamkan uang Rp.8,5 juta dan
menerima bunga sebesar satu juta rupiah setelah satu bulan. Ini mirip dengan transaksi repo dalam keuangan konvensional dan jelas ditolak oleh mayoritas
ulama.Transaksi dalam kontrak berjangka dimana terjadi penundaan kewajiban dari kedua belah memiliki nuansa pertukaran hutang dengan hutang bai al-dayn
bi al-dayn yang terlarang. Misalkan suatu kontrak berjangka tembaga. Si A
membeli tembaga satu ons seharga seribu satuan uang dari si B yang akan diserahkan pada akhir bulan ke tiga. Dapat dilihat di sini bahwa hutang si A
kepada si B sejumlah seribu satuan uang setelah satu bulan akan ditukarkan dengan hutang si B kepada si A sejumlah satu ons tembaga setelah satu bulan.
Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa transaksi dalam kontrak berjangka jelas mengandung unsur gharar, riba dan maysir. Hal ini membuat fungsi
instrumen ini juga instrumen derivative lainnya sebagai alat lindung hedging nilai dipertanyakan. Tujuan bertransaksi apakah untuk hedging atau spekulasi
makin tidak jelas.Volatilitas pasar dan ketidakjelasan dari underlying good suatu kontrak malah memancing lebih banyak prilaku spekulatif yang pada akhirnya
menuju pada volatilitas pasar yang lebih besar resiko lebih tinggi.
Inovasi dalam kontrak berjangka juga instrumen derivative lainnya justru meningkatkan unsur gharar dalam kontrak ini. Transaksi semacam kontrak
berjangka indeks jelas memperdagangkan sesuatu yang maya. Transaksi maya yang digelembungkan oleh segelintir orang atau segelintir komunitas khusus di
beberapa kota bisnis terbesar di dunia telah mendatangkan malapetaka dalam perekonomian. Jumlah uang yang beredar di bisnis ril menjadi terbatas karena
tersedot oleh transaksi maya. Padahal utamanya, perkembangan dari bisnis ril memberikan kontribusi langsung terhadap tingkat perekonomian negara dan
tentunya kesejahteraan masyarakat.