penggunaan bahasa sebagai kekuatan sebuah media dan juga sedikit pemahaman tentang media massa dan berita.
Koran Tempo merupakan subjek yang diteliti. Itu sebabnya Bab III
membahas tentang gambaran umum beserta susunan redaksi Koran Tempo. Bab ini juga mengulas sejarah Dahlan Iskan hingga dia menjadi menteri Badan Usaha
Milik Negara. Pembahasan bab pertama hingga bab ketiga melahirkan analisis tentang
kasus Dahlan Iskan melawan anggota DPR. Analisis tersebut ditulis pada bab keempat.
Pada akhirnya anlisis yang ditulis di bab empat menghasilkan sebuah kesimpulan dari peneliti. Kesimpulan tersebut ada pada bab kelima dan tidak lupa
pula peneliti memberikan saran kepada media massa di bab tersebut.
14
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Landasan Teori
1. Ekonomi Politik Vincent Mosco
Media massa diyakini bukan sekadar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat
pendudukan dan pemaksaan oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik memiliki pengaruh dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-
produk yang disajikan, media merupakan perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan
semata-mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar.
1
Pada akhirnya, media massa mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci pada masyarakat modern. Media massa mampu merepresentasikan
diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial, politik, dan budaya baik di tingkat lokal maupun global. Media juga memberikan
medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu menghasilkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa menghasilkan surplus ekonomi dengan
menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun, hampir selalu terlambat didasari bahwa media massa di sisi lain juga
1
Agus Sudibyo, dkk, Ekonomi Politik Media Penyiaran Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, h. 1.
menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi
ideologinya. Oleh karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi, melainkan
juga pendekatan politik.
2
Peran media dalam struktur ekonomi dan politik yang berlaku di suatu negara yang harus diperhatikan adalah dalam sistem industri kapitalis. Media
massa harus diberi fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi produksi dan distribusi yang lain. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level
kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi, perfilman, dan periklanan memiliki hubungan yang saling menentukan dengan
kondisi-kondisi ekonomi dan politik spesifik yang berkembang di suatu negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik global.
3
Kepentingan pemilik modal seperti ini menyebabkan ketimpangan dalam pasar sehingga menyebabkan kompetisi yang tidak sehat. Permasalahan seperti ini
membuat pasar bebas tidak pernah sepenuhnya terwujud. Kecenderungan atas terpusatnya kepemilikan serta kekuasaan menyebabkan dominasi dan monopoli
pada pasar ekonomi. Proses ini terjadi melalui merger sebuah perusahaan sehingga membuka jalan bagi berkembangnya fenomena konglomerasi.
Media harus diletakkan dalam sistem yang lebih luas sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung dalam
2
Peter Golding dan Graham Murdock, The Political Economy of the Media Northamton: Edward Edgar Publishing Limited, 1997, h. 4.
3
Dedy N. Hidayat, Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 441.
kehidupan masyarakat. Isi teks pada media beserta tindakan jurnalis dalam memproduksi misalnya, dipandang tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial
memproduksi dan mengonsumsi teks. Kemudian dari situ naik pada jenjang organisasi, industri, dan masyarakat.
Interaksi antara pers dengan berbagai kelompok sosial yang muncul dalam proses memproduksi dan mengkonsumsi produk media harus dipahami sebagai
proses yang berlangsung dalam struktur politik yang otoriter atau struktur ekonomi kapitalis yang sangat dipengaruhi oleh situasi-situasi global.
Salah satu fokus dari studi ekonomi politik adalah melihat peran media dalam membangun masyarakat kapitalis yang ternyata penuh distorsi. Masyarakat
yang tak memiliki pengaruh besar dan kelompok-kelompok marjinal tidak memiliki banyak pilihan selain menerima atau mungkin mendukung sistem yang
telah dibuat oleh mereka yang masuk pada kelompok dominan. Pendekatan parameter yang dilakukan Vincent Mosco pada ekonomi
politik komunikasi membagi menjadi tiga 3 aspek, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi merupakan perubahan bentuk nilai
guna menjadi nilai tukar.
4
Nilai guna yang bisa menghasilkan nilai tukar ini berasalah dari pemanfaatan tenaga-tenaga buruh yang para kapitalis miliki. Sumber daya alam
yang ada pun tidak juga luput dari incaran pemilik modal ini. Oleh karena itu, komodifikasi dapat diasumsikan memanfaatkan khalayak untuk dijadikan
pendapat yang besar bagi suatu media. Komodifikasi hampir sama dengan istilah
4
Vincent Mosco, The Political of Communication London: SAGE Publication Ltd, 1996, h. 141.
komersialisasi, karena fungsi dan tujuaannya yang memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Komodifikasi merupakan pintu masuk dari ekonomi politik komunikasi. Dari situ, kemudian ke tahap selanjutnya yang disebut spasialisasi. Spasialisasi
dapat dikatakan penanggulangan atas ketidakleluasaan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Proses ini meliputi ruang dalam media massa yang dapat
menembus wilayah manapun tanpa terhambat waktu.
5
Spasialisasi menyebabkan monopoli dalam media massa. Isu yang dikembangkan pada suatu media, tidak luput dari keinginan sang pemilik modal
demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Pembatasan seperti ini menyebabkan integritas dari media tersebut dipertanyakan. Apakah media itu memberikan berita
kepada khalayak karena ingin mencerdaskan bangsa atau karena ada kepentingan tertentu.
Hal ini bisa lebih parah jika pemilik media terjun dalam dunia politik. Dapat dikatakan jika pemilik tersebut melakukan hal demikian, dia akan
memanfaatkan kedudukannya untuk memanfaatkan ruang yang ada dalam media agar mencitrakan kebaikannya kepada masyarakat. Masyarakat yang tidak bisa
memilah pesan dari suatu media akan terpengaruh dengan pemanfaatan ruang dan waktu yang dimiliki pemilik media itu.
Konsep terakhir yang dikemukakan Vincent Mosco adalah strukturasi. Strukturasi berkaitan dengan hubungan ide antaragen masyarakat, proses sosial
dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai
5
Mosco, The Political of Communication, h. 173.
proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial. Para agen ini kemudian menjadi bagian dari struktur dan bertindak melayani bagian yang
lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang
masing-masing berhubungan satu sama lain.
6
Strukturasi merupakan
sebuah medote paling
menyolok yang
dikembangkan Anthony Giddens. Adanya metode ini karena Anthony merasa adanya jurang antara teori jarak struktural yang ditemukan Durkheim, Levi-
Strauss, dan Althusser dan tindakan perspektif teoritis yang berbeda jaman dari pandangan sosiolog seperti Max Weber dan pandangan Schutz dan Gadamer.
7
2. Analisi Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Secara umum, studi komunikasi yang ada di Indonesia, mengambil tiga paradigma, yaitu paradigma positivis, konstruktivis, dan kritis. Paradigma
positivis beranggapan bahwa media itu netral. Tidak ada kepentingan apapun dari sebuah media dalam menyampaikan berita, karena media massa adalah sebagai
penyambung antara peristiwa kepada masyarakat. Berbeda dengan pandangan positivis, penganut paham konstruktivis
menentang kaum positivis. Paradigma konstruktivis menganggap media tidak netral. Alasannya, tidak semua realitas sosial dapat disampaikan media. Dari
realitas itu, media memiliki sudut pandang sendiri atas apa yang dilihatnya, sehingga muncul kepada khalayak.
6
Mosco, The Political of Communication, h. 215-216.
7
Mosco, The Political of Communication, h. 212.
Merasa kurang sempurna, paradigma kritis memperbaiki pandangan konstruktivis. Paradigma kritis juga mengakui bahwa media itu tidak netral.
Menurut paham kritis, selain media punya sudut pandangnya sendiri mengenai sebuah peristiwa, media juga memiliki kepentingan terhadap apa yang
disampaikan. Kepentingan itu dapat berupa ekonomi maupun politik. Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan proses
kerja kognitif individu di mana terjadi hubungan sosial antara individu dengan orang lain atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas. Realitas
tersebut kemudian dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini
sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya.
8
Berdasarkan pernyataan tersebut, setiap orang memiliki pandangannya sendiri mengenai peristiwa yang dilihatnya. Jika orang pertama melihat banjir
sebagai bencana alam dan sudah diatur oleh Tuhan dan orang kedua memandang bahwa banjir bisa dicegah karena itu merupakan ulah manusia, pendapat keduanya
benar. Mungkin saja orang yang menganggap bencana alam itu merupakan orang
yang agamis sudah terpengaruh oleh ajaran agama kemudian menyerahkan segalanya pada Tuhan dan orang kedua memiliki pemikiran yang lebih terbuka
sehingga memiliki pola pikir lebih jauh mengenai peristiwa banjir.
8
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan Pustaka Filsafat, 2007, h. 30.
Realitas ada karena hasil interpretasi dari masing-masing individu melihat suatu peristiwa. Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.
9
Margaret M. Poloma mengutip pendapat Berger dan Luckmann memiliki gagasan yang bertumpu pada makna realitas dan pengetahuan. Kenyataan
merupakan suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan being yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia
yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan. Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata real dan memiliki karakteristik-
karakteristik yang spesifik.
10
Konstruksi realitas yang dihasilkan individu tersebut menjadi sebuah realitas sosial. Proses ini terjadi atas pengaruh eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Realitas sosial berawal dari pengaruh kuat dari satu individu kepada orang lain. Orang yang terpengaruh oleh kenyataan ini, lalu meyakininya menjadi
sebuah kebenaran. Kebenaran oleh banyak orang ini kemudian menjadi realitas sosial yang diyakini masyarakat pada daerah tersebut.
Burhan Bungin mengambil pendapat Berger dan Luckman dengan mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri individu terhadap
dunia sosiokulturalnya.
11
Eksternalisasi masuk ke dalam kognisi setiap individu
9
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, h. 59.
10
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 1.
11
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann Jakarta: Kencana, 2008, h. 15.
secara aktif maupun pasif. Proses yang terjadi secara terus-menerus menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pengetahuan bersama.
Pengetahuan bersama ini bersifat subyektif yang kemudian terjadi berulang-ulang lalu mengendap sehingga menjadi akumulasi terhabitualisasi.
Habitualisasi membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang
objektif melalui proses eksternalisasi.
12
Proses objektivasi pada tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi dan kedua merupakan legitimasi.
13
Institusi merupakan buah pikiran manusia kepada kehidupannya yang mengalir secara absurd. Ketidakjelasan ini diartikan
sebagai kekacauan karena terbatasnya makna yang dimiliki masing-masing individu.
Institusi yang diwariskan ke setiap individu tidak bersifat statis atau tanpa perubahan. Hal ini karena sifat manusia yang ingin tahu yang kemudian
mempertanyakan warisan itu. Pertanyaan itu membutuhkan legitimasi yang merupakan tahap objektivasi tahap kedua. Legitimasi meletakkan penjelasan
berdasarkan pembuktian logis atas relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
14
Internalisasi ada atas ciptaan individu itu sendiri yang manafsirkan realitas objektif secara subjektif. Penafsiran tersebut disebar dalam bentuk sosialisasi
kepada orang sekitar. Tahap sosialisasi dapat berlangsung secara primer ataupun sekunder.
12
Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302.
13
Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, h. 117.
14
Riyanto, Peter L. Berger, h. 116.