Wujud Formal Kesantunan Imperatif dan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif

larut malam dari kedei. Si isteri marah melihat suaminya yang selalu berada di kedei. Tuturan 51 disampaikan ibu pada anaknya yang selalu berada di depan tv, seolah-olah anak sekolah liburan. Contoh : 50. pak ucok, di lapoima ho torus, alana boi do hita mangolu sian i ‘pak ucok, di kedei itulah kau terus, karena bisa kita hidup dari situ’ 51. torushon manonton, asa dapot putten 100 ho ujian marsogot ‘teruskan menonton, biar dapat nilai 100 kau ujian besok’ Tampak jelas pada contoh di atas, bahwa imperatif pragmatik menyatakan “ngelulu” tidak diungkapkan dengan penanda kesantunan jangan atau yang menyatakan larangan tetapi diungkapkan dengan tuturan imperatif biasa.

4.3 Wujud Formal Kesantunan Imperatif dan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif

dalam bahasa Batak Toba Wujud formal kesantunan imperatif dan wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam BBT dapat dilihat berdasarkan persamaan dan perbedaan sebagai berikut; 4.3.1 Persamaan Wujud Formal Kesantunan Imperatif dengan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Batak Toba Wujud formal kesantunan imperatif adalah realisasi makna imperatif menurut ciri struktural atau formalnya. Ihwal ciri formal atau struktural imperatif tersebut adalah 1. Menggunakan intonasi keras, 2. Kata kerja yang digunakan lazimya kata kerja dasar, 3. Mempergunakan partikel pengeras –ma. Wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks 57 Universitas Sumatera Utara situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks tersebut mencakup banyak hal, seperti lingkungan tutur, intonasi tutur, peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur masyarakat Batak Toba. Apabila dilihat berdasarkan pengertiannya kedua wujud kesantunan tersebut, sangatlah berbeda namun kedua wujud kesantunan tersebut mempunyai persamaan yaitu: Wujud formal kesantunan imperatif dan wujud pragmatik kesantunan imperatif, sama- sama menunjukkan dan menjelaskan kesantunan dalam BBT, baik secara ciri struktural maupun secara pragmatik, sekaligus kedua wujud kesantunan tersebut dapat dilihat dalam satu tuturan. Tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas hal itu. Tuturan 52 berikut ini disampaikan seorang ibu yang baru pulang dari pajak kepada anak gadisnya, dia membeli baju baru untuk anak tetapi dia takut baju yang dibelinya tidak cocok untuk anaknya. Contoh : 52. Julian… soba ma jolo pakke baju on Julian… coba T dulu pake baju ini ‘Julian…cobalah dulu pake baju ini’ Tampak jelas tuturan di atas menunjukkan persamaan, apabila dilihat dari ciri strukturalnya, maka tuturan itu terdiri dari kata kerja dasar soba yang sekaligus sebagai penanda wujud pragmatik kesantunan yang menyatakan suruhan dan apabila dilihat dari ciri struktural penggunaan pertikel –ma sekaligus dari segi konteks situasi, maka jelas tuturan itu menunjukkan fungsi yang sama sebagai penghalus dan penanda keakraban diantara penutur dan mitra tutur, sehingga tuturan itu memiliki kadar kesantunan yang tinggi namun memiliki kadar imperatif yang lebih rendah. 58 Universitas Sumatera Utara 4.3.2 Perbedaan Wujud Formal Kesantunan Imperatif dengan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Batak Toba Wujud formal kesantunan imperatif dan wujud pragmatik kesantunan imperatif, juga memiliki perbedaan untuk menjelaskan kesantunan. Secara wujud formal, kesantunan imperatif meliputi: pertama, Imperatif aktif dalam BBT dibedakan berdasarkan penggolongan verbanya menjadi dua macam yaitu; imperatif aktif yang berciri transitif menghendaki adanya objek dan imperatif aktif yang berciri tidak transitif tidak menghendaki objek. Contoh : 53a. naek hamu, molo olo naik kalian, kalau mau 53b. naek molo olo naik kalau mau 53c. naek ma molo olo naik T kalau mau ‘naiklah kalau mau’ Dari contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa tuturan itu menunjukkan wujud kesantunan imperatif aktif tidak transitif. Pemakaian tutur sapa hamu pada tuturan 53a naek hamu, molo olo berani berfungsi sebagai penanda kesantunan. Selain itu, tuturan tersebut lebih santun dibandingkan 53b ‘naek molo olo karena tuturan tersebut menunjukkan kadar imperatif yang lebih tinggi dan kadar kesantunan rendah dibandingkan tuturan 53b, sedangkan tuturan 59 Universitas Sumatera Utara 53c naek ma molo olo memiliki tingkat kesantunan yang lebih tinggi dibandingkan tuturan 53a dan 53b karena tuturan tersebut ditandai pertikel ma- yang berfungsi sebagai penekan penanda kesantunan dan menunjukkan tuturan tersebut lebih halus. Jadi, dari tuturan-tuturan tersebut dapat terlihat tuturan yang lebih santun yaitu pada tuturan 53c, sedangkan penanda verba imperatif aktif tidak transitif pada tuturan tersebut ditandai kata dasar naek naik. Bentuk imperatif tidak transitif dalam contoh tersebut ditentukan dengan ketentuan: pertama, menghilangkan subjek yang lazimnya berupa persona kedua seperti hamu pada tuturan 53b dan 53c. Kedua, mempertahankan bentuk verba apa adanya naek naik. Ketiga, menambah partikel ma- pada bagian tertentu tuturan untuk memperhalus maksud imperatif aktif tersebut pada tuturan 53c. Kedua, imperatif pasif yaitu realisasi terhadap bentuk imperatif yang verbanya pasif. Bentuk tuturan pasif digunakan karena pada pemakaian imperatif pasif itu, kadar suruhan yang dikandung di dalamnya cenderung menjadi rendah. Selain itu, bentuk imperatif pasif juga dapat dikatakan mengandung konotasi makna bahwa orang ketiga pihak lain yang terlibat dalam proses pertuturan itu, selain si penutur dan mitra tutur yang diminta melakukan sesuatu bukan orang keduanya. Namun, sebuah tuturan dapat menjadi semakin halus dan semakin tidak langsung apabila tuturan itu tidak diungkapkan dengan intonasi suruh. Selain itu, untuk mengurangi kadar kelangsungan tuturan, sebuah tuturan dapat ditambahkan unsur-unsur lingual lain sehingga tuturan menjadi semakin panjang karena, semakin panjang sebuah tuturan maka semakin tidak langsunglah maksud sebuah tuturan. Demikian sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan menjadi semakin langsunglah maksud tuturan itu dan semakin rendahlah kadar kesantunan. Contoh : 60 Universitas Sumatera Utara 54a. mangan hamu, asa tu porlak hita Makan kalian, biar ke ladang kita 54b. Mangan ma hamu parjolo, asa tu porlak hita manuan kopi Makan T kalian dulu, biar ke ladang kita menanam kopi ‘makanlah kalian dulu, biar ke ladangkita menanam kopi’ Tuturan di atas menunjukkan bahwa subjek imperatif cenderung definitive sudah pasti yaitu, tuturan tersebut langsung tertuju kepada orang yang bersangkutan atau mitra tutur. Sehingga, tuturan tersebut mengandung kadar suruhan yang tinggi tetapi semakin rendah kadar kesantunannya. Namun, tuturan itu dapat semakin halus dan semakin tidak langsung apabila tuturan itu tidak diungkapkan dengan intonasi suruh. Selain itu, untuk mengurangi kadar kelangsungan tuturan, seperti tutur di atas, dapat ditambahkan unsur-unsur lingual lain pada tuturan 54b sehingga tuturan itu menjadi semakin panjang, karena semakin panjang sebuah tuturan maka semakin tidak langsunglah maksud sebuah tuturan. Secara wujud pragmatik, kadar kesantunan dapat dijelaskan dengan melihat macam- macam tuturan imperatif pragmatik dan berdasarkan konstruksi yang berupa wujud imperatif serta wujud konstruksi nonimperatif atau disebut juga dengan tuturan tidak langsung. Dalam hal ini kesantunan berdasarkan wujud pragmatik tidak terlepas dari konteks situasi tutur yang melatar belakanginya. Contoh : 55a. Beta mangan inang uda Mari makan tante 55b. nungga mangan inang uda? Sudah makan tante? 61 Universitas Sumatera Utara Tuturan 55a di atas menjelaskan bahwa penutur secara langsung menyatakan maksud tuturannya yaitu mengajak mitra tutur untuk ikut makan. Ditandai dengan penanda beta. Oleh karena itu tuturan 55a dapat dikatakan tuturan imperatif pragmatik yang berwujud konstruksi imperatif atau langsung. Sedangkan tuturan 55b disampaikan dengan kalimat interogratif tanya tetapi bagi sebagian orang lain, tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai imperatif karena tuturan tersebut mengadung makna imperatif yang menyatakan ajakan. Dengan demikian, dalam pemakaian tuturan keseharian pada BBT bisa saja mengadung lebih dari satu makna apabila dilihat berdasarkan wujud konstruksi pragmatiknya, seperti tuturan 55b di atas. 62 Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pada bagian ini akan disimpulkan bebebrapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan penelitian ini, yakni terdapat dua pokok yang perlu disampaikan. Keduam hal tersebut pada dasarnya merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang dikemukakan di depan. 1. Wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba meliputi dua macam wujud yaitu imperatif aktif dan imperatif pasif. Melalui imperatif aktif, wujud kesantunan dianalisis berdasarkan penggolongan verbanya yaitu: imperatif aktif yang berciri transitif atau kalimat yang menghendaki objek dan pelengkap; dan imperatif aktif yang berciri tidak transitif atau kalimat yang tidak menghendaki objek dan tak pelengkap, sedangkan pada pemakaian imperatif pasif dalam BBT, ditemukan adanya konstruksi berdasarkan tinggi-rendahnya kadar kesantunan sebuah tuturan imperatif. 2. Wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks situasi tutur tersebut mencakup banyak hal,yaitu; lingkungan tutur, intonasi tutur, peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur pada BBT. Oleh karena itu, wujud imperatif pragmatik dalam BBT, dapat berupa tuturan yang bermacam-macam sejauh di dalamnya terkandung makna pragmatik imperatif. Secara pragmatik, terdapat tujuh belas macam tuturan imperatif yaitu: pragmatik imperatif perintah, pragmatik 63 Universitas Sumatera Utara