Tradisi Debus Di Banten

pertunjukkan. Kegiatan dzikir dan shalawat dilagukan dengan nada yang tinggi dan rendah, dan diiringi dengan suara yang timbul dari alat musik. Atas izin khalifahnya, para pemain kemudian mengambil peralatan musik yang telah dipersiapkan dan mereka bersama-sama menabuhnya. Bersamaan dengan itu syair segera dinyanyikan. Syair dan musik suaranya saling menyesuaikan. 54

c. Pertunjukkan Debus

Pada pertunjukkan debus, perlengkapan yang harus disediakan antara lain: Perlengkapan upacara, peralatan permainan dan busana permainan. Perlengkapan upacara terdiri dari beberapa benda upacara seperti: pendupaan yang dinyalakan ketika acara akan berlangsung. Menyediakan Minyak kelapa, selain itu juga disediakan air yang ditempatkan di botol atau gelas, kemudian wajan atau tempat yang berukuran sedang. Dalam pertunjukkan debus, minyak kelapa digunakan untuk mengobati orang apabila terkena bacokan dalam pertunjukkan debus. Sementara air yang diletakkan dalam botol atau gelas, disebut sebagai air munajat. Para pemain debus percaya bahwa air tersebut berkat doa-doa yang dibaca saat debus akan dimainkan membawa berkah yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan, termasuk pengobatan kesurupan. Sedangkan wajantempat yang berukuran sedang, dimanfaatkan untuk mengumpulkan uang dari para pengunjung. Ketika pertunjukkan berakhir uang yang telah terkumpul dibagi- bagikan kepada para pemain. 55 54 Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, Serang: FUD Press, 2009, h. 87-88. 55 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990, h. 118-120. Peralatan yang digunakan terdiri dari rebana yang berdiameter 25 cm yang digunakan oleh oleh Syekh debus, sedangkan yang 30 cm digunakan oleh pemain debus biasa. Selain rebana alat utama yang digunakan yakni besi yang ujungnya runcing dengan ukuran 60 cm. 56 Busana yang dikenakan oleh para pemain debus, biasanya berwarna hitam-hitam atau putuh-hitam. Baik yang dipakai oleh pemain atau pelaku dan pedzikir semuanya sama tidak ada perbedaan. Model bajunya berupa potongan baju tanpa krah dengan dua buah kantong di bawah pada bagian kiri dan kanan baju, yang bertangan panjang. Sedangkan model celananya dibuat sedemikian rupa tanpa kantong dan tanpa tempat ikat pinggang. Ukuran bagian kaki cukup lebar untuk memudahkan bergerak dalam bermain. 57 Setelah perlengkapan sudah lengka semua, maka tahap selanjutnya yaitu sang mursyid memohon izin kepada khalayak ramai. Permohonan izin ini dianggap penting dilakukan sebelum upacara dimulai agar pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik tanpa adanya gangguan. Selain itu juga, permohonan izin tesebut merupakan kode etik bagi setiap pertunjukkan dalam kesenian debus. Dalam tahap ini, barulah mulai dipertunjukkan permainan kekebalan, dilakukan oleh pemain debus secara berurutan dan bergantian. Kemudian dua orang pemain maju ke arena yang telah dipersiapkan. Seorang membawa gada debus dan yang lainnya membawa palu besar. Para pemain debus, mengucapkan dzikr dan shalawat yang dalam pengucapannya dilagukan dengan nada yang naik dan turun. Dzikir dan shalawat ini diiringi dengan suara 56 J. Vredenbreght, Dabus in West Java, h. 305. 57 Isman Nasution Debus , “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, h. 109. dari terbang gede dan kendang atau gong. 58 Keduanya mulai menari dari jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan. Mereka terus menari menyesuaikan diri dengan irama musik pengiring dan dzikir yang dinyanyikan. Selama pertunjukkan berlangsung dzikir dan shalawat serta musik masih terus terdengar dan pada saat-saat tertentu dzikirnya merendah dan kadang kala tinggi atau melengking, kedua pemain debus tersebut bergerak sambil mendekat. Pada saat suara itu mencapai titik tertentu puncak, maka kedua pemain saling berdekatan. Salah seorang memegang gada debus dan meletakkan bagian yang runcing di dada sebelah kanan pemain debus, kemudian salah seorang yang memegang menghantamkan palu tersebut ke kepala gada dengan keras sambil berteriak “al-madad”. Yang memegang gada pula menyambut “illa Allah”. Pukulan tersebut diulangi sampai tiga kali dengan ucapaan tersebut dalam jumlah yang sama. Beberapa saat kemudian irama musik dan syair berubah semakin lama semakin tinggi. Kedua pemain kembali bergerak saling mendekat satu dengan yang lainnya. Pada irama puncak, seperti yang sudah dijelaskan tadi, mereka saling mendekat yang kemudian diikuti gerakan yang satu memukul dan yang lainnya menerima pukulan, kali ini bagian yang dipukul berbeda, yaitu dada sebelah kiri. Hal semacam ini terus berulang kembali hanya sasarannya yang berubah, bisa dada kiri, perut, atau anggota tubuh yang lainnya. Permaianan ini diteruskan dan berakhir sampai syair yang dibaca habis. Maka itulah pertunjukkan debus al-madad. 59 58 Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam, dan Kiyai, Studi Kasus di Desa Tegal Sari”, h. 89. 59 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten, h. 269-270.