Perkembangan Kesultanan Banten KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN

Pada masa pemerintahannya Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat soleh. Cara yang dilakukan dalam menyebarkan agam Islam yaitu dengan menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada masyarakat dan membangun masjid-masjid sampai ke pelosok. Ia juga yang memperindah dan memperbaiki masjid Agung. 30 Setelah dewasa Maulana Muhammad mengadakan berbagai usaha untuk memajukkan negerinya dan melakukan ekspansi 31 ke Palembang. Dalam ekspedisi tersebut, Pangeran Muhammad berkeinginan untuk memerangi orang-orang kafir. 32 Dengan 200 kapal perang, berangkatlah pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Tiba di Palembang terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat, bahkan Maulana Muhammad yang memimpim pasukan terbunuh dalam peperangan tersebut, sehingga ekspedisi ini pulang dengan kekalahan. Setelah wafat, Maulana Muhammad dimakamkan di serambi mesjid Agung. Setelah itu ia dikenal sebagai Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. 33 Maulana Muhammad meninggal pada usia yang masih muda, kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang putera yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir anak Maulana Muhammad menggantikan ayahnya. Namun sehubungan dengan usianya yang masih muda, maka untuk menjalankan 30 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 40. 31 Ekspansi ialah perluasan suatu wilayah dengan menduduki sebagaian atau seluruh wilayahnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 32 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522- 1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2007, h. 34. 33 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 164-169. pemerintahan, ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, 34 sebagai walinya. Hingga ia meninggal dunia pada tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi pada tanggal 17 November 1602, adiknya itu dipecat dari jabatannya karena kelakuannya tidak baik. 35 Setelah Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir sudah dewasa, maka barulah ia menjadi pemimpin pemerintahan di Banten dengan gelar Abu al- Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Masa pemerintahannya penuh dengan perselisihan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran kecil antara kedua wilayah tersebut. Pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia dan dimakamkan di Kenari. 36 Pengganti Selanjutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun 1651-1682, ia adalah Sultan Banten yang anti Belanda. Semangat memerangi Belanda merupakan salah satu tekad untuk mengalahkan kolonial Belanda. Upaya yang dilakukannya antara lain mengadakan gerilya besar-besaran di wilayah kompeni, merusak kebun-kebun tebu, mencegat serdadu Belanda, serta membakar markas kompeni Belanda. 37 Masyarakat Banten melakukan Penyerbuan kecil-kecilan terhadap Belanda, atau perampasan kapal-kapal Belanda dan merusak perkebunan tebu milik kompeni yang terdapat di daerah Banten. Akibat serangan Banten terhadap Belanda, maka Belanda langsung mengirim 34 Mangkubumi Jayanegara adalah seorang yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, ia selalu bermusyawarah dengan para pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh sultan muda yang bernama Nyai Embah Rangkun. Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 169 35 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 170 36 Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many, Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .h. 8. 37 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522- 1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h. 39. empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade 38 terhadap pelabuhan Banten. 39 Peristiwa ini sangat merugikan perdagangan Banten, kemudian Sultan mengadakan perundingan dengan pihak kompeni. Sehingga Sultan menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat dan maju di bidang perdagangan. 40 Pada Masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa usaha yang dilakukan untuk kemakmuran negerinya yaitu membuat saluran air dari sungai Untung Jawa hingga Pontang dan Tanahara. Saluran ini dibuat untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transformasi dalam peperangan. Selain itu juga untuk meningkatkan produksi pertanian, mengairi sawah-sawah sehingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan. Upaya yang dilakukannya tersebut tidak sia-sia, banyak kapal dagang asing yang berlabuh, sehingga perdagangan di Pelabuhan Banten sangat ramai. 41 Selain itu juga salah satu kunci kemakmuran Banten, dengan pelabuhannya yang indah serta aman dan baik waktu itu, maka Banten sudah mencapai taraf internasional. 42 Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemajuan. Selain memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik dan meningkatkan perniagaan Banten sehingga menjadi aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia. 43 38 Blokade ialah pengepungan penutupan suatu wilayah sehingga orang, barang, kapal, dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. Kamus Besar Bahasa Indonesia 39 “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 161. 40 Heryanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 75. 41 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522- 1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h.40. 42 Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967, hal.7. 43 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. h. 50

C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum

Banten sebagai sebuah kesultanan yang otonom mengalami suatu perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga kehidupan masyarakat Banten memiliki latar belakang yang berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang tersebut menetap dan mendirikan perkampungan di Banten. Seperti perkampungan Pekojan perkampungan orang Arab, Pecinan perkampungan orang Cina, Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya. 44

1. Sosial

Kehidupan sosial rakyat Banten didasarkan pada ajaran-ajaran yang berlaku dalam Agama Islam. 45 Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Di Pelabuhan Banten terdapat berbagai etnis pendatang antara lain: Eropa, Cina dan Arab. Orang Eropa merupakan komunitas yang mendiami daerah perkotaan, sementara orang Cina mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian, sedangkan orang- orang Arab tinggal di Banten memberi dampak penyebaran agama Islam di daerah ini. 46 Dalam struktur sosial masyarakat Banten, terdapat 4 golongan yaitu golongan para sultan dan keluarganya, golongan elit, golongan nonelit, dan 44 http:KehidupanSosialdan20Ekonomi20Masyarakat20Kerajaan20Banten20_ 20Perpustakaan20Cyber.htm. 45 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011, h. 1. 46 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 82. golongan budak. Sultan dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang menempati lapisan sosial paling tinggi. Golongan kedua elit dikategorikan dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti Menteri, Mangkubumi, Kadhi, Syahbandar, dan lain-lain. 47 Golongan yang ketiga yaitu golongan nonelit yang merupakan mayoritas rakyat Banten, yang termasuk dalam kelas ini adalah rakyat pribumi yang berdiam disana. Mereka terdiri dari petani, buruh, pekerja ahli tukang, nelayan dan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten. 48 Sedangkan lapisan terbawah yang merupakan golongan budak, pada umumnya kehidupan mereka penuh pengabdian pada majikan, sehingga dapat diduga bahwa sangat besar ketergantungan pada kebijaksanaan tuannya. 49 Pada abad ke-19 Masyarakat Banten, mengalami penderitaan khususnya sejak dihapuskannya kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1808. 50 Pasca dihapuskannya pemerintahan kesultanan Banten, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. 51 Keadaan rakyat Banten di tandai adanya bencana fisik yang silih berganti. Pada tahun 1879 terdapat wabah penyakit pes sehingga banyak penduduk yang meninggal, tahun 1883 terjadi letusan Gunung Krakatau, dan pada tahun 1888 terjadi perlawanan petani di Keresidenan Banten. 52 Akan tetapi rakyat Banten lambat laun bisa memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Musibah 47 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006, h. 78. 48 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 83. 49 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 83. 50 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, Jakata: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, hlm. 53 51 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 7. 52 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman Kesultanan Banten, Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah KADINDA, 1993, h. 14. yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, di bidang sosial ekonomi, sehingga meski kehidupan sosial ekonomi dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. 53

2. Agama

Pada awal abad ke-16 kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Banten mengalami pergeseran yang mendasar. Pergeseran ini disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama Islam. Pada tahun 1579 puncak penyebaran agama Islam terjadi beriringan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat dari serangan Banten di bawah Pimpinan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Banten didominasi oleh Islam. 54 Ada sebagian kecil masyarakat Banten yang menganut kepercayaan pra- Islam, yakni masyarakat Baduy. 55 Masyarakat Baduy berdiam di daerah Kenekes dan mereka tinggal di tiga kampung yakni, Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna. Kehidupan masyarakat tersebut sampai kini masih bercocok tanam dan berpakaian khasnya sendiri. Perkampungan di daerah Kenekes begitu terpencil sehingga tidak terpengaruh dengan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat di luarnya. 56 53 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, Serang: Saudara Serang, 2011, h. 15-16. 54 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003, h. 84. 55 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011, h. 1. 56 “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004, h. 159. Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat sepenuhnya bercorak Islam. Dalam kenyataannya, praktik-praktik animistis masih dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat Banten. 57 Praktik animisme lambat laun mulai menghilang dengan kedatangan para pemuka agama. Setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya yang membawa dan mengajarkan agama Islam di Banten, masyarakat Banten sebagian besar menganut agama Islam, dan dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik. 58 Banten dikenal dengan daerah yang sering melakukan pemberontakan. Salah satunya ialah pemberontakan Petani Banten 1888. Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap penjajahan Barat dan menggunakan agama sebagai simbol. Pemimpin agama dengan demikian muncul sebagai pemimpin gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap sebagai gerakan keagamaan. 59 Kaum elit agama mempunyai kebebasan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang digunakan sebagai pemberontkan dan kekuatan bagi masyarakat Banten. 60 57 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 84. 58 Ibid., h. 29-30. 59 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, h. 15. 60 Ibid., h. 135.