ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19

(1)

ANA

LISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH

TERHADAP

KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

YANTI SUSILAWATI (1111022000051)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa amalan yang

terdapat dalam tarekat Rifa’iyah dan bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah

terhadap keagamaan di Banten. Di mana amalan dan ajaran tarekat Rifa’iyah

berhasil masuk ke dalam relung tradisi keagamaan Banten yang sebelumnya telah mengakar kuat.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penulis melakukan pengumpulan data melalui metode kepustakaan dan wawancara. Selain itu, untuk menguatkan analisa dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosial dan keagamaan. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait amalan tarekat

Rifa’iyah diantaranya: pertama, Dzikir dan amalan (al-Fatihah), kedua, Wirid dan

do’a Al-Qur’an untuk pengobatan dan kekebalan dari benda tajam dan tahan

terhadap panas api, ketiga, Munajat Rifa’i, dan keempat, Shalawat Nabi. Amalan

tersebut terangkum dalam satu aktivitas yang dinamakan kesenian debus.

Sehingga dapat dikatakan debus merupakan wujud dari terkat Rifa’iyah. Adapun

pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten dibagi dalam tiga kategori: pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi

tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori

institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu

tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal (debus).


(6)

ii

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat

dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan

usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa menanti silih berganti.

Penulis menyadari skripsi yang berjudul “Analisa Pengaruh Tarekat

Rifa’iyah Terhadap Keagamaan Di Banten Abad ke-19”, ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait administrasi yang penulis butuhkan.


(7)

iii

5. Dr. Saiful Umam, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar

memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan baik.

6. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik yang

telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.

7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I, terimakasih atas masukan

dan arahannya.

8. Drs. Saidun Derani, MA, selaku dosen penguji II terimakasih telah

memberikan arahan dan motivasi yang berharga kepada penulis hingga penulis mampu menyelesikan penulisan skripsi ini dengan baik. Kemudian keterlibatan beliau terutama dalam memberikan rujukan sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, yang telah memberikan arahan dan kontribusi

dalam penulisan skripsi ini.

10.Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis selama perkuliahan.

11.Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab

dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini.

12.Kepada Bapak Tubagus Najib Al-Bantani, Abah Yadi dan bapak Maheri, yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi.

13.Orang tua tercinta, ayahanda Jamani dan ibunda Samunah yang tiada hentinya


(8)

iv

14.Kakak tercinta Aa Udin dan Aa Iwan dan Ecih, yang selalu memberikan do’a

dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga besar dari ayah dan ibu, terimakasih atas

do’anya don keponakan tersayang (Agam, Aji, Eza, Ezi, Arif, Erika, Arya).

15.Kepada Guru-guru MAN Kragilan terutama Bapak AM. Masruri Syihabudin

yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk tetap melanjutkan ke bangku perkuliahan hingga sampai ke Almamater tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16.Kepada Teh Tati Rohayati, S.Hum, yang telah memberi motivasi dan

membimbing. Dan kepada teman-teman MAN Kragilan terutama (Nita Adiyati, Ika Yulita, Iim Rosadi, Didi Nahtadi, Dian Nurhayani, Vivi Selvia Herlina, Rohita, Rizki) yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Terimakasih juga kepada M. Fathullah yang telah mengantar penulis dalam melakukan (wawancara).

17.Kawan-kawan SKI seperjuangan angakatn 2011 terimakasih atas motivasi dan

kerjasamanya, terutama kepada Dirga Fawakih yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada penulis, serta Mulki, Amanah, Sulastri, Siti Rahmawati, yang selalu berjuang dalam pencarian sumber.

18.Segenap keluarga Besar Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan


(9)

v

Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 10 Juli 2015


(10)

vi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten ... 14

B. Perkembangan Kesultanan Banten ... 18

C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum ... 24

D. Perkembangan Tarekat di Banten ... 31

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI BANTEN ABAD KE-19 A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis) ... 35

B. Tarekat Rifa’iyah Dalam Budaya Banten ... 39


(11)

vii

D. Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah ... 46

E. Wirid Sebagai Pengobatan ... 56

BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19 A. Kiyai ... 60

B. Jawara ... 66

C. Pesantren ... 68

D. Tradisi Lokal ... 70

1. Tradisi Debus Banten ... 70

2. Ritual Permainan Debus ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN ... 85 SURAT PENELITIAN


(12)

viii Huruf

Arab

Nama Huruf latin Keterangan

ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

Ba’ B Be

Ta’ T Te

ث Tsa’ Ts Te dan es

ج Jim J Je

Ha’ H H (dengan garis di bawah)

خ Kha’ Kh Ka dan ha

د Dal D De

Dzal Dz De dan zet

ر Ra’ R Er

Za’ Z Zet

س Sin S Es

ش Syin Sy Es dan ye

ص Shat Sh Es (dengan garis di bawah)

ض Dlad D De (dengan garis di bawah)

Tha’ Th Te (dengan garis di bawah)

ظ Dzha’ Z Zet (dengan garis di bawah)

ع „ain „ Koma terbalik di atas hadap

kanan

Ghain Gh Ge dan ha

ف Fa’ F Ef

ق Qaf Q Ki

Lam K Ka

ل Mim L El

م Nun M Em

ن Wau N En

و Ha’ W We

ـه Lam alif H Ha

ء Hamzah „ Apostrof

ي Ya Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal


(13)

ix

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ـــــ A Fathah

ـــــ I Kasrah

ــــــ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ي ــــــ Ai a dan i

و ــــــ au a dan u

Vokal Panjang:

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di

lambangkan dengan harakat dah huruf, yaitu:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ـــ â a dengan topi di atas

يـــ î i dengan topi di atas

وـــ ŭ u dengan topi di atas

Kata Sandang:

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu ا, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan

ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan arab dilambangkan

dengan tanda (ــــــ( dalam alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata “ةرو َ لا” tidak di tulis

ad-darŭrah melainkan al-darŭrah, demikian seterrusnya. Ta Marbutah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbŭtah terdapat pada kata


(14)

x tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

NO. KATA ARAB ALIH AKSARA

1. ي Tarîqah

2. يماسإا م لا Al-jămi’ah al-islămiyyah

3. دوجولا ة حو Wahdah al-wujŭd

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri. Dan lain-lain. Penting diperhatian, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang tertulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abŭ Hămid al-Ghazălî bukan Abŭ Hămid Al-Ghazăli, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,


(15)

xi Cara Penulisan Kata:

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

dituis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa arab, dengan pedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ا ْسأا به Dzahaba al-ustădzu

ر ْجأا ث Tsabata al-ajru

يرْصعلا كرحلا Al-harakah al-„asriyyah ه ا هلا ا ْ أ ْشأ Asyhadu al lă ilăha illă Allăh حلاصلا كلم انلْ م Maulănă Malik al-Sălih

ه مكرِث ي Yu’atssirukum Allăh

يلْقعلا رهاظ لا Al-mazăhir al-ăqliyyah ايآا

َينْ لا Al-ăyăt al-kauniyyah


(16)

1 A. Latar Belakang

Banten yang notabenenya merupakan tanah Jawara, memiliki tingkat religiusitas tinggi tidak bisa terlepas dari peran tarekat yang berkembang. Pada abad ke-19 tarekat berperan dalam rangka untuk melawan kolonial Belanda, salah

satunya tarekat Rifa’iyah. Kolonial Belanda menganggap masyarakat Banten yang

menganut tarekat Rifa’iyah memiliki basis Islam tradisionalis dan fanatik, sehingga ada kekuatan untuk memberontak. Adapun untuk mengaktualisasikan

tarekat Rifa’iyah tersebut, Banten memformulasikan dalam bentuk kesenian Debus.

Debus yang identik dengan dunia mistik (aliran hitam), ini sesungguhnya berakar dari sebuah tarekat bukan dari faham animisme dan dinamisme. Sebelum

membahas mengenai bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah dan kesenian debus,

berikut terlebih dahulu dijelaskan pengertian tasawuf sebagai pengantar terlebih dahulu.

Menurut Harun Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam

mengatakan tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana

orang Islam dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.1 Sementara itu,

Annemarie Schimmel seorang yang ahli dalam bidang mistisisme Islam, mengatakan tasawuf adalah beberapa cara yang digunakan oleh para ahli mistik untuk mencapai suatu tujuan yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama

1

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1999), h. 53.


(17)

2

melalui kearifan atau cinta dengan cara latihan-latihan yang menuju kegairahan

tidak terhingga.2 Dalam tasawuf, salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada

Allah SWT yaitu dengan mengikuti tarekat.

Ada beberapa definisi tarekat menurut beberapa tokoh. Aboebakar Atjeh mengartikan tarekat sebagai jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi, di kerjakan oleh para

sahabat dan tabi’in, secara turun-temurun, sambung-menyambung dan

rantai-berantai sampai kepada tingkat akhir yaitu guru tarekat.3 Sementara, menurut J.

Spencer Trimingham, tarekat adalah suatu metode untuk membimbing seorang murid dengan menelusuri jalan pikiran, perasaan dan tindakan. Melalui tahapan

menuju pada hakekat yang sebenarnya.4 Sedangkan menurut Annemari Schimmel,

tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi yang digambarkan sebagai jalan

yang berpangkal dari syariat.5 Namun dalam pengertian ini masih bersifat umum.

Secara khusus, pengertian tarekat yang berarti “jalan” mengacu kepada sistem

latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir dan wirid) yang dihubungkan

dengan para guru sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode sufi.6

Dari pendapat beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu untuk menyucikan diri dan memperbaiki akhlak agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah cara atau jalan yang digunakan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 23.

3

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI,(Solo: Ramadhani), 1995, h. 67. 4

J. Spencer Trimingham, Mazhab Sufi, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 3-4. 5

Dalam hal ini, Annemari Schimmel, mengartikan jalan utama disebut syar’i .Sedangkan anak jalan disebut tariq. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 101.

6

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 15.


(18)

Di Indonesia telah ada badan yang khusus memberikan perhatiannya kepada tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarnya, yang dinamakan tarekat Muktabarah. Seorang tokoh tarekat terkemuka, Dr. Syekh Jalaludin sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, ia menerangkan tarekat Muktabarah terdiri dari 41 macam, yang masing-masing mempunyai syekh, murid, dzikir dan

upacara ritual.7 Dari sekian banyak aliran tarekat tersebut, setidaknya ada tujuh

aliran tarekat yang berkembang di Indonesia yaitu tarekat Qadiriyah, Khalidiyah,

Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarekat Rifa’iyah.8

Adapun tarekat yang penulis kaji pada skripsi ini yaitu tarekat Rifa’iyah.

Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Abdul Abbas Ahmad bin Ali Al-Rifa’i. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1106

M dan wafat pada tahun 1182 M. Tarekat ini masuk dan berkembang di Irak.9 Dan

berkembang pula ke beberapa wilayah, antara lain: Turki, Damaskus, India, Mesir

dan Suriah.10 Dalam perkembangannya, tarekat Rifa’iyah mempunyai cabang

yang cukup banyak. Di Suriyah, cabang tarekat ini antara lain adalah Haririyah, Sa’diyah dan Sayyadiyah. Haririyah didirikan oleh al-Hariri dan Sa’diyah

didirikan oleh Sa’duddin Jibawi. Sedangkan di Mesir cabang tarekat ini antara

7Syekh Jalaludin mengemukakan tarekat Mu’tabaroh terdapat 41 macam, antara lain: 1. Qadriyah, 2. Naqsyabandiyah, 3. Syadziliyah, 4. Rifa’iyah, 5. Ahmadiyah, 6. Dasukiyyah, 7. Akbariyah, 8. Maulawiyyah, 9. Qurabiyyah, 10. Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12. Jalutiyyah, 13. Bakdasiyyah, 14. Ghazaliyyah, 15. Rumiyyah, 16. Jastiyyyah, 17. Sya’baniyyah, 18. Kaisaniyyah, 19. Hamzawiyah, 20. Biramiyyah, 21. Alawiyyah, 22. Usyaqiyyah, 23. Bakriyyah, 24. Umariyyah, 25. Usmaniyyah, 26. Aliyyah, 27. Abbasiyyah, 28. Haddadiyyah, 29. Maghribiyyah, 30. Ghaibiyyah, 31. Hadiriyyah, 32. Syattariyyah, 33. Bayumiyyah, 34. Aidrusiyyah, 35. Sanbliyyah, 36. Malawiyyah, 37. Anfasiyyah, 38. Sammaniyyah, 39. Sanusiyyah, 40. Idrisiyyah, 41. Badawiyyah. Dalam buku Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani), 1985, h. 303.

8

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276. 9

Namun tanggal lahirnya tersebut masih diperselisihkan. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 355 dan 357.

10

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, (Bandung : Mizan, 2001), h. 161.


(19)

4

lain Baziyah, Malkiyah dan Habibiyah.11 Yang di pimpin oleh Abu Fath

al-Wasiti, ia salah satu murid Ahmad al-Rifa’i.12

Perkembangan tarekat ini begitu cepat. Salah satunya melalui murid-murid yang telah menyebarluaskan ajaran tarekat hingga kebeberapa negara di Asia

Tenggara terutama di Indonesia.13 Di Indonesia pusat tarekat Rifa’iyah terdapat di

Aceh, yang dibawa oleh Syekh Nuruddin Al-Raniri.14 Kemudian menyebar ke

Banten, Cirebon, Minangkabau dan Maluku. Ajaran dari tarekat Rifa’iyah

diyakini oleh masyarakat tersebut membuat orang kebal terhadap benda tajam, tahan pada api yang menyala dan lain-lain. Sehingga praktek ini dibuktikan

dengan permainan debus.15 Permainan debus ini berkembang sampai ke daerah

Sunda, khususnya Banten.16

Perkembangan tarekat di Banten bermula dari adanya dukungan Kesultanan

Banten dan masyarakat yang memiliki sikap religius yang tinggi.17 Sehingga

Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.18

Tarekat mempunyai pengaruh terhadap perilaku keagamaan masyarakat Banten. Salah satu efek dari tarekat yaitu mendorong para pemimpin yang fanatik untuk memberontak dan berani melawan kolonial Belanda. Sehingga kolonial Belanda merasa khawatir akan adanya tarekat. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada

11

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 357-358. 12

Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 172. 13

Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), h. 11. 14

Nuruddin al-Raniri adalah salah seorang ulama Aceh yang berasal dari India. Ia belajar

tarekat Rifa’iyah melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, yakni Said Abu Hafs Umar IbnAbd Allah Ba Syaiban. Setelah belajar kemudian ia membawa dan mengajarkan tarekat Rifa’iyah ini ke wilayah Melayu. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 15.

15

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 197.

16

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276. 17

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 43.

18

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30.


(20)

peristiwa Cilegon di Banten 1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan

Peristiwa Garut 1919.19

Salah satu tarekat yang masih berkembang di masyarakat Banten adalah

tarekat Rifa’iyah. Yang mana jejak tarekat Rifa’iyah tersebut dipraktekkan dalam

permainan debus. Keberadaan tarekat Rifa’iyah dibuktikan dari adanya naskah

-naskah yang berisikan ajaran tarekat Rifa’iyah seperti Ratib. Hingga saat ini masyarakat masih mengamalkan dzikir dan ratib Rifa’iyah baik digunakan dalam

debus maupun tanpa debus.20

Isi ajaran tarekat Rifa’iyah berupa pembacaan do’a-do’a dan al-Fatihah

untuk dihadiahi kepada, Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, nama

19

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. Peristiwa Cilegon 1888 ialah suatu peristiwa perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah Belanda. Hal ini terjadi karena adanay motif ekonomi, politik, sosial. Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu dalam keadaan resah dan memprihatinkan. Pemerintah Belanda mengadakan sistem tanam paksa, pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak menghormati sikap orang Banten, tidak menghargai agama, dan bertingkah laku yang kasar terhadap pribumi. Seluruh masyarakat Banten dari berbagai kalangan merasakan kekejaman Belanda tersebut. Oleh karena itu, rakyat Banten sudah tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seperti itu, maka para ulama Banten membuat rencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Sehingga pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888

terjadilah pemberontakan yang dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon 1888”. Yang di pimpin oleh beberapa pemimpin tarekat di Banten yakni, H. Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, H. Marjuki, dan H. Wasyid. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh gerakan tarekat. Tarekat digunakan oleh mereka sebagai sebuah senjata, sebelum melakukan perlawanan, mereka berkumpul melakukan sembahyang dan berdzikir. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 257 dan 342. Sementara itu, Peristiwa Cianjur Sukabumi adalah suatu peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1885, di mana pemerintah Hindia Belanda merasa gelisah adanya aktivitas organisasi tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Barat, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu semakin meningkat, sehingga kegelisahan yang dialami oleh kalangan masyarakat Belanda yaitu mengira bahwa tarekat Naqsyabandiyah akan melawan pemerintah Belanda. K.F. Holle dan Raden H. Muhammad Musa seorang Penghulu Kab. Garut memandang pengikut tarekat

Naqsyabandiyah yang berpusat di Cianjur itu “fanatik” sehingga dianggap membahayakan

keamanan dan ketertiban. Sedangkan Peristiwa Garut 1919 merupakan peristiwa pertempuran tokoh agama yang di pimpin oleh H. Hasan melawan Belanda. Hal ini terjadi karena pemerintah Belanda terus memaksa masyarakat untuk menjual hasil panen padinya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat murah. Jika masyarakat tidak menaati maka padinya akan disita, bahkan akan mendatangkan serdadu untuk mengajarkan ketaatan rakyat kepada pemerintah Belanda. Bahkan H. Hasan dipaksa untuk memusnahkan semua tanamannya dan mengganikannya dengan padi, namun H. Hasan merasa keberatan terhadap ketentuan tersebut, bukan bukan karena harga, akan tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64-65, dan 70-71.

20

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. h. 271.


(21)

6

Khulafaur Al-Rasyiddin dan para sahabatnya, kemudian diikuti dengan nama

Ahmad Rifa’i dan Abdul Qadir Al-Jaelani dan kelompok nama yang terakhir adalah nama-nama yang paling menarik karena mereka adalah orang-orang Banten. Seperti Maulana Hasanuddin, Syekh Abdullah Bin Abdul Qahar, Sultan Abu Nasr Muhammad al-Arif Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir Aliyuddin. Dari nama-nama tersebut dapat memberikan indikasi mengenai tarekat

Rifa’iyah mulai tersebar di Banten.21

“Masyarakat yang mengamalkan tarekat Rifa’iyah ini akan mendapat

pengaruh yang dirasakan yaitu, merasa lebih dekat dengan Allah, keagamaannya semakin meningkat, dan ilmunya bertambah. Sementara yang mengikuti tarekat ini bebas dari kalangan mana saja, baik dia sebagai kiyai, pejabat, pengusaha, pelajar, petani. semuanya bisa melakukannya

yang penting mereka ingin mengikutinya.”22

B.Batasan dan Rumusan Masalah

Setelah menjelaskan tentang tarekat tersebut, untuk kasus Banten nampak sekali bahwa tarekat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Banten sehingga membentuk pola dan corak pemahaman keagamaan yang khas, bahkan kemudian berkembang budaya-budaya khas Banten yang disebabkan oleh pengamalan tarekat tersebut.

Menarik untuk diketahui lebih jauh, bagaimana relasi antara pengamalan tarekat dengan pola keagamaan di Banten. Berdasarkan permasalahan di atas,

maka muncul pertanyaan besar bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap

keagamaan di Banten Abad ke-19?

21

Ibid., h. 273. 22

Wawancara pribadi dengan Ustadz Maheri salah seorang tokoh Debus Banten, Serang, 22 Maret 2015, Pukul 11:38 WIB.


(22)

Adapun secara rinci rumusan masalah dibagi menjadi beberapa pertanyaan yaitu:

1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad

ke-19?

2. Bagaimana Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah di Banten?

3. Bagaimana Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten Abad

ke-19?

C.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penulisan ini yaitu :

1. Ingin Menjelaskan Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten

Abad ke-19.

2. Ingin Memaparkan Ajaran-Ajaran yang Terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah

di Banten.

3. Ingin Mengetahui Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten

abad ke-19.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Dalam studi ini menjadikan pelajaran untuk generasi yang akan datang

bahwa tarekat Rifa’iyah mempunyai pengaruh di Banten di lihat dari dzikir

dan bacaan-bacaannya.

2. Memberikan pengetahuan bahwa Tarekat Rifa’iyah di Banten digunakan


(23)

8

E.Tinjauan Pustaka

Banyak karya ilmiah yang sudah ditulis terkait dengan tarekat Rifa’iyah

antara lain:

Tesis Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi

Kultural Debus Banten).23 Isinya meliputi: Islam dan Tarekat di Banten, Perkembangan Debus di Banten dan Debus Sebuah Fenomena Keberagamaan. Dalam tesis ini, Nauval Syamsu meneliti hubungan Debus dengan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, tetapi tidak menjelaskan kaitan tarekat Rifa’iyah dengan debus di Banten. Tesis ini juga menjelaskan bahwa keberagamaan umat Islam merupakan gambaran pemahaman seorang muslim terhadap ajaran dan doktrin-doktrin agama, sehingga terjadi perbedaan paham-paham keagamaan. Salah satu bentuk perbedaan pemahaman terhadap doktrin agama adalah lahirnya tarekat-tarekat. Nauval Syamsu, menyimpulkan bahwa debus sebagai salah satu warisan budaya di Banten, yang pernah digunakan untuk melawan penjajahan dan sekarang menjadi kesenian rakyat Banten.

Skripsi Makmun Muzzaki, Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten, yang

diajukan pada Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.24 Skripsi ini menjelaskan

tentang debus dan tarekat Rifa’iyah dilihat dari kajian antropologi. Makmun

Muzaki menyimpulkan tarekat Rifa’iyah adalah suatu aliran yang pernah

berkembang dan memiliki ciri khasnya sendiri dan sedikit berbeda dibandingkan dengan tarekat-tarekat sufi lainnya. Namun dalam skripsi ini penulis tidak

menemukan pengaruh tarekat Rifai’iyah pada Keagamaan di Banten.

23

Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten), (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

24Makmun Muzzaki. Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten.

(Skripsi Fakultas Sastra. Universitas Indonesia, 1990).


(24)

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara.25 Memberikan informasi tentang Banten dari masa prasejarah hingga lahirnya provinsi Banten. Buku ini menjelaskan tentang Arti Banten, Sultan-Sultan Banten, kondisi Sosial, ekonomi dan budaya Banten, bahkan menjelaskan konflik-konflik yang terjadi di Banten. Akan tetapi buku ini tidak menjelaskan kehidupan keagamaan di Banten yang terkait dengan tarekat.

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat

Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia.26 Menjelaskan tentang tarekat-tarekat dan

perkembangannya di Indonesia dan sedikit menjelaskan bahwa tarekat Rifa’iyah

di Banten biasanya digunakan untuk permainan debus. Namun buku ini tidak

menjelaskan secara spesifik tentang tarekat Rifa’iyah.

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,27 buku ini memberikan

gambaran tentang tarekat-tarekat, sejarah pekembangannya. Buku ini juga tidak

hanya mengenalkan tentang tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah,

Khalwatiyah, Ghazaliyah, Sanusiyah, Syattariyah, Tjaniyah, dari segi perkembangannya saja, tetapi memperkenalkan ajaran-ajaran tarekat, mengenai

kedudukannya dalam tasawuf, mengenai wirid ataupun do’a, dan menjelaskan

kedudukan guru dan murid.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,28buku ini merupakan

kumpulan dari cerama-ceramah dan kuliah-kuliah yang diberikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1970, yang disampaikan kepada kelompok

25

Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES, Indonesia, 2003).

26

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996). 27

Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995). 28


(25)

10

diskusi tentang Agama Islam. Yang terkandung dalam buku ini hanyalah tentang Filsafat dan mistisisme dalam islam.

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam,29 Membahas beberapa

segi penting dalam tasawuf dan merupakan telaah dan uraian yang menyeluruh mengenai dimensi mistik dalam Islam. Buku ini juga secara terperinci diuraikan konsep tentang tasawuf, sejarah tasawuf klasik dan tarekat. Di samping itu ditelaah juga wali-wali terpenting serta pemikiran mereka mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan. Namun dalam buku ini belum menjelaskan secara rinci

mengenai tarekat Rifa’iyah yang berada di Indoneia khususnya Banten.

Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Keraaan-Kerajaan Islam di Indonesia.30 Menguraikan peristiwa-peristiwa sejarah dari masa kedatangan Islam, serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang bercorak Islam di kepulauan Indonesia. Buku ini juga sedikit menjelaskan aliran-aliran Islam dan pengaruhnya, yang di dalamnya terdapat tentang tasawuf dan tarekat. Salah satu tarekat yang mendapat pengaruh

ialah tarekat Rifa’iyah.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda.31 Menjelaskan bahwa

Pemerintah Belanda tidak ingin bersikap netral di Bidang Agama. Agama Kristen diberikan dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut. Dalam buku ini juga sedikit dijelaskan adanya tarekat yang melatarbelakangi gerakan dan pemberontakan Cilegon di Banten

29

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

30

Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Ed. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977).

31


(26)

1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919. Kolonial Belanda menganggap gerakan tarekat merupakan gerakan pemberontakan yang bersifat fanatik.

Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in

Banten Province.32Artikel ini mendeskripsikan praktik debus dan fungsinya, bagi

masyarakat Banten dewasa ini. Debus berkembang sebagai pertunjukkan

kekebalan, Artikel ini juga menunjukkan praktik debus yang dikombinasikan dengan aspek-aspek tarekat.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis dengan pendekatan sejarah. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa

secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.33 Metode ini dapat

membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah masa lampau dan dilakukan

melalui 4 tahapan, yaitu Heuristik, Kritik sumber, Interpretasi, dan Historiografi.34

Tahap pertama penulis melakukan kegiatan heuristik yaitu dengan mencari informasi data-data, mengumpulkannya, membaca dan mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan tema skripsi ini. Kemudian penulis menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber-sumber primer

penulis menggunakan naskah Ratib al-Rifa’i,35 yang terdapat di Perpusatakaan

32

Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province,

IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 33

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 3.

34

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1999, h. 54-55.

35

Naskah ratib al-Rifa’i nomor A 218, Naskah ini terdiri dari dua jilid yaitu Naskah Ratib


(27)

12

Nasional Republik Indonesia. Sementara sumber lisan diperoleh melalui interview (wawancara). Adapun yang menjadi narasumber yaitu bapak Maheri, ia sebagai

tokoh Debus yang menganut tarekat Rifa’iyah, Abah yadi, ia sebagai tokoh

Budaya, Bapak Tubagus Najib Al-Bantani ia peneliti di museum Arkeologi Nasional, Bapak Hudaeri dosen IAIN Maulana Hasanuddin Serang dan kepada Sekertaris MUI yang juga pernah meneliti tentang debus. Melalui wawancara ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait masalah.36

Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis mendapatkan sumber-sumber tertulis berupa buku, ensiklopedia, jurnal, artikel dan sebagainya. Pengumpulan tersebut dilakukan di beberapa tempat yaitu di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan IAIN Sultan Hasanuddin Serang, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama, Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direkorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Perpustakaan Arsip Daerah Provinsi Banten. Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa sumber sekunder berupa buku di perpustakaan pribadi milik bapak Drs. Saidun Derani, MA.

Setelah sumber-sumber terkumpul, penulis melakukan kritik sumber agar diperoleh data yang absah, setelah melalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang akan di bahas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian

36

Dudung Abdurahman, Pengantar Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah


(28)

dilakukan tahap selanjutnya yaitu historiografi dengan melakukan penulisan dalam satu urutan yang sistematik yang telah ditentukan dalam pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, berikut dituliskan secara singkat bab I sampai bab V beserta sub-babya masing-masing.

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Kondisi Umum Masyarakat Banten yang meliputi: Geografi dan Struktur Masyarakat Banten, Perkembangan Kesultanan Banten, Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum dan Perkembangan Tarekat di Banten.

Bab III Sejarah dan Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten abad ke-19

yang meliputi: Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil Sosial Historis),

Tarekat Rifa’iyah dalam Budaya Banten, Ajaran-Ajaran Tarekat

Rifa’iyah, Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah, Wirid Sebagai

Pengobatan.

Bab IV Pengaruh Tarekat Rifa’iyah Terhadap Keagamaan di Banten Abad ke-19, yang meliputi: Kiyai, Jawara, Pesantren, dan Tradisi Lokal (Tradisi Debus di Banten, Ritual Permainan Debus).


(29)

14 BAB II

KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN

A.Geografi dan Struktur Masyarakat Banten

Banten1 adalah salah satu Provinsi di Indonesia Ujung Barat Pulau Jawa.

Dulu Banten merupakan Keresidenan di Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Tangerang. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, dengan Selat Sunda di Barat, di Selatan dengan Samudera

Hindia dan di sebelah Timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.2

Terdapat beberapa Pulau di Provinsi ini, antara lain pulau Panaitan, pulau Sertung,

pulau Panjang, Rakata (Krakatau), Pulau dua, Pulau Deli dan Pulau Tinjil.3

Luas Banten sekitar 114 mil2. Menurut data statistik resmi, pada tahun 1892

penduduk Banten berjumlah 568.935 Jiwa. Daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Daerah Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yang secara umum berbeda satu sama lain. Bagian Selatan yang merupakan daerah pegunungan dan sangat jarang penduduknya, jarang menjadi

1

Asal-usul istilah Banten dikaitkan dengan dua kata, yaitu Wahanten nama kota lama yang terletak agak kepedalaman dan Bantahan berarti suka membantah, memberontak, kiranya dikaitkan dengan sejarah daerah ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan atau memberontak tehadap kaum penjajah (Belanda). Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100. Adapun Menurut salah seorang pengurus Makam Sultan Hasanuddin, Asal nama Banten ada tiga versi yaitu Katiban Inten, Bantahan, dan Sasajen. Disebut Katiban Inten karena pada waktu itu dengan datangnya Islam , masyarakat Banten sangat bangga, saking bangganya merasa dirinya kejatuhan intan dari atas langit, Bantahan diartikan bahwa suku yang membantah, memberontak terhadap penjajah (Belanda), sedangkan Sasajen adalah sebuah tempat kecil yang di dalamnya terdapat makanan, bunga-bunga, dan sebagainya. Wawancara dengan bapak Abbas, pengurus makam Sultan Hasanuddin, Tanggal, 12 April 2014, Pukul 12:10 WIB.

2

Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h. 13.

3

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 2011), h. 19.


(30)

ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten, sedangkan bagian Utara

penduduknya jauh lebih padat.4

Sebagian besar penduduk Banten berbahasa Sunda.5 Mereka berdiam di

Banten Selatan, yang meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan penduduk bagian Utara meliputi Kabupaten Serang dan Tangerang, merupakan keturunan orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon. Seiring berjalannya waktu, mereka berbaur dengan orang-orang Sunda, Melayu, Bugis dan Lampung. Selain perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang

Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.6 Di kalangan

orang-orang Belanda, orang-orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal agama, agresif dan suka memberontak. Perbedaan-perbedaan yang nyata antara Banten Utara dan Banten Selatan disebabkan dari perbedaan lingkungan alam, faktor ekologis dan

juga perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis.7

Sebagian masyarakat Banten dikenal keras dalam gaya bicara, bahasa dan

tindakannya. Hal itu menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah

telah melekat dalam kehidupan masyarakat Banten. Untuk memahami kondisi

4

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 53.

5

Bahasa Sunda di pakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Dalam pemakaian bahasa Sunda, dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu bahasa sunda lemes, sedang dan kasar. Bahasa Sunda yang dianggap kurang halus ialah bahasa sunda di dekat pantai Utara, yaitu di Banten Selatan. Harjoso, “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan: 1971), h. 300-301.

6

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 54.

7


(31)

16

tersebut dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan

telah terstruktur pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten.8

Pada awal abad ke-16 di Banten terdapatkota pelabuhan yang teletak di

muara sungai Citarum, yang kemudian menarik para pedagang untuk singgah dan juga menyebarkan agama Islam. Dari situlah terjadi proses Islamisasi Banten yang sebelumnya merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Ketika berubah menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang lokasinya agak kepedalaman dan

disebut dengan Wahanten Girang.9 Dengan kedatangan para pedagang yang

menggunakan jalur pelayaran, maka daerah-daerah pesisir berkembang menjadi

kota, tidak heran jika proses islamisasi kebanyakan bermula di pesisir-pesisir.

Banten sendiri juga terletak di daerah pesisir. Dengan melalui proses Islamisasi

inilah akhirnya terbentuk kota bercorak Islam.10

Banten mempunyai posisi yang sangat strategis di pesisir Utara bagian Barat

pulau Jawa dekat Selat Sunda, yang dinamakan dengan “Jalan Sutra”.11

Sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang internasional. Banten juga telah mengembangkan pertanian. Sejak Sultan Abdul Mufakhir Muhammad Abdul Kadir, pertanian telah dikembangkan dengan dibangunnya sistem irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga pertanian di Banten maju pesat. Teknologi

8

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30.

9

Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Bewtawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100.

10

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36.

11Sebutan “Jalan Sutra” berasal dari terjemahan “Silk Roads” yang pertama kali di kemukakan oleh Baron Ferdinand Von Riohhofen, pada abad ke-19 untuk menyebutkan jalan-jalan kuno yang menghubungkan negeri-negeri di Asia dan Barat, yang kecuali timbulnya hubungan-hubungan perdagangan juga terjadinya kontak-kontak kebudayaan. Uka Tjandrasasmita,

Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 81.


(32)

industri gerabah yang berkembang di kota Banten juga memberi gambaran

pesatnya kemajuan industri ini.12

Kini Banten bukan lagi keresidenan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2000, Banten yang semula bagian dari Provinsi Jawa Barat, berubah menjadi Provinsi Banten. Dengan luas wilayah 8.800,83 km², Banten berada pada

batas geografis 105°’11’’-106°7’12’’ Bujur Timur dan 5°7’50’’-71’1’’ Lintang Selatan. Banten terdiri dari empat Kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang dan empat Kotamadya, yaitu Tangerang, Cilegon, Serang dan

Tangerang Selatan.13 Beberapa kota yang berperan sebagai pusat pertumbuhan

perekonomian adalah Serang, Pontang, Tirtayasa, Cikande, Labuan, Pandeglang,

Saketi, Rangkasbitung, Leuwidamar dan Banjarsari.14

Secara topografi wilayah provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0-1.000 m dpl. Secara umum kondisi topografi wilayah provinsi Banten dataran rendah yang berkisar antara 0-200 m dpl yang terletak di wilayah kota Cilegon, kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun wilayah bagian Lebak Tengah dan sebagian kecil Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian 201-2.000 m dpl. Sedangkan wilayah Lebak Timur memiliki ketinggian ketinggian 501-2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung

Sanggabuana dan Gunung Halimun.15

12“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”,

(Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h. 160.

13

Statistik Gender dan Analisis Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h. 13.

14“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”

, h. 158. 15

http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS. Akses Tanggal: 27 April 2015, Pukul 10:40 WIB.


(33)

18

B.Perkembangan Kesultanan Banten

Kesultanan Banten merupakan kerajaan yang berlandaskan Islam, namun asas kerukunan, toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat, berbagai etnis dan agama. Buktinya terdapat kelenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung jati dan sampai saat ini masih terawat dengan baik dan

menjadi situs cagar budaya nasional.16

Pada akhir abad ke-16 Banten mengalami zaman kejayaan. Kota Banten banyak didatangi para saudagar dari dalam dan luar Nusantara, sehingga berfungsi sebagai pusat perdagangan internasional. Tidak sedikit dari para pedagang yang

akhirnya bermukim dan menetap di daerah Banten.17 Sebagai pusat perdagangan,

Banten dikenal luas sebagai tempat jual beli rempah-rempah. Rempah-rempah yang diperdagangkan ialah lada yang dihasilkan di Lampung maupun di Banten

sendiri dan cengkeh serta pala dihasilkan di Maluku.18

Kejayaan Kesultanan Banten tersebut tetap bertahan setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat. Adapun para Sultan yang menggantikan beliau adalah Maulana Yusuf, Maulana Muhammad dan Sultan Ageng Tirtayasa. Mereka tidak hanya berhasil mempertahankan kejayaan tapi juga terus berusaha memperluas

wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.19

Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid

Agung Banten. Hasanuddin dijuluki oleh rakyat Banten sebagai Pangeran

Surosowan dan Panembahan Seda Kingkin. Julukan ini mengandung maksud

16

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h.32.

17

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 1.

18

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58.

19


(34)

bahwa Maulana Hasanuddin adalah pendiri Keraton Surosowan serta dengan meninggalnya beliau, rakyat Banten berduka cita dan merasa rindu akan

kebijaksanaannya.20

Setelah Maulana Hasanuddin wafat, ia digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf atau dikenal sebagai Panembahan Yusuf. Ia giat memperluas daerahnya

dengan berusaha melenyapkan kerajaan yang belum Islam yaitu Padjajaran.21

Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada tahun 1579, pasukan Banten menyerang Pakuan, Ibu kota Padjajaran sehingga kerajaan

Sunda akhirnya runtuh.22 Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk

menyebarkan agama Islam ke pedalaman Banten.23

Selain itu, Maulana Yusuf memperluas perekonomian rakyat dengan pembukaan daerah persawahan di sepanjang pesisir Banten dan daerah perkebunan lada di Lampung dan Bengkulu untuk meningkatkan produksi pertanian yang sangat penting guna menunjang perniagaaan, serta untuk konsumsi

dalam negeri.24 Pada masa pemerintahannya, perdagangan sudah sangat maju

sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari berbagai

wilayah yang kemudian diperdagangkan ke seluruh kerajaan di Nusantara.25

20

Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 408.

21

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58.

22

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barta, 1986), h. 189.

23

Heriyanti Ongkodharma. Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 73. 24

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 36. 25


(35)

20

Pada Masa Pemerintahan Maulana Yusuf, Banten telah menjadi tempat

persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.26 Sehingga situasi

perdagangan di Karangantu sangat ramai. Pedagang-pedagang dari Cina membawa barang dagangan berupa porselen sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas dan sebaginya. Pulangnya mereka membawa lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan gading gajah. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis membawa kain-kain

dari Eropa dan India.27

Pada tahun 1580 Maulana Yusuf wafat dan dimakamkan di Pekalangan Gede dekat Kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal

sebagai pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean.28

Sebagai penggantinya atau yang berhak naik takhta adalah putranya, Maulana Muhammad, tetapi ketika itu ia baru berusia 9 tahun. Pamannya, Pangeran Aria Jepara hendak menggeser takhta Maulana Muhammad, karena menganggap

Maulana Muhammad usianya masih terlalu muda. Akan tetapi kadhi (hakim

agung) dan para wali tidak setuju dengan keinginan Pangeran Jepara, sehingga Maulana Muhammad tetap dijadikan sebagai Sultan Banten dengan gelar Kangjěng Ratu Bantěn Surosowan.29

26“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”,

(Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h. 159.

27

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89. 28

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 39. 29

Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 41 dan 163.


(36)

Pada masa pemerintahannya Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat soleh. Cara yang dilakukan dalam menyebarkan agam Islam yaitu dengan menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada masyarakat dan membangun masjid-masjid sampai ke pelosok. Ia juga yang

memperindah dan memperbaiki masjid Agung.30 Setelah dewasa Maulana

Muhammad mengadakan berbagai usaha untuk memajukkan negerinya dan

melakukan ekspansi31 ke Palembang.

Dalam ekspedisi tersebut, Pangeran Muhammad berkeinginan untuk

memerangi orang-orang kafir.32 Dengan 200 kapal perang, berangkatlah pasukan

Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Tiba di Palembang terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat, bahkan Maulana Muhammad yang memimpim pasukan terbunuh dalam peperangan tersebut, sehingga ekspedisi ini pulang dengan kekalahan. Setelah wafat, Maulana Muhammad dimakamkan di serambi mesjid Agung.

Setelah itu ia dikenal sebagai Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda

ing Rana.33

Maulana Muhammad meninggal pada usia yang masih muda, kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang putera yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir anak Maulana Muhammad menggantikan ayahnya. Namun sehubungan dengan usianya yang masih muda, maka untuk menjalankan

30

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 40. 31

Ekspansi ialah perluasan suatu wilayah dengan menduduki sebagaian atau seluruh wilayahnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

32

Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2007), h. 34.

33


(37)

22

pemerintahan, ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara,34 sebagai walinya.

Hingga ia meninggal dunia pada tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi pada tanggal 17 November 1602, adiknya itu dipecat dari

jabatannya karena kelakuannya tidak baik.35

Setelah Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir sudah dewasa, maka

barulah ia menjadi pemimpin pemerintahan di Banten dengan gelar Abu

al-Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Masa pemerintahannya penuh dengan perselisihan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran kecil antara kedua wilayah tersebut. Pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mufakhir

Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia dan dimakamkan di Kenari.36

Pengganti Selanjutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun (1651-1682), ia adalah Sultan Banten yang anti Belanda. Semangat memerangi Belanda merupakan salah satu tekad untuk mengalahkan kolonial Belanda. Upaya yang dilakukannya antara lain mengadakan gerilya besar-besaran di wilayah kompeni, merusak kebun-kebun tebu, mencegat serdadu Belanda, serta

membakar markas kompeni Belanda.37 Masyarakat Banten melakukan

Penyerbuan kecil-kecilan terhadap Belanda, atau perampasan kapal-kapal Belanda dan merusak perkebunan tebu milik kompeni yang terdapat di daerah Banten. Akibat serangan Banten terhadap Belanda, maka Belanda langsung mengirim

34

Mangkubumi Jayanegara adalah seorang yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, ia selalu bermusyawarah dengan para pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh sultan muda yang bernama Nyai Embah Rangkun. (Djajadiningrat,

Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 169 35

Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 170 36

Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many,

Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .h. 8. 37

Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h. 39.


(38)

empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade38 terhadap pelabuhan

Banten.39 Peristiwa ini sangat merugikan perdagangan Banten, kemudian Sultan

mengadakan perundingan dengan pihak kompeni. Sehingga Sultan menjadikan

Kesultanan Banten berkembang pesat dan maju di bidang perdagangan.40

Pada Masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa usaha yang dilakukan untuk kemakmuran negerinya yaitu membuat saluran air dari sungai Untung Jawa hingga Pontang dan Tanahara. Saluran ini dibuat untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transformasi dalam peperangan. Selain itu juga untuk meningkatkan produksi pertanian, mengairi sawah-sawah sehingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan. Upaya yang dilakukannya tersebut tidak sia-sia, banyak kapal dagang asing yang berlabuh, sehingga perdagangan di Pelabuhan Banten sangat

ramai.41 Selain itu juga salah satu kunci kemakmuran Banten, dengan

pelabuhannya yang indah serta aman dan baik waktu itu, maka Banten sudah

mencapai taraf internasional.42

Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemajuan. Selain memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik dan meningkatkan perniagaan Banten sehingga menjadi aktif dalam dunia perdagangan internasional

di Asia.43

38

Blokade ialah pengepungan (penutupan) suatu wilayah sehingga orang, barang, kapal, dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. Kamus Besar Bahasa Indonesia

39“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 161. 40

Heryanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 75. 41

Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h.40.

42

Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967), hal.7.

43


(39)

24

C.Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum

Banten sebagai sebuah kesultanan yang otonom mengalami suatu perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga kehidupan masyarakat Banten memiliki latar belakang yang berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang tersebut menetap dan mendirikan perkampungan di Banten. Seperti perkampungan Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan

orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya.44

1. Sosial

Kehidupan sosial rakyat Banten didasarkan pada ajaran-ajaran yang berlaku

dalam Agama Islam.45 Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum

Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Di Pelabuhan Banten terdapat berbagai etnis pendatang antara lain: Eropa, Cina dan Arab. Orang Eropa merupakan komunitas yang mendiami daerah perkotaan, sementara orang Cina mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian, sedangkan orang-orang Arab tinggal di Banten memberi dampak penyebaran agama Islam di daerah ini.46

Dalam struktur sosial masyarakat Banten, terdapat 4 golongan yaitu golongan para sultan dan keluarganya, golongan elit, golongan nonelit, dan

44

http://KehidupanSosialdan20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan%20Banten%20_% 20Perpustakaan%20Cyber.htm.

45

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1.

46


(40)

golongan budak. Sultan dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang menempati lapisan sosial paling tinggi. Golongan kedua (elit) dikategorikan dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti Menteri, Mangkubumi, Kadhi,

Syahbandar, dan lain-lain.47 Golongan yang ketiga yaitu golongan nonelit yang

merupakan mayoritas rakyat Banten, yang termasuk dalam kelas ini adalah rakyat pribumi yang berdiam disana. Mereka terdiri dari petani, buruh, pekerja ahli

(tukang), nelayan dan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten.48

Sedangkan lapisan terbawah yang merupakan golongan budak, pada umumnya kehidupan mereka penuh pengabdian pada majikan, sehingga dapat diduga bahwa

sangat besar ketergantungan pada kebijaksanaan tuannya.49

Pada abad ke-19 Masyarakat Banten, mengalami penderitaan khususnya

sejak dihapuskannya kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1808.50 Pasca

dihapuskannya pemerintahan kesultanan Banten, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan

konflik di masyarakat.51

Keadaan rakyat Banten di tandai adanya bencana fisik yang silih berganti. Pada tahun 1879 terdapat wabah penyakit pes sehingga banyak penduduk yang meninggal, tahun 1883 terjadi letusan Gunung Krakatau, dan pada tahun 1888

terjadi perlawanan petani di Keresidenan Banten.52 Akan tetapi rakyat Banten

lambat laun bisa memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Musibah

47

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 78.

48

Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 83. 49

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 83. 50

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakata: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 53

51

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 7. 52

Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.


(41)

26

yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, di bidang sosial ekonomi, sehingga meski kehidupan sosial ekonomi dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, suasana di kalangan rakyat penuh

kegelisahan dan keresahan.53

2. Agama

Pada awal abad ke-16 kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Banten mengalami pergeseran yang mendasar. Pergeseran ini disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama Islam. Pada tahun 1579 puncak penyebaran agama Islam terjadi beriringan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat dari serangan Banten di bawah Pimpinan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, kehidupan

keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Banten didominasi oleh Islam.54

Ada sebagian kecil masyarakat Banten yang menganut kepercayaan

pra-Islam, yakni masyarakat Baduy.55 Masyarakat Baduy berdiam di daerah Kenekes

dan mereka tinggal di tiga kampung yakni, Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna. Kehidupan masyarakat tersebut sampai kini masih bercocok tanam dan berpakaian khasnya sendiri. Perkampungan di daerah Kenekes begitu terpencil sehingga tidak terpengaruh dengan perkembangan kehidupan sosial budaya

masyarakat di luarnya.56

53

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang, 2011), h. 15-16.

54

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84.

55

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1.

56“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”,

(Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h. 159.


(42)

Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat sepenuhnya bercorak Islam. Dalam kenyataannya, praktik-praktik animistis masih dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai

kehidupan masyarakat Banten.57 Praktik animisme lambat laun mulai menghilang

dengan kedatangan para pemuka agama.

Setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya yang membawa dan mengajarkan agama Islam di Banten, masyarakat Banten sebagian besar menganut agama Islam, dan dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis

dan fanatik.58 Banten dikenal dengan daerah yang sering melakukan

pemberontakan. Salah satunya ialah pemberontakan Petani Banten 1888. Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap penjajahan Barat dan menggunakan agama sebagai simbol.

Pemimpin agama dengan demikian muncul sebagai pemimpin gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap

sebagai gerakan keagamaan.59 Kaum elit agama mempunyai kebebasan dalam

melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang digunakan

sebagai pemberontkan dan kekuatan bagi masyarakat Banten.60

57

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 84. 58

Ibid.,h. 29-30. 59

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 15.

60


(43)

28

3. Ekonomi

Ekonomi merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan Banten. Ia merupakan sumber dana untuk keberlangsungan Kesultanan Banten. Maju atau mundurnya suatu kesultanan, tergantung bagaimana kemampuan

kesultanan dalam mengendalikan perekonomiannya.61 Pemegang hak monopoli

perdagangan yang terdapat dalam kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia

adalah raja.62Artinya raja atau Sultan memegang peranan dalam mengendalikan

suatu perekonomian.

Perekonomian Banten bersifat agraris, sehingga mata pencaharaian mereka sebagian kecil adalah petani, baik sebagai pemilik tanah atau sebagai penggarap bagi hasil. Namun demikian, sebagian besar mata pencaharian mereka juga ialah

bekerja sebagai pedagang dan nelayan.63 Karena Banten sebagai kerajaan pesisir

yang bercorak Maritim, kehidupannya menitikberatkan pada bidang perdagangan dan pelayaran, maka baik kekuasaan politik maupun ekonomi dipegang oleh kaum ningrat yang mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal. Tome Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua tepenting setelah Kalapa. Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pengekspor beras dan lada.64

Pusat penjualan lada terdapat di pasar dekat pelabuhan Banten. Orang-orang berdatangan ke tempat tersebut untuk melakukan transaksi jual beli lada dan

61

Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan Terhadap Kolonial di Banten”, (Skripsi Universitas Indonesia, 1991), h. 7.

62

Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1962), Jilid 1. h. 23-25.

63

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 57.

64

Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.


(44)

berbagai aktifitas, sehingga menjadikan kota Banten dikenal sebagai pusat

perdagangan,65 yang ramai dan disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, India

dan Eropa.66 Perkembangan ekonomi tersebut kemungkinan besar terjadi ketika

membaur dengan perdagangan Cina.67

Pada abad ke-19 Banten mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan

kolonial Belanda.68 Belanda masuk ke Banten karena Banten merupakan daerah

yang strategis dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan. Sehingga Belanda ingin menguasai wilayah Banten dan memonopoli perdagangan di

pelabuhan yang strategis tersebut dan ingin membuat rakyat Banten sengsara.69

Kehidupan ekonomi Rakyat Banten memburuk seiring menguatnya kekuasaan Belanda. Rakyat Banten yang semula umumnya adalah pedagang di laut, beralih profesi menjadi petani lada dan pemerintah kolonial campur tangan sampai ke

urusan desa.70

Pada abad tersebut Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perlawannan yang dipimpin para tokoh Banten. Bermarkas di hutan-hutan Selatan, mereka selalu siap menghadang tentara Belanda yang menuju Batavia untuk mengangkat rempah-rempah dan barang-barang pedagang lainnya di Banten. Belanda membalasnya dengan melakukan penyiksaan tehadap masyarakat Banten seperti kerja rodi dan

65

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 3.

66

H.J.De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, h. 137. 67

Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 26.

68

Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 75.

69

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 200), h. 70.

70


(45)

30

tanam paksa.71 Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda merupakan

eksploitasi penjajahan di tanah koloni. Eksploitasi ini telah menciptakan

kemiskinan petani Jawa.72

4. Budaya

Banten juga dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami

daerah-daerah lain di Indonesia memiliki kultur budaya mereka tersendiri.73 Budaya lokal

berintegrasi dan berinteraksi dengan konsep-konsep Islam, seperti tampak pada adanya dua jenis pintu gerbang Bantar dan paduraksa sebagai ambang masuk

masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya “wajah asing” pun tampak sangat

jelas di komplek Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan

Tiamah dan Menara Mesjid.74

Dalam kehidupan sosial budaya, bahasa memegang peranan sangat penting. Dengan bahasa, orang bisa berkomunikasi dengan para pedagang dalam maupun luar negeri. Berdasarkan sumber sejarah yang yang ditemukan dapat diketahui bahwa kurun waktu tahun 1500-1800 M masyarakat Banten terdiri dari beragam etnis yang ada di Nusantara, antara lain: Sunda, Jawa, Bugis, Makasar dan Bali. Beragam suku tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya

71

Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, h. 32.

72

Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa.(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), h. ix.

73

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 28-29.

74

Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia,


(46)

Banten. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat

Banten hanya tiga bahasa yaitu Sunda, Jawa, dan Melayu.75

Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagain besar masyarakat Banten bagian Selatan, sementara masyarakat Banten bagian Utara

menggunakan bahasa Jawa.76 Sedangkan bahasa melayu banyak digunakan di

pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca (bahasa perantara atau

bahasa penghubung).77

Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan tersebut menjadi eksisitensi budaya Banten untuk dapat diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan budaya Banten dapat dilihat

dari berbagai macam kesenina tradisional seperti, debus, rudat,78 dsb. Debus

merupakan kesenian tradisional khas Banten yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan agama Islam di Banten dan sebagai warisan budaya lokal

masyarakat Banten dan diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam.79

D.Perkembangan Tarekat di Banten

Sejalan dengan berkembangnya Kesultanan Banten, perkembangan ajaran-ajaran Islam terus berjalan dengan pesat. Salah satu yang berkembang di Banten adalah tarekat. Pemerintah Belanda menganggap tarekat sebagai pemberontakan

75

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84-85.

76“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”

, (Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004),h. 159. 77

Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 85. Apabila ada oarang asing yang datang ke Banten, maka bahasa melayu lah yang digunakan.

78

Rudat ialah suatu pertunjukkan yang dilakukan oleh beberapa orang. Cara melakukannya ialah duduk sambil memukul alat-alat bunyian, berupa genjring sebanyak lima sampai tujuh buah dan disertai ebuah kecrek. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 87.

79

Noviyanti Widyasari, Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya Kewarganegaraan (Civil Culture) Pada Masyarakat Banten. Universitas Pendidikan Indonesia, 2014. h. 1


(47)

32

yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Agama.80 Pada abad ke-19 di Pulau Jawa ada tiga

tarekat yang sangat penting yaitu Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Satariyah.

Akan tetapi terdapat pula kelompok-kelompok tarekat Rahmaniyah dan Rifa’iyah

walupun tidak banyak pengikutnya.

Di Pulau Jawa secara keseluruhan tarekat Naqsyabandiyah yang paling

banyak pengikutnya.81 Sedangkan di Banten tarekat yang populer dan berafiliasi

di kalangan jawara Banten ialah Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Sammaniyah.82

Guru tarekat yang pertama kali datang ke Banten ialah Syekh Yusuf Al-Makasari, tetapi tidak ada bukti tentang penyebarluasan suatu tarekat di kalangan masyarakat Banten. Tarekat yang diajarkannya yaitu tarekat Khalwatiyah. Penyebarannya masih terbatas diberikan kepada kelompok etnisnya saja. Sehingga para pengikut yang diangkatnya hanyalah terdiri dari orang-orang Makasar saja. Sementara tidak ada masyarakat Banten yang meneruskan tarekat syekh Yusuf ini. Namun telah ditemukan beberapa tarekat terutama tarekat Naqsyabandiyah dan Syatariyah, diajarkan di Banten yang di bawa oleh Abdullah

bin Abdul Qahar.83

Pada abad ke-19, tarekat di Indonesia memperoleh semangat dan dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan kedatangan para pengikut Syekh Khatib Sambas dari Mekkah. Khatib Sambas ialah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah di Mekkah. Ia seorang Kiyai yang oleh murid-muridnya dianggap sebagai seorang

80

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. 81

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 225.

82

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 20.

83

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 268-269. Dan hasil Wawancara Tokoh Budaya juga mengatakan bahwa Abdullah bin abdul Qahar juga mengajarkan Sanusiyah, Awaliyah, Syadziliyah, Rifa’iyah.


(48)

alim yang menguasai berbagai pengetahuan Islam. Khatib Sambas juga dikenal

sebagai pendiri suatu tarekat baru yaitu tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah.84

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsyabandiyah yang telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Khatib Sambas mempunyai banyak murid yang datang dari setiap penjuru Nusantara: dari Malaya, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Setelah ia wafat hanya seorang dari mereka yang diakui sebagai pemimpin utama dari tarekat tersebut, dia adalah

Syeikh Ahmad Abdul Karim dari Banten.85

Sebelum didirikannya tarekat tersebut, para kiyai di Banten tidak melakukan kerja sama satu sama lain. Setiap kiyai mendirikan pesantrennya sendiri dengan caranya sendiri, dan bersaing dengan kiayi-kiyai lainnya untuk mendapat nama

sebagai ulama yang pandai.86 Dengan kedatangan Syekh Abdul Karim, tarekat

Qadiriyah wa Naqsyabndiyah menjadi populer di kalangan masyarakat Banten. Tarekat tersebut dikatakan sebagai pendorong pemberontakan petani yang terjadi di Banten pada tahun 1888. Banten kemudian dikenal sebagai daerah yang sering

memberontak, dan dipelopori oleh tokoh-tokoh agama.87

Pengaruh para kiyai terhadap masyarakat sangat kuat. Kesetiaan para santri kepada kiyai juga sangat tinggi, karena kiyai dianggap mempunyai kesaktian.

84

Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 219.

85

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis, geografis, dan sosiologis, h. 89-92.

86

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 230.

87


(49)

34

Pada umumnya para kiyai sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat karena

mereka menganggapnya sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi.88

88


(50)

35 ABAD KE-19

A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis)

Tarekat Rifa’iyah pertama kali muncul dan berkembang di wilayah Irak

bagian Selatan. Pendirinya adalah Syekh Abu Al-Abbas Ahmad ibn Ali Al-Rifa’i.

Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada

1106 M dan wafat pada tahun 1182 M.1 Tarekat ini kemudian berkembang di

beberapa wilayah, seperti Mesir, Suriah dan Indonesia. Tarekat Rifa’iyah masuk

ke Indonesia dari salah satu ulama yang berasal dari India yakni Nuruddin

al-Raniri.2 Ia ditunjuk oleh Syekh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat

Rifa’iyah, dan karenanya ia bertanggungjawab untuk membawa dan

menyebarkannya ke beberapa wilayah Indonesia.3 Pertama kali ia menyebarkan

ke wilayah Aceh,4 sehinggga kini pengaruhnya sampai ke Minangkabau, Cirebon,

Maluku, dan Banten.5

1

Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995), h. 355 dan 357.

2

Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2005), h. 15. 3

M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 38. Sebelumnya penganut tarekat ini ialah Syekh Muhammad Al-Aidarus (kakek rohani dari Nurudin al-Raniri). Melaui Syeh Al-Aidarus ini Ba Syaiban diterima masuk dalam tarekat Rifa’iyah kemudian ia menggantikannya dan menerima kedatangan murid-murid baru. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1,(Kencana: Prenada Media Group, 2006), h. 88.

4

Nurudin al-Raniri pertama kali menyebarkan tarekat Rifa’iyah di wilayah Aceh, karena ia telah menjabat Syekh al-Islam atau mufti di Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din. Ia tinggal di Aceh selama 7 tahun. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 15.

5Badri Yatim, “Tarekat dan Perkembangannya”

, Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), h. 369.


(51)

36

Tarekat Rifa’iyah diperkirakan pertama kali masuk dan berkembang di

Banten pada masa Sultan Abu Al-Mufakhir Aliyuddin (1777-1802).6 Tarekat ini

pertama kali menyebar dari kalangan istana dan elit kota, kemudian menyebar ke

kalangan penduduk yang luas bahkan ke kalangan masyarakat awam.7 Tarekat

Rifa’iyah yang berkembang di Banten merupakan tarekat yang berkaitan dengan

permainan debus,8 meski dalam perkembangannya tidak ada guru-guru terkemuka

yang memberi dorongan baru. Akan tetapi ada salah seorang Kiyai Abdul Qadir seorang guru keturunan Banten yang bermukim di desa Cibaregbeg, Cianjur. Ia

dikenal sebagai Guru Tarekat Rifa’iyah terakhir di Banten yang diakui secara luas.9

Keberadaan tarekat Rifa’iyah di Banten juga di dukung dengan adanya

naskah tentang Ratib tarekat Rifa’i. Di dalam naskah tersebut, sering menyebutkan nama pendiri tarekat Rifa’iyah yaitu Syekh Ahmad al-Kabir

al-Rifa’i. Penyebutan nama ini juga menunjukkan perkembangan tarekat Rifa’iyah di

Banten.10 Di dalam isi naskah Ratib Rifa’i juga terdapat nama-nama orang yang

dianggap penting dan memiliki hubungan dengan sejarah tarekat Rifa’iyah di

Banten antara lain:

1. Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa’i

2. Syekh „Abd al-Qadir al-Jaelani

3. Syekh Safi ad-Din Ahmad ibn „Alwan

6

Riwayat Sultan Abu Al-Mufakhir belum ada yang mengungkapkan dan masa pemerintahnnya juga belum ada sejarahnya, yang ada hanya tahun pemerintahannya saja.

7

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 273.

8

C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Jilid II, (Leiden: E.J. Brill, 1894), h. 256. 9

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h. 271.

10


(1)

Lampiran 6.3 Syekh Debus5

Lampiran 6.4 Pertunjukkan Debus6

5


(2)

Lampiran 6.5 Pertunjukkan debus

Lampiran 6.6 Atraksi menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala seorang pemain debus. Sedangkan salah seorang lagi sedang membalikkan telur hanya dengan menggunakan tangan tanpa alas, tetapi tidak

mengalami luka h. 29.

6


(3)

(4)

(5)

(6)