Wirid Pengobatan Wirid Sebagai Pengobatan

“Untuk arwah Sayyid Syekh Muhyiddin Abd al-Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad al-Kabir al- Rifa’i dan Ahmad Dasuqi dan Sayyid Ahmad Badawi al-Rifa’i dan Abdullah al-Aydarus Abu Bakar al-Fatihah Amin 3x. al-madad 3x”. 66 66 Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 80. Lihat juga skripsi Makmun Muzaki “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”. 60

BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFAIYAH TERHADAP

KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19 Pada Bab III, penulis sudah menjelaskan tentang sejarah t arekat Rifa’iyah di Banten beserta ajaran-ajarannya. Adapun pembahasan selanjutnya yaitu mengenai pengaruh tarekat Ri fa’iyah terhadap keagamaan di Banten abad ke-19. Ada empat peng aruh tarekat Rifa’iyah yang dibahas yaitu; kiyai, jawara, pesantren dan tradisi debus. Adapun dari empat pengaruh tersebut dikategorikan menjadi tiga bagian: pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal debus.

A. Kiyai

Kiyai merupakan satu dari lima elemen utama dalam sistem pesantren di Indonesia. 1 Kiyai juga sering dianggap sebagai ulama masyarakat Jawa. Sekitar abad ke-19 kiyai sudah menempati kedudukan yang signifikan di masyarakat Banten. Dalam masyarakat Banten kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh 1 Adapun empat elemen lainnya dalam sistem pesantren yaitu pondok, masjid, santri, dan kitab Islam klasik. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011, h. 93. agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik. 2 Penampilan kiyai yang khas merupakan simbol-simbol keshalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana. Berdasarkan peranannya, kiyai di Banten sering disebut sebagai “kiyai kitab” yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, 3 khususnya kitab kuning, 4 seperti; tafsir hadist, fiqih, ushul fiqih, akidah akhlaq, serta gramatika Bahasa Arab. 5 Kedudukan kiyai dalam hal ini akan mengerucut pada pembagian peranannya yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: guru ngaji, guru kitab dan mubaligh. Pertama, Guru Ngaji. Dimana peran kiyai yang paling awal yaitu mengajarkan baca al- Qur’an dengan baik kepada santrinya. Pengajarannya mulai dari cara pembacaan huruf Hijaiyyah dan kaidah-kaidahnya dengan benar yang dikenal dengan ilmu tajwid. Selain itu kiyai juga mengajarkan beberapa metode pembacaan ayat-ayat al- Qur’an dengan suara yang indah, yakni untuk para Qari dan Qari’ah yang memiliki bakat suara yang baik. 6 Meskipun kegiatan mengaji ini tidak bersifat formal, akan tetapi dalam pengajarannya apabila murid sudah dianggap baik membaca al- Qur’annya maka diadakan “hataman atau tammatan”. 7 2 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011, h. 4. 3 Martin Van Bruinessen, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995, h. 279. 4 Kitab kuning adalah sebutan untuk buku atau kitab tentang ajaran agama Islam atau tata bahasa Arab yang dipelajari di pondok pesantren yang ditulis atau dikarang oleh para ulama pada abad pertengahan. Buku-buku tersebut dinamakan dengan kitab kuning karena biasanya dicetak dalam kertas buram koran yang berwarna agak kekuning-kuningan. Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten, Serang: Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Press, tth, h. 135. 5 www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html . Akses Tanggal 07 Mei 2015, Pukul 16:37 WIB. 6 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten, h. 138. 7 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984, h. 152.