Tarekat Rifa’iyah di Banten Profil, Sosial Historis

dari Tarim. Sementara Ba Syaiban sendiri masuk tarekat Rifa ’iyah melalui Syekh Abu Bakar Abdullah al-Aydarus. 14 Tokoh nomor tujuh, dalam hadiah al-fatihah hanya disebutkan nama singkatnya saja yaitu Sayyid Musa. Sedangkan dalam munajat Rifa’i namanya disebutkan secara lengkap sebagai Sayyid Syekh Musa ibn Sayyid Abd al-Qadir al- Rifa’i. Dalam naskah sering disebut sebagai petunjuk jalan, pengikut, dan perantara kepada Allah SWT. Ia juga merupakan salah seorang syekh dalam tarekat Rifa ’iyah, karena nama belakangnya Rifa’i sehingga memperkuat dugaan tersebut. 15 Tiga tokoh selanjutnya yaitu, Sultan Maulana Hasanuddin ibn Maulana Mahdum, Sultan Muhammad al-Arif Zain al-Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin, tiga orang sultan tersebut yang pernah memerintah di Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin Sultan pertama Banten pada tahun 1552-1570. Penyebutan nama Maulana Hasanuddin dalam naskah ditunjukkan untuk lebih menghormatinya sebagai tokoh yang mengislamkan Banten dan daerah sekitarnya. Muhammad al-Arif Zain al- „Asyiqin dengan nama lengkap Abu al-Nasr Muhammad al- „Arif Zain al-Asyiqin, diganti oleh putranya pada tahun 1777 M dengan gelar Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin 16 yang wafat pada tahun 1802 M. 17 Dalam naskah tersebut menambahkan gelar khalifah 18 kepada Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. 14 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1, Kencana: Prenada Media Group, 2006, h. 88. 15 Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa’i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, h. 159. 16 Mengenai Sultan Muhammad al-Arif Zain al- „Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. Belum menemukan catatan yang mengungkapkan riwayat hidupnya, bahkan masa pemerintahannyapun belum ditemukannya juga, yang bisa di temukan hanya sekedar Nama dan tahun pemerintahannya saja 17 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia Jilid II, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian, 1956, h. 14.

B. Tarekat Rifaiyah Dalam Budaya Banten

Tarekat Rifa ’iyah selain fungsi utamanya dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, akan tetapi di Banten digunakan sebagai alat untuk memobilisir rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Faktor-faktor yang menyebabkan pemberontakan yaitu tejadinya keresahan sosial yang kompleks dan beraneka ragam, seperti disintegrasi 19 tatanan tradisional, semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa asing. 20 Tarekat berfungsi sebagai pelekat diantara mereka sekaligus menjadi penguat dalam melakukan pemberontakan. Di Banten sendiri terdapat beberapa tarekat yang berkembang, antara lain: Tarekat Awaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, Sadziliyah, Samaniyah, Qadiriyah dan Rifa’iyah. Meski yang lebih berperan dalam pemberontakan Banten 1888 adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tetapi tarekat-tarekat lainnya juga ikut terlibat, dan saling membantu. Sehingga tarekat yang terdapat di Banten saling mendukung satu sama lain. Tarekat-tarekat di Banten selain digunakan untuk berjuang melawan kolonial, juga dimanfaatkan untuk membangun simpatik di ranah kebudayaan atau seni. Tarekat Syadziliyah, misalnya dikenal dengan seni pembacaan dalalil al- 18 Istilah khalifah sebenarnya dapat memiliki berbagai makna dan ternyata telah digunakan dalam bentuk gabungan kata Khalifatullah “wakil Allah”, sebagai gelar seorang raja di beberapa kerajaan muslim di Indonesia. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h, 273. 19 Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu, keadaan terpecah belah, hilangnya keutuhan atau persatuan, perpecahan. 20 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, h. 157. khoirot, Samaniyah dengan dzikir saman, Qadiriyah dengan wawacan seh Abdul Qadir Jaelani, dan Rifa ’iyah dengan kekebalan atau debusnya. 21 Dalam peristiwa pemberontakan di Banten, tarekat Rifaiyah diyakini telah memberi kekebalan kepada rakyat Banten yang belum memiliki persenjataan modern, seperti pistol dan senapan. Alat yang digunakan adalah senjata tradisional, seperti keris, golok, dan bambu runcing. Para ulama dan tokoh agama biasanya memberi bekal yang mendorong keberanian rakyat dan pemuda Banten untuk menghadapi tentara penjajah. 22 Bekal yang diberikan dapat berupa dzikir dan wirid serta do ’a-do’a yang ada dalam tarekat, semangat juang dan juga keyakinan akan kekebalan terhadap senjata tajam. Pengajaran dari sebagian amalan tarekat yang bertujuan untuk mendapatkan kekebalan ini kemudian berkembang menjadi suatu bentuk permainan yang kini lebih dikenal sebagai debus. 23 Debus merupakan suatu fenomena khas Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, selain di Banten juga berkembang di Aceh dan Sumatera Barat. di Aceh debus dikenal dengan ra fa’i, dabuih 24 dan di Minangkabau dinamakan dengan madaboih. Di Banten debus sudah berkembang pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Karena peran pentingnya dalam membangkitkan moral pasukan melawan VOC, debus sering diasosiasikan dengan masyarakat Banten dari pada lainnya. 25 21 Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi salah seorang tokoh Budaya Banten, Serang, 13 April 2015, Pukul, 11.00 WIB. 22 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 226. 23 Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam dan Kiai: Studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, Tesis, FISIP, Universitas Indonesia, 1995, h. 5 24 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Deel II, Leiden: Brill, 1894, h. 258 25 J.Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33. Mengenai asal usul kata debus ini terdapat perbedaan. Sebagian orang mengatakan bahwa debus berasal dari bahasa Sunda yang artinya “tembus”. Hal ini dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam permainannya adalah benda tajam yang apabila ditusukkan ke dalam tubuh, dapat tembus. Namun kondisi badan tidak terluka sama sekali. 26 Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat Banten, jika dicermati secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama. Nilai religius tercermin dalam do ’a yang dipanjatkan oleh para pemain. Do ’a tersebut bertujuan agar para pemain selalu di lindungi dan selalu mendapatkan keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan Debus. 27

C. Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah

1. Keanggotaan

Tarekat Rifa’iyah adalah sebuah jemaat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu. Sebelum di bai ’at menjadi anggota tarekat Rifa’iyah setiap orang atau kelompok harus bisa menyelesaikan ujian yang diberikan oleh Guru, yaitu ujian yang bersifat fisik, mental dan batin. Ketiga macam ujian itu dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan melakukan puasa selama tiga hari. 28 Bahkan menurut salah seorang pengikut tarekat Rifa’iyah, puasa dilaksanakan selama 40 hari. Selama puasa ada beberapa tindakan yang harus dilakukan, seperti tidak 26 Isman Pratama Nasution, Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten, Universitas Indonesia, journal.ui.ac.idindex.phpjaiarticledownload...2607. Akses tanggal 21 april 2015. h. 32 27 http:wisnunatural.blogspot.com201204laporan-penelitian-kesenian-debus.html. 28 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990, h. 66. boleh bertemu dengan perempuan, ketika berbuka puasa hanya diperbolehkan memakan sekepal nasi putih, sedikit garam dan beberapa buah cabe rawit. Selama menjalankan puasa, seorang murid juga diwajibkan untuk mandi setiap malam hari dan membersihkan diri dari perbuatan dosa. Setelah mandi tidak diperbolehkan tidur. 29 Ia harus melaksanakan beberapa kewajiban yang lain antara lain: a. Shalat Istikharah enam rakaat, tiga kali salam. Dan masing-masing surat di baca 11 kali setiap rakaat. Adapun cara melaksanakan shalat sebanyak enam rakaat tersebut yaitu, untuk shalat dua rakaat pertama, surat yang dibaca yaitu al-Qadar dan surat ad-Duha. Sementara untuk dua rakaat yang kedua, membaca surat ad-Duha dan surat al-Insyiroh. Sedangkan untuk dua rakaat yang ketiga membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas. b. Membaca istigfar sebanyak 100 kali c. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, 100 kali d. Membaca Dzikir 100 kali e. Membaca al-Qur’an surat al-Fatihah dan al-Ikhlas sebanyak 100 kali, serta membaca surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing sekali. 30 Di dalam tarekat terdapat hubungan anatara guru dan murid yang sangat erat. Guru dalam tarekat di sebut Mursyid atau kiyai. Mursyid inilah orang yang memberikan ilmunya kepada orang yang ingin belajar. Sedangkan orang yang mau menerima ilmu mereka akan menjadi murid. 31 Oleh karena itu untuk menjadi 29 Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, Serang: FUD Press, 2009, h. 67. 30 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, h. 67-68. 31 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 74.