nasehat, do ’a dan kebutuhan praktis lainnya. Kiyai juga aktif melakukan
ceramah Agama kepada masyarakat luas.
11
Dengan adanya perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten ini,
memberikan gambaran baru bahwa kiyai tidak hanya sebagai guru ngaji, guru kitab dan mubaligh. Tetapi juga seorang kiyai dapat di kategorikan menjadi
dua yaitu kiyai hikmah dan guru tarekat. Dua kategori ini menambah gambaran umum adanya pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten.
Pertama, Kiyai hikmah adalah kiyai yang dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan pusat kekuatan supranatural dan dipercaya memiliki
kekuatan magis dan mistis.
12
Kyai ini mempraktekkan ilmu-ilmu magis Islam seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Dengan
amalan yang digunakan yaitu membaca wirid, zikir dan ratib.
13
Sebagian kiyai yang mempunyai kemampuan tersebut
adalah pengamal tarekat Rifa’iyah. Ilmu hikmah yang dimiliki para kiyai biasanya berasal dari bacaan atau
tulisan-tulisan yang berbahasa Arab, yang bersumber dari al- Qur’an, yang
berupa dzikir dan wirid. Karena itu mereka yang menggunakan ilmu hikmah merasa yakin bahwa ilmu yang dimilikinya berasal dari Allah SWT.
14
Di Banten sendiri, hingga kini ilmu hikmah memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat diajarkannya ilmu-ilmu gaib ilmu
hikmah, sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini
11
Ibid., h. 143.
12
Hikmah makna dasarnya adalah kebijaksanaan. Dalam al- Qur’an disebutkan bahwa
”orang-orang yang telah diberi hikmah oleh Allah adalah orang-orang yang telah diberi nikmat yang banyak. Namun dalam tradisi sufi atau tarekat kata hikmah lebih berarti kemampuan
seseorang untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang.
13
www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html . Akses Tanggal 07
Mei 2015, Pukul 16:37 WIB.
14
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 143.
dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat, tabib, pelancar usaha.
15
Tetapi banyak juga guru agama yang berpendapat bahwa praktek-praktek tersebut tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
16
Para kiyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat saja, tetapi juga dikenal sebagai
guru ilmu hikmah. Kedua, Guru Tarekat. Pada abad ke-19 banyak guru pesantren yang
mengajarkan tarekat, yang dalam pengajarannya berbeda dengan pengajaran kitab. Anggota tarekat rata-rata usianya lebih tua dari santri.
17
Mereka membentuk kelompok spiritual yang dapat menyesuaikan diri satu sama
lainnya.
18
Penggunaan tarekat sebagai jaringan sosial untuk sumber kesaktian dan ilmu kedigjayaan juga sangat menonjol pada saat melakukan perlawanan
terhadap penjajah Belanda.
19
Para penggerak perlawanan tersebut adalah para tokoh agama, yakni para kiyai dan guru-guru tarekat yang sering menganjurkan
kepada para muridnya untuk melakukan dzikir dan membaca do ’a-do’a
tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan kesaktian atau ilmu kedigjayaan agar kebal terhadap senjata, tidak terlihat oleh musuh, dan sebagainya.
20
Para kiyai yang terdiri dari para Sayyid atau Syekh tarekat berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk berkhotbah kepada masyarakat. Oleh
karena itu pemerintah kolonial menjadi khawatir terhadap orang-orang yang
15
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 142.
16
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153.
17
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153.
18
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153.
19
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, h. 257.
20
Mohammad Hudaeri , Islam Tantangan Modernitas, h. 202.
menyebarkan semangat keagamaannya dan beranggapan bahwa mereka mengajarkan permusuhan terhadap kekuasaan orang Eropa dengan maksud
menimbulkan kebencian dan semangat memberotak.
21
Dalam hal ini sebagian mereka bera
sal dari tarekat Rifa’iyah. Tarekat Rifa’iyah ini memiiki kekhasan dalam cara berdzikirnya yang
memperlihatkan kesaktian berupa kekebalan diri tehadap senjata tajam.
22
Di dalam suatu tarekat terdapat mursyid atau syekh, yaitu guru yang memberi
petunjuk mengenai riyadhah atau laitihan-latihan dalam melakukan dzikir atau wirid. Syeh atau mursyid yang mengajarkannya harus mempunyai silsilah,
rangkaian pengambilan sesuatu tarekat sampai kepada dirinya dan kepada Nabi Muhammad, serta harus mempunyai syarat-syarat tertentu.
23
Perkembangan tarekat Rifa’iyah berhubungan dengan munculnya
fenomena debus di Banten.
24
Dalam hubungan ini, tarekat Rifa’iyah dan debus
merupakan dua hal yang saling berkaitan. Salah satu peranan Kiyai dalam ilmu magis yaitu mengembangkan kesenian debus. Sedangkan debus menjadi suatu
sarana bagi kiyai untuk melegitimasi diri sebagai tokoh yang memiliki kemampuan luar biasa atau
“karomah”.
25
21
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 236.
22
Isman Pratama Nasution “Debus, Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat.” Tesis FISIP, Universitas Indonesia,
1995, h. 36.
23
Ibid., h. 35.
24
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, BKI, 1973, h. 302.
25
Isman Pratama Nasution Debus, “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat, h. iv.
B. Jawara
Selain golongan agama Kiyai, Jawara juga yang mempunyai andil di masyarakat Banten pada abad ke-19.
26
Jawara adalah salah satu murid dari seorang kiyai.
Ada dua pengklasifikasian dalam struktur kelompok jawara yaitu jawara yang beraliran hitam dan jawara yang beraliran putih. Jawara yang beraliran hitam
adalah mereka yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra- Islam. Adapun do
’a yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang disebut dengan
Jangjawokan.
27
Karena para jawara hitam ini tidak bisa mentransformasikan tradisi Islam dengan kegiatan ritualnya, sehingga dikatakan jawara aliran hitam ini
beubah menjadi jawara aliran putih. Sedangkan jawara yang beraliran putih adalah mereka yang memiliki
kesaktian yang berasal dari sumber-sumber agama Islam, biasanya mereka yang mendalami ilmu tarekat
Rifa’iyah, Jawara beraliran putih ini dipandang dekat dengan kiyai, karena memang amalannya tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam.
28
Beberapa ritual yang terlihat dalam jawara yang beraliran putih ialah amalan dan puasa. Kedua ritual ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Puasa
merupakan latihan pengendalian diri menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini bukan seperti puasa Ramadhan yang dilaksanakan umat Muslim biasanya, tapi
dalam ritual ini merupakan upaya pengolahan batin agar selalu mengingat Allah
26
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 57.
27
Jangjawokan adalah pembacaan mantra yang bukan bersumber dari ajaran Islam.
28
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten, h. 152.
SWT. Jumlah puasa yang dilakukannya yaitu selama 3-7 hari bahkan ada yang sampai 40 hari. Sementara amalan merupakan kegiatan dzikir. Dzikir tersebut
biasanya terdapat dalam al- Qur’an. Bentuk dzikir ini biasanya membaca tahmid,
atau takbir dan pembacaan ayat kursi atau beberapa dzikir khusus yang dimiliki beberapa kelompok tertentu. Jumlahnya beragam ada yang dibaca 3 kali bahkan
ada yang dibaca 30 kali. Ritual ini biasanya dilakukan setelah shalat wajib atau tahajud.
29
Puasa dan dzikir tersebut bertujuan untuk memperoleh kesaktian. Peranan Jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan
debus, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Di Banten sendiri ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan.
30
Dinamakan debus al-madad.
31
Karena setiap kali melakukan aksinya para pemain selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang menggambarkan bahwa tindakan
tersebut didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad ini merupakan debus yang dalam permainannya harus melakukan amalam yang
sangat panjang. Amalan-amalan debu s ini diambil dari tarekat Rifa’iyah.
32
Hal ini dapat dilihat dari silsilah, ritual, hizib dan bacaan-bacaan wirid atau dzikir yang
29
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 19.
30
Debus Surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Melihat namanya
“Surosowan” bahwa debus ini berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Semenjak awal debus ini hanya sebagai pertunjukkan di istana Surosowan bukan untuk mendapatkan kesaktian.
Sedangkan Debus Langitan adalah pertunjukkan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam yang bersangkutan merasa sakit atau menderita
luka-luka. Permainan debus ini nampaknya ditunjukkan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian. Ibid., h. 154.
31
Al-maddad berasal dari bahasa Arab Madadun yang berarti pertolongan. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia Jakarta: Hidayakarya Agung, 1989, h. 414.
32
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153-154.
dibacakan pada setiap pertunjukkan dan tata cara mempelajari kesenian debus Banten.
33
Hubungan tarekat dengan debus ini dilihat dari pertunjukkan yang selalu dimulai dengan membaca shalawat-shalawat Nabi, do
’a-do’a dan dzikir yang memohon perlindungan dari Allah SWT serta diikuti dengan ritual tertentu, yang
ternyata ritual tersebut sama juga dilakukan oleh beberapa tarekat. Permainan debus tidak bisa dipraktekkan oleh sembarang orang. Sebab yang
dapat melakukan praktek debus hanya orang yang sudah taat betul dengan ajaran- ajaran agama. Apabila orang yang melakukan debus belum taat dalam
mengamalkan ajaran agama, maka senjata tajam yang digunkan tersebut bisa melukai tubuhnya sendiri.
34
C. Pesantren
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari- hari.
35
Dipesantren tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga biasanya para guru mengajarakan ilmu tarekat. Di Banten sendiri, penulis belum
menemukan pesantren yang mengajarkan tarekat Rifa’iyah.
Namun didaerah lain, penulis menemukan ada salah satu pesantren yang menganut tarekat Rifa’iyah ialah pesantren yang berada di desa Cibaregbeg,
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, yang didirikan oleh Kiyai Haji Abdul
33
Jurnal, Kiki Muhamad Hakiki, Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan Negoisasi Islam-Budaya Lokal, h. 4.
34
Ibid., h. 5. didukung juga dari hasil wawancara dengan Abah Yadi salah seorang tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul 11:29 WIB.
35
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: Seri INIS XX, 1994, h. 6.
Jalil ibn Musa al- Rifa’i. Secara fisik pesantren ini hanya sebuah bangunan yang
berfungsi ganda yaitu sebagai tempat belajar para santri dan sebagai langgar tempat orang bersembahyang. Namun pesantren ini mempunyai banyak murid,
salah satu diantaranya adalah Kiyai Haji Mukri, salah seorang pemimpin pemberontakan rakyat Banten 1926.
Kiyai Haji Abdul Jalil adalah seorang Kiyai Mursyid dari beberapa cabang tarekat antara lain Syatariyyah, Sammaniyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan
Rifa’iyah. Dari namanya, Abdul Jalil ibn Musa al-Rifa’i tampaknya lebih mengiden
tifikasikan diri sebagai tokoh tarekat Rifa’iyah. Ia berguru dan mempelajari tarekat Rifa’iyah kepada ayahnya. Selain belajar kepada ayahnya, ia
juga belajar kepada Sayyid Salim al- Mu’ali di Mekkah selama beberapa tahun.
Setelah ia mempelajari tarekat Rifa ’iyah, ia kembali memimpin di pesantren
Cibaregbeg tersebut, sekaligus mengajarkan tarekat Rifa’iyah kepada murid- muridnya.
36
Kemudian para murid meyakini amalan tarekat yang diajarkan oleh seorang guru dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Para
guru tarekat dijadikan perantara bagi para muridnya yang ingin berhubungan dengan Tuhan dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam
persoalan kehidupan spiritual maupun material.
37
Dalam lingkungan pesantren tarekat memiliki makna sebagai kepatuhan terhadap peraturan-peraturan syariah Islam dan mengamalkannya dengan cara
yang sebaik-baiknya, yakni baik yang bersifat ritual maupun sosial. Seperti
36
Makmun M uzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990, h. 60 dan 62
37
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011, h. 214.