Jawara ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFAIYAH TERHADAP

Jalil ibn Musa al- Rifa’i. Secara fisik pesantren ini hanya sebuah bangunan yang berfungsi ganda yaitu sebagai tempat belajar para santri dan sebagai langgar tempat orang bersembahyang. Namun pesantren ini mempunyai banyak murid, salah satu diantaranya adalah Kiyai Haji Mukri, salah seorang pemimpin pemberontakan rakyat Banten 1926. Kiyai Haji Abdul Jalil adalah seorang Kiyai Mursyid dari beberapa cabang tarekat antara lain Syatariyyah, Sammaniyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan Rifa’iyah. Dari namanya, Abdul Jalil ibn Musa al-Rifa’i tampaknya lebih mengiden tifikasikan diri sebagai tokoh tarekat Rifa’iyah. Ia berguru dan mempelajari tarekat Rifa’iyah kepada ayahnya. Selain belajar kepada ayahnya, ia juga belajar kepada Sayyid Salim al- Mu’ali di Mekkah selama beberapa tahun. Setelah ia mempelajari tarekat Rifa ’iyah, ia kembali memimpin di pesantren Cibaregbeg tersebut, sekaligus mengajarkan tarekat Rifa’iyah kepada murid- muridnya. 36 Kemudian para murid meyakini amalan tarekat yang diajarkan oleh seorang guru dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Para guru tarekat dijadikan perantara bagi para muridnya yang ingin berhubungan dengan Tuhan dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam persoalan kehidupan spiritual maupun material. 37 Dalam lingkungan pesantren tarekat memiliki makna sebagai kepatuhan terhadap peraturan-peraturan syariah Islam dan mengamalkannya dengan cara yang sebaik-baiknya, yakni baik yang bersifat ritual maupun sosial. Seperti 36 Makmun M uzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990, h. 60 dan 62 37 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011, h. 214. praktek Wira’i 38 dan Riyadhah. 39 Kiyai lah yang mengajarkan amalan-amalan dzikir kepada santrinya dan dibacanya bersama-sama. Bentuk dzikir dan amalan- amalan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dipraktekkan oleh anggota- anggota tarekat yang dianggap sah oleh Kiyainya. 40 Dari pemaparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pesantren adalah tempat pengajaran dan praktek tarekat Rifa’iyah dengan kiyai sebagai gurunya 41

D. Tradisi Lokal

1. Tradisi Debus Di Banten

Debus berasal dari bahasa sunda yang artinya tembus, hal ini dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam permainan tersebut merupakan alat yang tajam yang apabila ditusukkan ke bagian tubuh akan tembus. 42 Debus mempunyai beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia debus atau dabbus ialah suatu permainan pertunjukan kekebalan terhadap senjata tajam atau api dengan menusuk, menyayat, atau membakar bagian tubuh. 43 Pengertian ini semakna dengan yang dikatakann oleh Vredenbregh bahwa debus adalah sebuah pertunjukkan yang mana memberikan fungsi yang nyata terhadap kekebalan 38 Wira’i ialah cara hidup yang suci dimana para pengamalnya selalu berusaha menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang haram dan makruh dan banyak mengerjakan amalan yang dianggap sunnah dan wajib. 39 Riyadhah ialah berprihatin antara puasa, menahan diri dari makan dan berpakaian sekadar kebutuhannya. Cara melaksanakan Riyadhah ialah seorang santri harus mempunyai niat yang kuat, dan selama berpuasa diwajibkan untuk mandi pada malam hari. Biasanya santri yang sedang berpuasa menempati salah satu ruangan di dalam rumah seorang Kiyainya atau di dalam masjid. Mohammad Hudaeri, Debus Dalam Tradisi Masyarakat Banten, Serang: FUD Press, 2009, h. 67. 40 Ibid, h. 214. 41 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, h. 213. 42 K. Hadiningrat, Kesenian Tradisional Debus, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 9182, h. 2. 43 Kamus Besar Bahasa Indonesia. tubuh. 44 Sedangkan menurut Abu Bakar Atjeh Debus berasal dari bahasa Arab Dabbus yaitu sepotong besi yang tajam. Dalam permainan debus ini, orang-orang yang menganut tarekat Rifa’iyah berdzikir di tengah-tengah suara rebana yang gemuruh. 45 Dengan demikian debus adalah suatu permainan yang menikam diri dengan benda tajam yang disertai dengan dzikir- dzikir dari tarekat Rifa’iyah. Para pelaku debus adalah syekh debus atau pemimpin kelompok debus dan sejumlah pemain debus. Peralatan yang digunakan untuk permainan debus adalah belati penusuk, kayu dan paku besi yang ujungnya tajam. 46 Dalam pengertian tersebut, kata debus mengandung dua makna yaitu “sebagai suatu bentuk permainan kekebalan yang menggunakan alat debus dan sebagai nama alat yang digunakan untuk permainan kekebalan”. 47 Dalam sejarahnya, Debus Banten merupakan tradisi yang berkembang sejak masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dengan tujuan membangkitkan moral pasukan Banten melawan VOC. 48 Kesenian Debus ini tidak hanya di jumpai Banten, tetapi juga berkembang di Aceh dikenal dengan Rapa’i. Di Bugis, Makasar, Sulawesi, permainan ini dikenal dengan nama Daboso dan Minangkabau Rapa’i, deboih dan Madaboih. 49 Jadi permainan debus di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda, namun dalam unsur permainannya memiliki 44 J. Vredenbregt, Dabus in West Java, BKI, 1973, h. 302. 45 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, Solo: Ramadhani, 1995, h. 357. 46 J. Vredenbregt, Dabus In West Java, 302. 47 Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budayalaporan, 1998, h. 10. 48 Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33. 49 C. Snouck Hurgronje, The Achehnese Vol II, Leiden: Briill, 1906, h. 351.