Banten. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat Banten hanya tiga bahasa yaitu Sunda, Jawa, dan Melayu.
75
Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagain besar masyarakat Banten bagian Selatan, sementara masyarakat Banten bagian Utara
menggunakan bahasa Jawa.
76
Sedangkan bahasa melayu banyak digunakan di pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca bahasa perantara atau
bahasa penghubung.
77
Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan tersebut menjadi eksisitensi budaya Banten untuk dapat
diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan budaya Banten dapat dilihat dari berbagai macam kesenina tradisional seperti, debus, rudat,
78
dsb. Debus merupakan kesenian tradisional khas Banten yang tumbuh bersamaan dengan
perkembangan agama Islam di Banten dan sebagai warisan budaya lokal masyarakat Banten dan diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam.
79
D. Perkembangan Tarekat di Banten
Sejalan dengan berkembangnya Kesultanan Banten, perkembangan ajaran- ajaran Islam terus berjalan dengan pesat. Salah satu yang berkembang di Banten
adalah tarekat. Pemerintah Belanda menganggap tarekat sebagai pemberontakan
75
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003, h. 84-85.
76
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004,h. 159.
77
Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 85. Apabila ada oarang asing yang datang ke Banten, maka bahasa melayu lah yang digunakan.
78
Rudat ialah suatu pertunjukkan yang dilakukan oleh beberapa orang. Cara melakukannya ialah duduk sambil memukul alat-alat bunyian, berupa genjring sebanyak lima sampai tujuh buah dan
disertai ebuah kecrek. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, h. 87.
79
Noviyanti Widyasari, Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya Kewarganegaraan Civil Culture Pada Masyarakat Banten. Universitas Pendidikan Indonesia, 2014. h. 1
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Agama.
80
Pada abad ke-19 di Pulau Jawa ada tiga tarekat yang sangat penting yaitu Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Satariyah.
Akan tetapi terdapat pula kelompok- kelompok tarekat Rahmaniyah dan Rifa’iyah
walupun tidak banyak pengikutnya. Di Pulau Jawa secara keseluruhan tarekat Naqsyabandiyah yang paling
banyak pengikutnya.
81
Sedangkan di Banten tarekat yang populer dan berafiliasi di kalangan jawara Banten ialah Tarekat Qadi
riyah, Rifa’iyah, dan Sammaniyah.
82
Guru tarekat yang pertama kali datang ke Banten ialah Syekh Yusuf Al-Makasari, tetapi tidak ada bukti tentang penyebarluasan suatu tarekat di kalangan
masyarakat Banten. Tarekat yang diajarkannya yaitu tarekat Khalwatiyah. Penyebarannya masih terbatas diberikan kepada kelompok etnisnya saja.
Sehingga para pengikut yang diangkatnya hanyalah terdiri dari orang-orang Makasar saja. Sementara tidak ada masyarakat Banten yang meneruskan tarekat
syekh Yusuf ini. Namun telah ditemukan beberapa tarekat terutama tarekat Naqsyabandiyah dan Syatariyah, diajarkan di Banten yang di bawa oleh Abdullah
bin Abdul Qahar.
83
Pada abad ke-19, tarekat di Indonesia memperoleh semangat dan dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan kedatangan para pengikut Syekh Khatib
Sambas dari Mekkah. Khatib Sambas ialah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah di Mekkah. Ia seorang Kiyai yang oleh murid-muridnya dianggap sebagai seorang
80
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 64.
81
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984, hlm. 225.
82
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011, h. 20.
83
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995, h. 268-269. Dan hasil Wawancara Tokoh Budaya juga
mengatakan bahwa Abdullah bin abdul Qahar juga mengajarkan Sanusiyah, Awaliyah, Syadziliyah, Rifa’iyah.
alim yang menguasai berbagai pengetahuan Islam. Khatib Sambas juga dikenal sebagai pendiri suatu tarekat baru yaitu tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah.
84
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan
juga Naqsyabandiyah yang telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Khatib Sambas mempunyai banyak murid yang datang dari setiap penjuru Nusantara: dari
Malaya, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Setelah ia wafat hanya seorang dari mereka yang diakui sebagai pemimpin utama dari tarekat tersebut, dia adalah
Syeikh Ahmad Abdul Karim dari Banten.
85
Sebelum didirikannya tarekat tersebut, para kiyai di Banten tidak melakukan kerja sama satu sama lain. Setiap kiyai mendirikan pesantrennya sendiri dengan
caranya sendiri, dan bersaing dengan kiayi-kiyai lainnya untuk mendapat nama sebagai ulama yang pandai.
86
Dengan kedatangan Syekh Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabndiyah menjadi populer di kalangan masyarakat Banten.
Tarekat tersebut dikatakan sebagai pendorong pemberontakan petani yang terjadi di Banten pada tahun 1888. Banten kemudian dikenal sebagai daerah yang sering
memberontak, dan dipelopori oleh tokoh-tokoh agama.
87
Pengaruh para kiyai terhadap masyarakat sangat kuat. Kesetiaan para santri kepada kiyai juga sangat tinggi, karena kiyai dianggap mempunyai kesaktian.
84
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011, h. 219.
85
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis, geografis, dan sosiologis, h. 89-92.
86
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 230.
87
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h. 27.