Implikasi Pemberian Kesempatan Pendidikan terhadap Anak Laki-laki

80 Bahkan bagi orangtua yang tidak menyekolahkan anak perempuan, anak perempuannya diajarkan bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah yang baik walaupun usianya masih muda. Selain perempuan tidak diperioritaskan dalam pendidikan karena pasca menikah ia meninggalkan keluarganya, ada pendapat lain dari orangtua yang menyampaikan keputusan menyekolahkan anak perempuan dengan konsekuensi yang merugikan anak perempuan. Fakta ini diperkuat dengan hasil wawancara yang disampaikan oleh salah satu informan orangtua: “Orangtua tetap memprioritaskan semua anak laki-laki dan perempuan untuk bersekolah namun ada konsekuensi bahwa tidak ada sedikitpun warisan beleba untuk anak perempuan.” LB, 12 April 2015 Dalam budaya Lamaholot dikenal dengan istila Beleba yang diartikan sebagai pemberian warisan oleh anak laki-laki kepada anak perempuan yang diperolehnya dari suku atau keluarga dengan waktu yang ditentukan oleh anak laki-laki warisan temporer. Setelah orangtua dan suku membagikan harta kepada anak laki-laki, ada kebijakan dari anak laki-laki untuk membagikan harta warisannya kepada anak perempuan dengan waktu yang ditentukan oleh anak laki-laki. Warisan bersifat temporer ini disebut beleba oleh masyarakt setempat dimana perempuan hanya memiliki hak pakai bukan hak milik. Konsep seperti ini sejalan dengan pendapat, informan dari orangtua yang menyampaikan bahwa : “Sebenarnya pendidikan untuk anak perempuan itu penting, namun anak perempuan berkesempatan memperoleh pendidikan jika ada 81 biaya dari luar misalnya bantuan keluarga atau b easiswa.” DK, 16 Maret 2015 Orangtua mengijinkan untuk menyekolahkan anak perempuan jika orangtua memperoleh bantuan biaya pendidikan dari luar misalnya beasiswa, atau bantuan dari keluarga lainnya. Dari hasil wawancara dan observasi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada kesenjangan antara prioritas pendidikan yang diberikan orangtua kepada anak laki-laki dan perempuan. Kesenjangan pendidikan anak laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh budaya Lamaholot yang menanamkan bahwa anak laki-laki diprioritaskan karena merupakan anak suku atau pewaris suku, sedangkan anak perempuan hanyalah pelengkap yang tidak berguna bagi keluarga dan suku pasca menikah.

2. Dampak Budaya Lamaholot terhadap Kesenjangan Gender dan

Pendidikan Anak Perempuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya Lamaholot berdampak pada kesenjangan gender antara anak laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada pendidikan anak perempuan. Berikut kesenjangan yang mempengaruhi pendidikan anak perempuan:

a. Kesenjangan Kedudukan

Dalam budaya Lamaholot, kesenjangan antara kedudukan anak laki- laki dan perempuan terlihat begitu nyata. Oleh orangtua, anak laki-laki sering dianggap anak emas sedangkan anak perempuan menjadi anak nomor dua yang sifatnya sebagai pelengkap. Kendati menjadi pelengkap, anak 82 perempuan pun dilindungi oleh keluarga karena anak perempuan merupakan aset berharga yang mampu menghasilkan harta baru bagi keluarga dan suku. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat bahwa : “Dalam budaya Lamaholot anak sangat berharga. Anak laki-laki menjadi pewaris suku dan keluarga sedangkan anak perempuan menjadi aset berharga suku dan keluarga karena mendatangkan warisan baru dari mas kawi n yang diperolehnya.” DK, 16 Maret 2015 Konsep ini didukung oleh informan dari orangtua bahwa : “Anak laki-laki menjadi anak yang diprioritaskan atau menjadi anak nomor 1. Nilai atau derajat anak laki-laki dalam budaya Lamaholot begitu tinggi dibanding anak perempuan. Anak perempuan hanyalah anak nomor 2 yang sifatnya pelengkap.” LM, 13 Maret 2015 1 Kedudukan anak laki-laki dalam masyarakat Bagi masyarakat Waipukanganak laki-laki adalah anak yang menjadi prioritas utama keluarga dan suku karena menurut adat istiadat setempat anak laki-laki kelak akan menggantikan ayahnya menjadi bagian dari suku, pemangkuh adat, penanggungjawab atas ritual adat, dan pewaris harta suku dan keluarga. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh tokoh agama : “Sebagian besar masyarakat menomorsatukan kedudukan laki-laki dengan alasan budaya karena turunan dari budaya mewariskan bahwa anak laki-laki merupakan anak suku atau pewaris suku dan penanggung jawab hidup keluarganya.” PK, 24 Maret 2015 Senada dengan pendapat di atas, salah satu orangtua dalam penelitian ini mengatakan bahwa :