Implikasi Pemberian Kesempatan Pendidikan Terhadap Anak Laki-

117 kebebasan menuntut ilmu berarti setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Sebagian besar orang tua merasa dirugikan jika menyekolahkan anak perempuan dengan alasan bahwa ketika anak perempuan menikah ia tidak lagi mempunyai andil bagi orang tuanya. Lantas adakah keuntungan bagi orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan? Tentu tidak ada. Budaya telah menggariskan demikian dan harus diamalkan. Oleh sebab itu sebagian besar masyarakat memutuskan uttuk tidak menyekolahkan anak perempuan. Anak perempuan jika ada kesempatan untuk sekolah hanya sebatas ia bisa membaca dan menulis saja. Anak perempuan kurang diperhatikan dalam pemenuhan fasilitas pendidikan dan perhatian pendidikan orang tua, misalnya pengadaan alat bantu belajar, transportasi ke sekolah, dan perlengkapan sekolah lainnya. Anak perempuan diberikan tugas rumah yang harus dikerjakan sebelum berangkat ke sekolah, menyiapkan perlengkapan sekolah tanpa bantuan orang tua dan bagi anak perempuan yang tidak diizinkan sekolah diajarkan mengerjakan pekerjaan ibu, tanpa memandang usia anak. Dengan konsep seperti ini timbul keadaan yang tidak demokratis dan ketidakadilan dalam keluarga akibat budaya Lamaholot, sejalan dengan itu Moh Roqib 2003:71 mengemukakan hal yang berbeda bahwa arti pendidikan yang demokratis dan berkeadilan adalah pendidikan yang berfungsi membebaskan manusia. Sebagian besar budaya di Indonesia meyakini bahwa kehidupan keluarga kelak berada dibawah tangan anak laki-laki, begitu pula budaya 118 Lamaholot. Oleh karena itu, pendidikan hanya diperuntukkan kepada anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan. Budaya Lamaholot yang menganut paham patriarki mempunyai warisan serupa. Anak laki-laki diprioritaskan dengan alasan menjadi penyambung kehidupan keluarga kelak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa anak perempuan pasca menikah akan meninggalkan suku dan keluarga maka anak laki- lakilah yang mempunyai tanggungjawab penuh atas kehidupan keluarga kedepannya. Hal senada juga disampaikan oleh Tilaar dan Riant Nugroho 2012:156 bahwa, masyarakat manusia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin. Kekuasaan maskulin itu diperkuat oleh berbagai mitos, tradisi, bahkan dalam agama-agama di dunia telah dimanipulasi untuk mensubordinasikan perempuan dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Seyogyanya pendidikan dan bantuan terhadap semua bidang yang menyangkut keadilan perempuan akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya Moh Roqib, 2003:69. Konsep ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang menemukan adanya konsekuensi budaya jika anak perempuan diberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Jika diberikan pendidikan anak perempuan sama sekali tidak diwariskan beleba . Beleba diartikan sebagai pemberian warisan oleh anak laki-laki kepada anak perempuan yang diperolehnya dari suku atau keluarga dengan waktu yang ditentukan oleh anak laki-laki warisan temporer. Warisan temporer tersebut diberikan kepada perempuan hanya sebagai hak pakai bukan hak 119 milik. Konsekuensi lain bahwa anak perempuan tetap disekolahkan jika ada biaya dari luar keluarga misalnya sumbangan pemerintah berupa beasiswa ataupun sumbangan dari keluarga terdekat. Konsep ini senada dengan yang disampaikan oleh Tilaar dan Riant Nugroho 2012:156, bahwa dengan melihat kedudukan dan peranahn strategis dari seorang ibu dalam proses pendidikan, maka sudah sewajarnya apabila peranan perempuan dalam proses pendidikan dan dalam hidup bermasyarakat seharusnya mendapatkan tempat yang sewajarnya.

2. Dampak Budaya Lamaholot Terhadap Kesenjangan Gender dan

Pendidikan Anak Perempuan a. Kesenjangan Kedudukan Budaya Lamaholot menurunkan adanya perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan di desa Waipukang. Sejumlah asumsi masyarakat mendiskreditkan kedudukan perempuan sebagai bagian yang terendah dari laki-laki. Anak laki-laki oleh masyarakat setempat dipandang sebagai subjek penting dalam penentuan keputusan dengan menimbang kedudukannya yang strategis dalam suku maupun dalam keluarga. Hal yang serupa ini disampaikan oleh Jane C. Ollenburger 1996:1 bahwa wanita sebagai objek studi yang banyak diabaikan. Hanya di bidang perkawinan dan keluarga ia dilihat keberadaannya. Kedudukannya dalam sosiologi, dengan kata lain, bersifat tradisional sebagaimana ditugaskan kepadanya oleh masyarakat yang lebih besar bahwa tempat kaum wanita adalah di rumah. 120 Oleh orangtua anak laki-laki sering dianggap sebagai anak emas, sedangkan anak perempuan menjadi anak nomor dua yang sifatnya sebagai pelengkap. Kendati menjadi pelengkap, anak perempuan pun dilindungi oleh keluarga karena anak perempuan merupakan aset berharga yang mampu menghasilkan harta baru bagi keluarga dan suku. Dengan demikian kedudukan wanita hanya sebatas sebagai pelengkap yang mampu mengurus keluarga sebelum ia menikah. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Jane C. Ollenburger 1996:5 bahwa wanita acap kali dianalisis dalam hubunganya dengan kedudukan mereka di masyarakat yaitu fungsi mereka di dalam keluarga. 1 Kedudukan anak laki-laki dalam masyarakat Laki-laki dalam budaya Lamaholot diberikan kedudukan dengan porsi yang sangat besar dibanding perempuan. Bagi masyarakat Waipukanganak laki-laki adalah anak yang menjadi prioritas utama keluarga dan suku karena menurut adat istiadat setempat anak laki-laki kelak akan menggantikan ayahnya menjadi bagian dari suku, pemangkuh adat, penanggungjawab atas ritual adat, dan pewaris harta suku dan keluarga. Konsep ini didukung oleh Jane C. Ollenburger 1996:14 yang menyampaikan bahwa peran-peran jenis kelamin dalam tradisi sosiologi berpusat pada dunia laki-laki sedangkan kedudukan wanita ada di dalam lingkungan patriarki ini. Anak laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi karena anak laki menjadi pewaris semua kepentingan suku mulai dari ritual