Perubahan cakupan Tata kelola layanan 2.4 Pembahasan

a. Perubahan cakupan

Fokus evaluasi dari sisi kinerja layanan adalah untuk menilai sejauh mana intervensi yang dilakukan memberikan pengaruh terhadap cakupan layanan dengan cara membandingkan antara situasi 3 bulan sebelum intervensi dilakukan Mei – Juli 2014 dengan cakupan selama intervensi dilaksanakan Agustus – Oktober 2014 untuk Kota Yogyakarta. Kota Semarang dilaksanakan pada bulan September – November 2014.

b. Tata kelola layanan

Intervensi yang dilakukan pada dasarnya merupakan upaya memperkuat tata kelola layanan yang strategis melalui koordinasi antar pihak dan peningkatan kapasitas teknis dari penyedia layanan sehingga fokus dari evaluasi ini adalah melihat seberapa jauh intervensi ini telah mampu mewujudkan layanan yang komprehensif dan berkelanjutan. Hal-hal yang dilihat dalam aspek tata kelola adalah: a. Koordinasi • Manfaat dari pertemuan koordinasi para pemangku kepentingan LKB yang telah dilakukan; • Persepsi tentang perubahan jam layanan terhadap layanan yang diberikan; • Persepsi tentang pemanfaatan data sharing; • Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati b. Kapasitas penyedia layanan • Pemahaman tentang materi • Persepsi tentang metode pelatihan • Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil pelatihan

c. Kepuasan Pasien

Evaluasi ini juga mencoba untuk melihat dampak intervensi terhadap kepuasan pasien setelah dilakukannya intervensi. Aspek kepuasan pasien yang dilihat adalah prosedur 69 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang layanan, kemudahan mengakses layanan, sikap penyedia layanan, kenyamanan dan kerahasian pasien ketika memanfaatkan layanan saat ini.

4.3.3. Pengumpulan Data

Perubahan cakupan, dilihat dari data sekunder yang bersumber dari puskesmas dan rumah sakit. Data yang berasal dari puskesmas mengenai cakupan VCT, PITC dan IMS. Sedangkan data sekunder dari rumah sakit melingkupi data VCT, PITC dan CST. a. Tata kelola layanan dilihat dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan penanggung jawab unit layanan dan peserta yang mengikuti pelatihan. Yang menjadi informan dari Kota Yogyakarta adalah • Penanggung jawab unit layanan : Kepala Puskesmas Gedong Tengen, 2 direktur rumah sakit RS PKU Muhammadiyah dan RSUD Kota Yogyakarta. • Peserta pelatihan : laboran RS PKU Muhammadiyah, konselor dan bidan Puskesmas Gedong Tengen, perawat RSUD Kota Yogyakarta. Sedangkan yang menjadi informan dari Kota Semarang adalah • Penanggung jawab unit layanan : Dokter Penanggung Jawab Layanan HIV Puskesmas Poncol, Dokter Penanggung Jawab Layanan HIV RS Daerah Tugu Rejo, penanggung jawab Klinik TB BKPM. • Peserta pelatihan : dokter umum Puskesmas Poncol, paramedis Puskesmas Poncol, LSM Kalandara, dan paramedis Puskesmas Ngaliyan. b. Kepuasan pasien diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh informan untuk mengetahui kepuasan pelayanan. Untuk Kota Yogyakarta, lokasi pengambilan data ini dilakukan di CD Bethesda pada tanggal 5 Januari 2015 18.00 -20.00 WIB dengan informan sebanyak 7 orang pasien HIV positif, dan 1 orang pasien HIV positiv yang ditemui di rumahnya. Sedangkan untuk Kota Semarang, pengambilan data dilakukan di warung kopi Hans Kopi pada tanggal 15 Januari 2015 14.00–19.00 WIB dengan informan yang terdiri dari 6 orang pasien HIV positif. 70 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang

4.3.4. Hasil Evaluasi

Sesuai dengan disain intervensi yang telah disebutkan di atas, aspek-aspek yang dilihat dari evaluasi ini adalah

4.3.4.1. Perubahan cakupan 1

Cakupan layanan VCT pada fasyankes Primer Grafik 38: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 39: Cakupan layanan VCT di Puskesmas Kota Yogyakarta 291 73 99 48 54 565 157 124 80 43 67 471 PKM Gedong Tengen PKM Tegalrejo PKM Umbulharjo I PKM Mergangsan PKM Mantrijeron Total Sebelum Intervensi Mei - Juli Sesudah Intervensi Agustus - Oktober 83 89 172 PKM Halmahera PKM Poncol Total Sebelum intervensi Juni-Agustus Selama Intervensi September - November 71 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Jika dilihat dari cakupan layanan VCT di puskesmas periode selama intervensi Agustus- Oktober dibandingkan sebelum intervensi tidak menunjukkan perbaikan. Hanya Puskesmas Tegalrejo yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, karena disumbang oleh layanan mobile VCT. Kondisi serupa juga terjadi di Kota Semarang, dimana terjadi lonjakan pada bulan pertama periode selama intervensi September karena disumbang oleh layanan mobile VCT. Hal ini terjadi kemungkinan karena membaiknya kerjasama dengan LSM dan KDS. 2 Cakupan layanan PITC pada fasyankes primer Grafik 40: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Yogyakarta Dari grafik di atas, kecenderungan layanan PITC di hampir semua puskesmas di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang selama intervensi, menunjukkan kenaikan pada bulan ke 59 138 163 161 65 586 105 196 109 148 146 704 PKM Gedong tengen PKM Tegal Rejo PKM Umbul Harjo I PKM Mergangsan PKM Mantrijeron Total Sebelum Intervensi Mei-Juli Sebelum Intervensi Agustus-Oktober 37 6 43 43 61 3 107 PKM Halmahera PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total Sebelum Intervensi Juni-Agustus Selama Intervensi September-November Grafik 41: Cakupan layanan PITC di Puskesmas Kota Semarang 72 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang dua, tetapi kemudian menurun pada bulan ke 3, hanya Puskesmas Tegalrejo dan Puskesmas Lebdosari yang menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi. Ada kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan ikut menyumbang kenaikan cakupan PITC karena pemahaman tentang PITC semakin baik. Angka kenaikan cakupan layanan PITC tersebut, disumbang oleh jumlah ibu hamil dan pasien IMS . 3 Cakupan layanan IMS pada fasyankes primer Kota Yogyakarta 74 62 119 71 26 352 45 63 142 96 23 369 PKM Gedong Tengen PKM Tegal Rejo PKM Umbul Harjo I PKM Mergangsan PKM Mantrijeron Total Sebelum Intervensi Mei - Juli Selama Intervensi Agustus-Oktober 3 6 445 8 462 36 477 14 527 PKM Halmahera PKM Poncol PKM Lebdosari PKM Bandarharjo Total Sebelum Intervensi Juni-Agustus Selama Intervensi September-November Grafik 42: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Yogyakarta Grafik 43: Cakupan layanan IMS di Puskesmas Kota Semarang 73 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Gambaran layanan IMS di seluruh puskesmas Kota Yogyakarta tampak tidak stabil, masih pasang surut pada periode selama intervensi, tetapi 4 Puskesmas di Kota Semarang menunjukan sedikit peningkatan. Hal ini kemungkinan karena layanan IMS sangat tergantung pada kunjungan aktif pasien maupun dukungan dari LSM dan KDS. Layanan IMS juga sangat tergantung pada kemampuan petugas laboratorium, dimana pada intervensi kali ini belum semua tenaga analis di puskesmas diikutkan, dan materi khusus untuk pemeriksaan laboratorium IMS belum diberikan. 4 Cakupan layanan PITC pada fasyankes sekunder Grafik 44: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta Grafik 45: Cakupan layanan PITC di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang 474 40 35 549 446 77 30 553 RS Panti rapih RS PKU Muhammadiyah RSUD Kota Yogyakarta Total Sebelum Intervensi Mei-Juli Selama Intervensi Agustus-Oktober 7 90 97 6 218 224 RS Elisabeth RS BKPM Total Sebelum Intervensi Juni-Agustus Sesudah Intervensi Septmber-November 74 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Pada cakupan layanan PITC, ada 3 rumah sakit di Kota Yogyakarta yang secara umum menunjukkan konsistensinya dalam layanan PITC, bahkan RSUD Kota Yogyakarta sudah menunjukkan peningkatan. Untuk Kota Semarang, 3 rumah sakit yaitu RSUD Kota Semarang, RS Tugurejo dan RS Panti Wiloso Citarum sama sekali tidak menunjukkan aktivitas layanan PITC meskipun sudah dilakukan intervensi. Dalam hal layanan PITC, memang sangat dibutuhkan komitmen dari pihak penentu kebijakan untuk mau melaksanakan PITC sebagai bagian dari layanan rutin di semua layanan spesialistik. Sebagai gambaran bahwa RS Panti Rapih dan RS Elisabeth menunjukkan cakupan yang cenderung tinggi karena ada kebijakan dari direktur rumah sakit, bahwa seluruh layanan harus menjalankan PITC, bukan sekedar untuk mengejar target, tetapi sebagai kewaspadaan untuk keamanan pasien maupun keamanan penyedia layanan. 5 Cakupan layanan VCT pada fasyankes sekunder 29 78 107 24 24 48 RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah Total Sebelum Intervensi Mei-Juli Selama Intervensi Agustus-Oktober 7 18 177 165 22 389 39 16 251 209 14 529 RS Elisabeth RSUD Kota Semarang RS Tugurejo RS Panti Wiloso Citarum RS BKPM Total Sebelum Intervensi Juni-Agustus Selama Intervensi September - November Grafik 47: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Yogyakarta Grafik 46: Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan CST Kota Semarang 75 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Cakupan layanan VCT di rumah sakit rujukan Kota Yogyakarta hanya diperoleh dari RS Panti Rapih dan RS PKU Muhammadiyah, karena 2 rumah sakit yang lain, yaitu RS Bethesda dan RSUD Kota Yogyakarta tidak memiliki data layanan VCT. Di RS Bethesda memiliki kecenderungan fokus pada layanan CST, sedangkan RSUD Kota Yogyakarta belum cukup lama melaksanakan layanan HIV, sehingga belum tampak kerjasama dengan pihak LSM maupun KDS. Tetapi untuk Kota Semarang, seluruh rumah sakit rujukan CST telah memiliki laporan layanan VCT. Dari gambar tampak bahwa layanan VCT di RS Kota Yogyakarta dan Kota Semarang mengalami penurunan baik sebelum maupun selama periode intervensi, terutama RS PKU Muhammadiyah yang sebenarnya merupakan rumah sakit rujukan LKB Kota Yogyakarta. Sedangkan Kota Semarang, RSUD Kota Semarang sebagai rumah sakit rujukan LKB Kota Semarang justru cenderung meningkat selama periode intervensi, meskipun masih sangat sedikit. Kemungkinan bahwa intervensi yang dilakukan mampu meningkatkan kerjasama antara RSUD Kota Semarang dengan pihak LSM sebagai partner dalam layanan LKB HIV-IMS. 6 Cakupan layanan CST pada fasyankes sekunder 1000 280 3 1283 1033 295 14 1342 RS Panti Rapih RS PKU Muhammadiyah RSUD Kota Yogyakarta Total Sebelum Intervensi Mei - Juli Selama Intervensi Agustus-Oktober Grafik 48: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta 76 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Dilihat dari cakupan CST di seluruh rumah sakit rujukan di Kota Yogyakarta maupun Kota Semarang, menunjukkan kecenderungan peningkatan sejak 3 bulan sebelum intervensi sampai 3 bulan selama intervensi. Peningkatan ini mungkin karena adanya intervensi atau karena setiap bulan selalu ada pasien HIV yang masuk dalam kondisi harus diobati, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit rujukan.

4.3.4.2. Koordinasi 1

Manfaat pertemuan koordinasi pemangku kepentingan LKB Pertemuan koordinasi merupakan hal penting, karena menjadi media untuk transfer informasi dan memperkuat komitmen antar tim LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Manfaat pertemuan koordinasi ini, menurut salah satu pemangku kepentingan di Kota Yogyakarta, untuk membangkitkan kepemilikan dan komitmen bahwa LKB ini penting bagi para pelaku di unit-unit layanan. “Koordinasi ini membangkitkan rasa bahwa LKB ini penting. Ini harus diulang terus untuk membangkitkan komitmen, permasalahannya selama ini bersifat internal. Yang dikirim berangkat orangnya ganti-ganti. Kesalahan kita juga pemilihan orang yang ditugaskan tidak tepat. Orang yang ditugaskan hanya mendengar tetapi tidak mendengarkan. Ada juga orang tahu tentang LKB tetapi 73 32 444 699 144 1392 86 39 444 704 244 1517 RS Elisabeth RSUD Kota Semarang RS Tugurejo RS Panti Wiloso Citarum RS BKPM Total Sebelum Intervensi Juni - Agustus Selama Intervensi September - November Grafik 49: Cakupan CST di rumah sakit rujukan di Kota Semarang 77 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang tidak mau berkomentar…. Tidak semua kepala Puskesmas kalau ada undangan koordinasi bisa hadir…” TK, PKM GT, YK. Koordinasi yang dilakukan selama intervensi ini juga bermanfaat sebagai sosialisasi LKB sehingga informasi dapat terdiseminasi di kalangan yang lebih luas. Melalui forum koordinasi, sharing pengalaman serta capaian yang dimiliki oleh masing-masing layanan, memberikan motivasi untuk melakukan perbaikan layanan di masa mendatang. Lebih jauh manfaat dari pertemuan koordinasi adalah memungkinkan untuk melacak dan mengetahui kemajuan pasien yang dirujuk atau berpindah layanan. “...BKPM selama ini melakukan kolaborasi dengan Dinas Kesehatan Kota, berkolaborasi dengan KPA, itu sudah kita lakukan, kemudian berkolaborasi dengan rumah sakit rujukan, misalnya dalam hal ini rumah sakit Kariadi, dan juga kolaborasi dengan temen-temen yang ada di layanan yang lain...karena apa? Kepentingan kita adalah melaksanakan laporan kasus...” U, RS BKPM. Hasil nyata yang tampak dari pertemuan koordinasi di kedua kota ini adalah munculnya kesepakatan mekanisme rujukan antar fasyankes yang dikuatkan dengan surat kesepakatan kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota dan rumah sakit rujukan. Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyanakes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Perjanjian kerja sama ini dapat mendorong pelaksanaan rujukan balik yang belum berjalan secara optimal. Perjanjian kerjasama ini menjadi dokumen yang mengikat dalam waktu 5 tahun untuk Kota Semarang dan Kota Yogyakarta dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. 2 Persepsi tentang perubahan jam operasional layanan Menindaklanjuti salah satu kesepakatan yang diperoleh pada saat pertemuan koordinasi mengenai penambahan jam operasional layanan untuk HIV, maka RS PKU Muhammadiyah kemudian melakukan perubahan mendasar dalam jam layanan dari sebelumnya 2 kali seminggu menjadi 6 kali dalam 1 minggu. Perubahan ini berdampak pada akses layanan yang lebih luas bagi ODHA yang mengakses layanan di RS PKU Muhammadiyah. Untuk Kota Semarang, hampir semua fasyankes sekunder sudah memberikan pelayanan HIV dan IMS setiap hari kerja seperti pada jenis penyakit-penyakit umum lainnya, maka hal ini tidak menjadi bagian dari surat perjanjian kerjasama antara fasyankes sekunder dengan Dinas Kesehatan Kota Semarang. 78 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang 3 Persepsi tentang pemanfaatan sharing data Terkait dengan sharing data, karena hal ini menyangkut aspek kerahasiaan konfidensialitas yang harus tetap terjaga, maka asalkan sharing data tersebut dilakukan untuk mengembangkan kebijakan atau menunjang layanan pasien ODHA, maka sharing data boleh dilakukan. Sharing data yang selama ini sudah berjalan adalah pelaporan data cakupan layanan dari puskesmas atau rumah sakit kepada Dinas Kesehatan, baik di Kota Yogyakarta maupun Kota Semarang. Persepsi tentang pemanfaatan sharing data ini memang menjadi diskusi yang cukup menarik, khususnya dalam menjaga hak konfidensialitas pasien. Karena ada beberapa persepsi tentang apa yang dimaksud datainformasi, apakah informasi data pasien atau data terkait dengan cakupan layanan ODHA, data trends dan prevalensi HIV dan AIDS. Namun demikian yang terjadi selama ini adalah sharing data cakupan layanan dalam bentuk laporan. Mekanisme ini sudah diatur terkait dengan penjadwalan dan teknis pengiriman laporan. 4 Persepsi mekanisme rujukan yang disepakati Sistem rujukan sudah dilakukan secara berjenjang dari fasyankes primer, fasyankes sekunder dan tersier. Sebenarnya mekanisme rujukan ini sudah berjalan tetapi belum optimal seperti proses rujukan balik yang tidak pernah dilakukan. Proses rujukan selama ini lebih bersifat searah dan berjenjang dari fasyankes primer ke fasyankes sekunder atau tersier. Mekanisme rujukan sudah berjalan sebelum proses intervensi seperti yang terjadi di Kota Semarang. RS Tugu mendapatkan rujukan untuk melakukan CST ADHA Anak dengan HIVAIDS dari RS Elizabeth. Pengalaman di fasyankes primer di Yogyakarta ada yang memahami bahwa rujukan itu ada juga yang bersifat internal antar unit. “Rujukan internal terjadi seperti ketika kami dari tenaga medis bukan dokter menemukan kasus HIV dan AIDS. Maka untuk proses pengobatan harus dirujuk ke Dokter. Karena perawat atau bidan tidak mempunyai wewenang untuk memberikan CST seperti diatur dalam prosedur dan etik profesi “ Y, PKM GT, YK. Lebih lanjut pengertian rujukan ini juga dapat terjadi antara fasyankes primer secara horisontal ketika menemukan kasus HIV dan AIDS tetapi tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan layanan VCT. Mekanisme rujukan ini dipandang dapat mempermudah akses 79 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang dimana pasien memang mau dilayani seperti ditegaskan oleh Kapus Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta.

4.3.4.3. Kapasitas penyedia layanan 1

Pemahaman tentang materi Pemahaman materi pelatihan peningkatan kapasitas para pelaku LKB di kedua kota mengalami peningkatan seperti tampak dalam hasil pre dan post test di kedua kota yang dilakukan secara langsung pada saat pelatihan. Manfaat pengetahuan ini dirasakan oleh para tenaga medis dan non medis di kedua kota dalam pelayanan keseharian kepada pasien, karena materi yang diberikan berkaitan erat dengan tugas-tugas keseharian yang mereka lakukan. Dari peserta yang diwawancarai di Kota Yogyakarta dapat mengingat materi yang diberikan dan merasakan pentingnya peningkatan pengetahuan untuk kepercayaan diri dalam menghadapi pasien dengan pendidikan yang cukup tinggi seperti pernyatan berikut: “Pelatihan yang dilakukan memberikan pengetahuan terkait dengan mekanisme jejaring LKB dan penyakit yang bermanfaat untuk semakin meningkatkan kepercayaan diri dalam memberikan layanan khususnya ketika menghadapi pasien yang berpendidikan tinggi. ” P, PKM GT, YK. Secara lebih khusus manfaat pengetahuan HIVAIDS secara komprehensif ini terkait langsung dalam meningkatkan kepekaan dan mengurangi diskriminasi pada para tenaga kesehatan seperti yang diungkapkan oleh seorang tenaga kesehatan berikut: “Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi kami. Pengetahuan HIV dan AIDS ternyata belum semua tenaga medis memiliki, seperti yang kami temui baru saja. Ada pasien kami yang ditolak oleh Rumah Sakit untuk memberikan layanan setelah mengetahui setatusnya dan kemudian mengembalikan ke kami. Perlakuan ini sangat diskriminatif. Sebagian dari tenaga kesehatan sendiri masih berperilaku yang diskriminatif kepada ODHA.” Y, PKM GT, YK. Materi tentang PITC dan Infeksi Oportunistik, semakin meningkatkan pengetahuan bagi peserta untuk lebih jeli dalam mengidentifikasi pasien dengan keluhan tertentu sehingga memiliki dasar yang kuat untuk merujuk pasien melakukan tes HIV. “Materi yang dijelaskan oleh Pak Muchlis tentang PITC , yaitu dorongan test HIV dari petugas itu ya?.. sangat berpengaruh sekali.... ada tambahan pengetahuan 80 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang dan membantu untuk mendorong pasien melakukan test HIV ..” S, PKM P, SMG. Peserta yang lain juga menjelaskan bahwa pelatihan yang dilakukan memberikan pemahaman tentang LKB : “......sebetulnya kalau yang saya tangkap juga LKB sendiri kan sebetulnya itu bisa mendukung program HIV khususnya di kota Semarang. Karena dengan adanya LKB kita yang pelaksana program HIV itu juga terbantu yang sebelumnya nggak ada layanan tapi karena sudah terbentuk LKB jadi tersistem layanannya...” P, LSM, SMG 2 Persepsi tentang metode pelatihan Permasalah yang paling disoroti terkait metode pelatihan adalah soal waktu yang sangat singkat seperti pelatihan di Kota Yogyakarta, hanya dilakukan selama 2 hari, sementara di Kota Semarang hanya 1 hari saja. Peserta melihat waktu untuk pelatihan terlalu singkat dengan bobot materi yang diberikan, metode lebih banyak menggunakan model ceramah dan diskusi. Tidak banyak menggunakan simulasi. Waktu yang singkat ini memang tidak terlepas dari kesepakatan antara tim peneliti dengan ketersediaan waktu para pemangku kepentingan, baik di Kota Semarang maupun di Kota Yogyakarta. Meski waktu yang disepakati singkat, berbeda dengan pelatihan LKB dari Dinas Kesehatan Provinsi yang lebih panjang, akan tetapi cukup efektif memberikan ‘penyegaran’ pengetahuan bagi pada nakes maupun non nakes yang menjadi peserta. Sebagian besar peserta adalah mereka yang sudah mengetahui LKB, meskipun ada juga yang baru pertama mendapatkan pelatihan. Singkatnya waktu pelatihan menjadikan beberapa peserta merasa bosan dan kurang memahami materi yang disampaikan, apalagi jika hanya paparan saja. 3 Persepsi tentang perubahan layanan sebagai bentuk pemanfaatan hasil pelatihan Pengalaman perubahan yang dirasakan setelah mengikuti pelatihan berupa pemanfaatan pengetahuan bagi pelayanan, seperti ketrampilan melakukan pemeriksaan VCT secara mandiri di Puskesmas Poncol dan Lebdosari di Kota Semarang. Awalnya kedua puskesmas ini belum dapat melakukan pemberian layanan VCT. Perubahan tersebut terjadi pada awal Bulan Oktober dan November 2014 setelah proses pelatihan pada bulan September 2014. 81 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Selama ini jika ada pasien yang memerlukan VCT, maka kemudian dirujuk ke fasyankes lain atau memangil SDM dari jejaring kerja. “sekitar Bulan Oktober atau Nopember an,kami di Puskesmas Ngaliyan sudah dapat melakukan pemeriksaan VCT, dengan menggunakan reagen yang diperoleh dari dinas kesehatan. Sebelumnya kami melakukan VCT dengan bekerjasama dengan Lapas Kedung Pane dan Rumah Sakit Tugurejo.” S, PKM NG, SMG Penjaringan terhadap pasien HIV menjadi lebih terbantu karena adanya penjelasan terkait dengan infeksi oportunistik. Pengetahuan penyakit yang mengiringi setelah orang terkena HIV menjadi materi yang penting bagi peserta sehingga kemampuan melakukan penjaringan dan penjangkauan lebih baik. Meskipun demikan, terdapat peserta yang memandang bahwa ada kesenjangan antara teori dengan implementasinya. “Secara teori materi yang disampaikan sangat berguna, namun dalam implementasi belum tentu sesuai dengan teori yang disampaikan, disesuaikan dengan situasi di layanan maupun pasien. Semisal pasien dengan anamnesis berperilaku beresiko, belum tentu mau untuk dirujuk melakukan VCT.“ S, PKM NG, SMG. Sementara untuk Kota Yogyakarta, bentuk perubahan pemanfaatan hasil pelatihan adalah pengetahuan dasar HIVAIDS sebagai konselor untuk mendorong dan menyakinkan klien untuk mau melakukan tes VCT dengan lebih percaya diri. ”Yang berubah dalam cara memberikan layanan adalah lebih berhati-hati terhadap penanganan sampel dan pasien IMS yang potensial terkena HIV dideteksi lebih awal” L, PKM MG, YK

4.3.4.4. Perubahan pada kualitas layanan

Kesan yang ditangkap oleh pemanfaat layanan khususnya di Kota Semarang, tidak menunjukkan adanya perubahan yang cukup berarti. Layanan yang selama ini diakses oleh pasien dirasakan sangat membantu dan ramah. Dari sejumlah pasien yang ditemui sebagian menyatakan mayoritas mengatakan bahwa mereka mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan serta kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan. Hal ini didukung dengan kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan HIV. Akses terhadap obat jauh lebih dipermudah dengan adanya kegiatan kelompok dukungan yang difasilitasi oleh rumah sakit setiap bulannya. Tidak cukup banyak waktu yang diluangkan oleh pasien 82 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang untuk mengakses layanan obat. Terkait dengan isu diskriminasi, informan menyatakan belum pernah ada perbedaan perlakuan dari fasyankes maupun dari tenaga kesehatan dalam pemberian layanan. Terkait dengan pembiayaan, obat HIV dapat diperoleh secara gratis, namun demikian untuk pengobatan tertentu yang berhubungan dengan HIV, masih berbayar tapi harganya masih terjangkau oleh pasien. Secara umum kesan terhadap kualitas layanan cukup berbeda meskipun tidak cukup signifikan di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Di Kota Yogyakarta persoalan perlakuan yang berbeda dalam mengakses layanan dirasakan oleh pasien yang ditemui. Persoalan dengan banyaknya waktu yang harus dilakukan untuk mengakses layanan terutama dalam mendapatkan obat di farmasi. Penilaian atas masing-masing variabel oleh pasien yang ditemui di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang tampak pada tabel berikut : Tabel 3: Penilaian Kualitas Layanan No Variabel Kota Semarang Yogyakarta 1 Menurut pandangan Anda, seberapa jauh kemudahan prosedur memperoleh pelayanan HIV dan IMS di sini? 3.5 3.2 2 Seberapa jauh anda menilai apakah persyaratan untuk memperoleh pelayanan HIV dan IMS di layanan ini sesuai dengan informasi yang anda peroleh? 3 2.9 3 Seberapa jauh anda memperoleh kejelasan tentang pelayanan yang anda butuhkan dari fasilitas kesehatan ini? 3.3 2.7 4 Menurut pandangan Anda, seberapa cepat petugas dalam memberikan pelayanan kepada anda?

3.3 2.4

5 Menurut pandangan anda, seberapa membantu petugas dalam memberikan pelayanan kepada anda? 3.8 3.4 6 Menurut penilaian anda, bagaimana kemampuan petugas di fasilitas kesehatan ini dalam memberikan pelayanan HIV atau 3.7 3.5 83 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang No Variabel Kota Semarang Yogyakarta IMS kepada pasien anda? 7 Seberapa sesuai waktu yang disediakan untuk pelayanan HIV atau IMS di fasilitas kesehatan ini? 3.2 2.7 8 Menurut anda, apakah prosedur untuk memperoleh pelayanan untuk HIV atau IMS ini sama dengan prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lain? 3.5 3.5 9 Bagaimana pendapat Anda, bagaimana perlakuan petugas fasilitas kesehatan ini terhadap anda? 3.1 3.1 10 Menurut Anda, apakah untuk memperoleh layanan HIV atau IMS anda perlu membayar? 2 1.9 11 Menurut Anda, bagaimana penilaian anda tentang kenyamanan anda untuk memanfaatkan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan ini?

3.2 2.7

12 Bagaimana penilaian Anda tentang kerahasian anda sebagai pasien di fasilitas kesehatan ini?. 3 3.2 Rata-rata 3.2 2.9 Keterangan : 1 : Kurang Baik 2 : Cukup Baik 3 : Baik 4: Sangat Baik Penilaian pasien terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh fasyankes yang menjadi jaringan LKB mencakup 4 aspek yaitu 1 aksesibilitas yang dinilai melalui pertanyaan 1 dan 2; 2 kapasitas petugas yang dilihat melalui pertanyaan nomer 3,4, 5, 6, dan 9; 3 kepastian layanan yang diukur melalui pertanyaan nomer 7, 8 dan 10; 4 keamanan pasien yang dilihat melalui pertanyaan nomer 11 dan 12. Dari keempat dimensi kualitas layanan yang dinilai oleh pasien, dimensi kapasitas tenaga kesehatan di unit-unit layanan jaringan LKB 84 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang memperoleh penilaian yang paling tinggi antara baik hingga sangat baik di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Di kedua kota, dimensi kepastian layanan memperoleh nilai yang paling rendah cukup baik – hingga baik dibandingkan dengan dimensi-dimensi yang lain. Sementara untuk dimensi lain, pasien menilai pada tingkat kualitas baik. Meskipun demikian, secara rata-rata, pasien di Kota Semarang menilai kualitas layanan pada tingkat baik 3,2 sedangkan pasien di kota Yogyakarta menilai kualitas layanan pada tingkat cukup baik 2.9.

4.3.5. Kesimpulan Evaluasi

Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh efektivitas intervensi yang telah disepakati oleh fasyankes dalam jaringan LKB di Kota Semarang dan Kota Yogyakarta mampu berkontribusi terhadap pencapaian tujuan penelitian yaitu peningkatan hasil outcome layanan dalam masa intervensi. Hasil ini dilihat dari perbedaan antara cakupan layanan VCT, PITC dan IMS sebelum dan selama intervensi dilakukan. Hasil intervensi juga dilihat dari manfaat yang diperoleh dari koordinasi yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam jaringan LKB di kota. Seberapa jauh petugas kesehatan mampu meningkatkan pengetahuan tentang layanan yang disediakan dan seberapa juah mereka menerapkan pengetahuan tersebut dalam kegiatan pelayanan sehari-hari juga merupakan hasil layanan yang diukur dalam penelitian ini. Terakhir, dari sisi pasien, hasil intervensi juga dilihat melalui kepuasan pasien dalam mengakses layanan di fasyankes dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan empat indikator efektivitas intervensi seperti digambarkan di atas, hasil evaluasi intervensi di kedua kota menunjukkan bahwa: 1. Secara umum, fasyankes baik primer dan sekunder dalam jaringan LKB di kedua kota menunjukkan adanya peningkatan cakupan layanan VCT, PITC dan IMS dengan variasi perubahan cakupan di masing-masing fasyankes. 2. Koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan atau KPAD telah memberikan perubahan pada kebijakan hal ini penting dalam pelaksanaan layanan HIV dan IMS mekanisme rujukan dan jam layanan dan komitmen serta kepemilikan yang lebih besar dari fasyankes dan pemangku kepentingan LKB lainnya KDS, LSM, kader untuk mendukung dan mengintensifkan layanan VCT, PITC dan IMS di masing-masing 85 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang fasyankes. Demikian pula, koordinasi antar penyedia layanan dan pemangku kepentingan dipersepsikan telah menjadi ruang untuk saling berbagi informasi untuk memastikan pelayanan yang berkelanjutan bagi pasien ODHA. 3. Peningkatan kapasitas petugas fasyankes dan pemangku kepentingan lain KDS, LSM dan kader dinilai telah memberikan penyegaran kembali dan penguatan atas pengetahuan yang mereka miliki dan telah menjadi rujukan di dalam memberikan pelayanan bahkan telah mendorong untuk menyediakan layanan yang selama ini belum diberikan VCT di puskesmas 4. Pasien yang telah memanfaatkan layanan kesehatan di fasyankes yang ada dalam jaringan LKB di kedua kota menilai bahwa layanan yang disediakan oleh fasyankes yang telah mereka kunjungi dalam 3 bulan terakhir memiliki kualitas yang relatif baik antara cukup baik hingga baik. Penilaian ini didasarkan pada persepsi bahwa dalam memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan mereka relatif tidak menghadapi hambatan, dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas yang baik dan adanya perlindungan keamanan sebagai pasien kenyamanan dan kerahasiaan. Sementara itu, dimensi yang masih tampak belum optimal, menurut penilaian pasien, adalah adanya kepastian layanan khususnya terkait dengan pembiayaan.

4.4. Pembahasan

Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dengan strategi LKB merupakan upaya untuk mewujudkan akses universal bagi masyarakat agar bisa mengakses layanan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan. Demikian pula, strategi ini diharapkan bisa menjamin deteksi dini terhadap penularan HIV agar bisa dilakukan pengobatan sedini mungkin dan menghindarkan dari dampak penyakit yang lebih berat. Strategi ini menekankan pada upaya integrasi secara fungsional berbagai layanan HIV dan AIDS serta IMS yang disediakan baik oleh masyarakat maupun layanan kesehatan primer dan sekunder sehingga memungkinkan tersedianya layanan kesehatan paripurna yang komprehensif dan terpadu. LKB sudah dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia hingga saat ini sebagai strategi untuk memperkuat strategi yang telah berjalan. Meski demikian, belum ada pembelajaran 86 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang sistematis yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan penerapan strategi ini di tingkat lapangan. Penelitian operasional yang dilaksanakan di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang diharapkan bisa mengungkapkan berbagai faktor yang menjadi kendala dan pendukung implementasi dari strategi ini sehingga hasilnya bisa digunakan untuk memperkuat pelaksanaan strategi LKB di masa depan. Hasil baseline assessment yang dilakukan pada tahap awal penelitian ini menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam pelaksanaan LKB di kedua kota adalah ketidakjelasan disain integrasi strategi LKB ke dalam pelayanan yang tersedia, ketidaksiapan faskes yang ditunjuk sebagai simpul-simpul jaringan LKB puskesmas dan rumah sakit rujukan khususnya tenaga kesehatannya dan lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan di tingkat kota seperti LSM, Kelompok Dukungan Sebaya KDS, Dinas Kesehatan, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah. Ketiga permasalahan dasar ini pada akhirnya dinilai menjadi penyebab belum optimalnya layanan HIV dan AIDS di masing-masing kota. Hal ini tampak pada rendahnya cakupan untuk layanan VCT, PITC, pengobatan dan perawatan IMS dan layanan terapi ART. Berbagai faktor yang menghambat efektivitas pelaksanaan strategi LKB tersebut yang kemudian menjadi fokus intervensi dalam penelitian ini. Asumsi dasar yang digunakan dalam pengembangan intervensi adalah bahwa efektivitas penyediaan layanan ini sangat tergantung kerja sama dalam bentuk rujukan atau pendataan klien antar penyedia layanan yang berbeda baik KDS, LSM, puskesmas maupun rumah sakit rujukan. Demikian pula, kerja sama ini hanya akan dimungkinkan jika otoritas kesehatan di wilayah itu yaitu Dinas Kesehatan dan koordinator penanggulangan di wilayah setempat Komisi Penanggulangan AIDS Daerah ada kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan kerja sama lintas lembaga penyedia layanan. Kemauan dan kemampuan dari dinas kesehatan dan KPAD sebagai penggerak upaya kesehatan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh kewenangan yang dimilikinya dalam pelaksanaan strategi ini mengingat inisiatif dari penerapan strategi LKB ini berasal dari Kementerian Kesehatan. Seberapa besar sumber daya pendanaan, sumber daya manusia, metode yang dialokasikan dan seberapa jauh pemahaman dinas kesehatan dan KPAD terhadap strategi LKB ini menjadi 87 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang penting untuk melihat ‘kewenangan’ mereka untuk mengintegrasikan berbagai layanan yang ada di wilayahnya untuk mendukung pelaksanaan strategi LKB. Adanya kewenangan yang jelas tentang implementasi di tingkat lapangan berimplikasi pada tingkat kepemilikan pelaksana daerah Dinkes atau KPAD atas program atau strategi yang dikembangkan. Dengan demikian, asumsi yang dikembangkan dalam intervensi ini adalah pada upaya untuk meningkatkan keterlibatan engagement berbagai simpul jaringan LKB di suatu daerah melalui kegiatan yang digagas melalui otoritas kesehatan daerah untuk meningkatkan kepemilikan ownership berbagai simpul jaringan layanan HIV dan AIDS di daerah terhadap pelaksanaan strategi LKB Coutinho et al., 2012; Mugavero, Davila, Nevin, Giordano, 2010; Mugavero, Norton, Saag, 2011. Sebenarnya pelibatan engagement semua pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan LKB pada dasarnya menjadi inti strategi penerapan LKB. Secara teknis pedoman pelaksanaan telah pula mengidentifikasi peran para pemangku kepentingan yang terlibat dalam LKB di kabupatenkota, yakni KPA kotakabupaten, dinkes kotakab, penanggung jawab program di dinkes TB, Kespro, KIA, P2M, kepala rumah sakit, puskesmas, klinik layanan HIV, LSM populasi kunci, LSM HIV, KDS ODHA, tokoh masyarakat, dinas terkait lainnya. Menyikapi masih lemahnya isu pelibatan pemangku kepentingan di dua wilayah ini maka intervensi dalam penelitian ini telah diarahkan untuk mengaktifkan mekanisme koordinasi kurang berjalan selama ini sebagai media untuk ‘mengungkit’ pelibatan yang lebih besar terhadap penerapan LKB ini. Sedangkan untuk menyikapi keterlibatan yang belum optimal dari staf layanan di fasyankes, LSMKDS atau kader kesehatan dilakukan melalui pelatihan bagi mereka dengan materi yang berfokus pada penguatan informasi dan teknis pelayanan AIDS dan IMS. Selain itu materi tentang strategi LKB juga diberikan dengan menitikberatkan posisi dan mereka dalam stategi tersebut. Dalam pertemuan koordinasi yang dikembangkan dalam intervensi ini, para peserta dimungkinkan untuk melihat kembali konsep LKB dan menentukan peran dan posisinya dalam tahapan pelayanan HIV dengan mempertimbangkan keberadaan pemangku kepentingan yang lain. Tercipta komunikasi yang substansial tentang LKB diantara peserta bahwa LKB merupakan sebuah strategi dari pada sebuah programprojek baru yang membutuhkan sumber daya dan usaha tambahan untuk melaksanakan. Bagi para pemangku 88 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang kepentingan, pertemuan koordinasi telah secara jelas mendefinisikan peran mereka masing- masing di dalam jejaring kerjadalam layanan yang berkelanjutan bagi orang yang terdampak dengan HIV dan AIDS. Peran dan posisi yang jelas inilah yang telah memunculkan kesadaran dan kemauan yang lebih besar untuk melaksanakan strategi ini di masing-masing wilayah. Kesadaran dan kemauan ini direfleksikan dengan kesediaan dari Dinas Kesehatan dan KPAD untuk memfasilitasi pertemuan koordinasi dengan pendanaan yang mereka miliki. Demikian pula pada pelibatan fasilitas kesehatan sekunder, kemauan dan keinginan dari Dinas dan KPAD ini juga tampak dalam upayanya untuk mengundang lebih banyak rumah sakit baik swasta dan daerah untuk menjadi simpul-simpul yang memperkuat jejaring LKB di daerah tersebut. Kemauaan dan kesadaran ini pula yang telah mendorong adanya perjanjian kerjasama antar dinas kesehatan dan rumah sakit terkait rujukan, sharing informasidata dan sumber daya sehingga akan berpengaruh secara langsung pada layanan yang diberikan kepada mereka yang terdampak HIV dan AIDS yaitu meningkatnya cakupan layananan VCT, PITC dan IMS pada sejumlah layanan selama masa penguatan intervensi di kedua kota. Pelibatan langsung staf-staf di fasyankes primer maupun sekunder di dalam pelatihan yang topiknya dikembangkan bersama oleh para pemangku kepentingan juga telah mendorong para staf untuk memahami posisi mereka di dalam memberikan pelayanan HIV dan AIDS melalui strategi LKB. Hal ini misalnya bisa dilihat pada upaya beberapa puskesmas untuk membuka layanan VCT dimana yang selama ini belum dilakukan walaupun telah memiliki konselor dan kerja sama yang lebih kuat khususnya dalam hal rujukan dari atau ke pendamping ODHA KDS ataupun petugas lapangan dari LSM yang bergerak di bidang pencegahan. Sementara itu keterlibatan staf LSM, KDS dan kader kesehatan dalam LKB dalam pelatihan telah memperkuat upaya promosi dan advokasi ke berbagai pihak baik kepada populasi kunci maupun pemangku kepentingan. Hasil pelatihan yang dirasakan oleh para staf adalah meningkatnya pemahaman mereka tentang LKB, kemauan untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal kepada pasien, kemauan untuk bekerja sama dalam rujukan antar fasyankes maupun dengan LSMKDS sehingga cakupan layanan HIV dan AIDS meningkat. Perubahan layanan di tingkat fasyankes ini pun juga dirasakan oleh para 89 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang pasien dimana secara umum mereka menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh fasyankes dinilai pada ‘tingkat baik’ melalui survei kepuasan pasien. Pelibatan yang lebih besar baik pada tingkat unit maupun staf layanan terbukti telah meningkatkan kepemilikan program oleh daerah. Sebelum intervensi penelitian ini dilakukan, persepsi bahwa LKB adalah program baru dari Kementerian Kesehatan sangat kuat karena disain dan setting implementasi LKB di suatu daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Peran daerah hanya sekedar sebagai pelaksana yang tidak mengetahui bagaimana LKB ini dikonsepsikan sebagai strategi penguatan layanan AIDS dan IMS. Ketidakpahaman tentang konsep LKB di tingkat daerah telah menyebabkan peran yang pasif dari daerah terhadap program-program pusat. Selama sebuah kegiatan yang didisain dalam LKB maka kegiatan itu dilaksanakan dan ada laporannya. Sebaliknya jika sebuah kegiatan yang penting dilakukan misalnya koordinasi, pengembangan kapasitas, pengembangan kesepakatan antar fasyankes dan rujukan tidak ada dananya maka kegiatan penting tersebut tidak dilakukan dan otomatis tidak akan tersedia datanya. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang lazim dalam sebuah program yang bersifat vertikal dirancang dan dikembangkan di tingkat pusat Atun,A.R., Bennett, S., and Duran, A. 2008, Kennedy and IJ Selmueden, 2008 , Atun, A.R., and Kazatchkine, M. 2009 . Oleh karena kepemilikan yang sangat terbatas tersebut maka strategi LKB yang pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat layanan-layanan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri agar menjadi lebih terintegrasi tidak bisa diimplementasikan secara efektif. Hasil baseline assessment yang dilakukan dalam penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan daerah hanya sebatas prosedural dalam pelaksanaan program nasional karena daerah ditunjuk untuk melaksanakan program berdasarkan pedoman LKB yang telah ditentukan. Kotakabupaten yang ditunjuk sebagai pelaksana LKB belum tentu memahami bagaimana strategi LKB harus dilakukan secara empirik karena pedoman yang dikembangkan tidak melibatkan mereka secara aktif dalam penyusunannya. Pedoman yang menjadi acuan implementasi LKB pada dasarnya berangkat dari asumsi-asumsi integrasi, komprehensif, berkelanjutan yang bersifat menyederhanakan kompleksitas kenyataan bentuk dan fungsi layanan di tingkat lapangan. Demikian pula, model LKB sendiri belum diujicoba sebelumnya. 90 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang Meski unit-unit yang ada dalam jejaring LKB di kedua kota telah diberi pelatihan, tetapi tampaknya pelatihan ini tidak secara substantif memberikan pemahaman bahwa LKB adalah sebuah strategi. Apa yang dipahami oleh peserta adalah sebuah program baru yang dikembangkan oleh program nasional sehingga secara mekanis mereka menganggap bahwa LKB akan memberikan tambahan finansial karena akan memberikan tambahan kerja di dalam pelayanan yang diberikan kepada klien atau pasien yang sama. Kenyataan bahwa implementasi ini tidak memberikan insentif seperti yang diharapkan mengakibatkan strategi ini tidak bisa dilakukan secara optimal di masing-masing unit. Hal ini misalnya tampak dengan cakupan layanan mereka yang relatif rendah. Cakupan yang kurang optimal ini pun sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai kontribusi dari penerapan strategi LKB karena unit-unit yang terpilih sebagai unit LKB adalah unit-unit yang didanai oleh Global Fund selama ini sehingga ada atau tidaknya LKB mereka harus memiliki cakupan layanan tertentu seperti yang telah ditentukan oleh dinas kesehatan sebagai sub recipient dari GF. Harapannya, penerapan strategi LKB ini bisa memperkuat cakupan di masing-masing unit layanan. Strategi LKB ini bisa memberikan kontribusi yang besar untuk meningkatkan secara kuantitatif maupun kualitatif penanggulangan AIDS di daerah jika daerah bisa menjadikan penanggulangan AIDS sebagai bagian dari upaya kesehatan yang wajib dilakukan di tingkat daerah seperti yang diamanatkan dalam PP No 38 tahun 2007 . Kenyataan bahwa pemerintah kota masih sebagai pelaksana semata tanpa ada kewenangan yang diberikan untuk mengelola sumber daya yang diperlukan secara mencukupi membuat kepemilikan pemerintah daerah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah menjadi sangat lemah. Akibatnya pemerintah daerah kemudian bersifat pasif menunggu arahan dari pusat. Kalaupun ada inisisasi daerah, hanya sebatas memberikan rekomendasi fasilitas layanan yang dikembangkan sebagai simpul LKB, Intervensi dalam penelitian ini telah memberikan pelajaran bahwa keterlibatan semua pihak di dalam penanggulangan HIV dan AIDS baik di daerah maupun di pusat merupakan prasyarat utama agar implementasi strategi dan program penanggulangan HIV dan AIDS bisa berhasil dengan optimal. Pelibatan ini tidak semata hanya pelibatan yang bersifat 91 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang dipermukaan semata seperti hadir dalam pertemuan-pertemuan atau menjadi pusat-pusat layanan semata tetapi juga harus memperhatikan kapasitas dari pihak-pihak yang ingin dilibatkan untuk bisa berkontribusi secara bermakna. Pertemuan koordinasi dan pelatihan yang bersifat partisipatif dan responsif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini telah menegaskan pentingnya keterlibatan yang bermakna dari berbagai pihak bisa meningkatkan cakupan, akses dan kualitas layanan khususnya terkait dengan VCT, PITC dan IMS. Demikian pula, penelitian ini juga telah menunjukkan bagaimana kepemilikan daerah atas sebuah inisiatif kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat menjadi penentu keberhasilan dari inisiatif karena pada dasarnya daerah lah yang menjadi penanggung jawab utama atas pembangunan di sektor kesehatan. 92 Prosedur Pengobatan pada Layanan Komprehensif HIV-AIDS Berkesinambungan LKB di Kota Yogyakarta dan Kota Semarang

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan