Stres Kerja Pada Guru Tunarungu di SLB-E Negeri Pembina Medan

kegiatan, peristiwa dan perasaan, sulit memahami aturan bahasa yang digunakan oleh lingkungannya. Gangguan pendengaran selalu diikuti dengan gangguan bicara, hal ini dikarenakan anak tunarungu tidak pernah mendengar kata-kata, sehingga ia tidak tahu cara mengucapkannya. Oleh karena itu anak tunarungu harus diajarkan berkomunikasi dengan cara lips reading. Dalam hal ini guru memegang peranan yang besar dalam mengajarkan anak didik cara membaca gerak bibir. Dengan metode ini selain dapat mengerti apa yang dikatakan kepadanya, anak didik juga dapat berbicara dengan orang lain sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi timbal balik antara anak didik dengan lingkungan sekitarnya. Mengajarkan lips reading bukanlah hal yang mudah. Guru dituntut untuk menguasai artikulasi dengan baik sehingga anak didik tidak kesulitan dalam membaca gerak bibir dan mengucapkan kata yang diajarkan. Guru juga harus mampu mengenalkan dan mengajarkan kosa kata kepada anak didik. Minimnya kosa kata yang diketahui oleh anak didik akan mempengaruhi dirinya dalam memahami materi pelajaran. Rittenhouse dalam Hallahan dan Kauffman 1998 mengatakan anak dengan hambatan sensori pendengaran berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tersebut bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi kesulitan dalam bahasa. Dengan demikian pendidik harus berusaha mengoptimalkan kelebihan kognitif anak tersebut karena nantinya anak tunarungu harus mengikuti UASBN dan melanjutkan pendidikannya di SMP inklusi 52 Hal lain yang tidak kalah penting dalam perkembangan pendidikan anak tunarungu adalah peran orang tua. Salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya perkembangan pendidikan anak tunarungu yaitu kurangnya keikutsertaan orang tua dalam menangani anaknya. Keterhambatan dalam berbahasa membuat orang tua dan anak tunarungu jarang berkomunikasi. Kurangnya partisipasi orang tua dalam tumbuh kembang anaknya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja guru Center dan Steventon 2001 dalam Schwartz 2006.

5.3.2. Stres Kerja Pada Guru Tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan

Beberapa studi mengindikasikan bahwa stres pada guru yang mengajar anak tunagrahita disebabkan oleh kesulitan guru dalam menjalankan tugasnya untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak didik dan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung Paulse, 2005. Guru tunagrahita harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang efektif dalam mengajar anak didik. Materi pelajaran dibuat semenarik mungkin dan mudah dimengerti. Penyampaian materi pelajaran menggunakan media bantu seperti benda-benda ataupun gambar-gambar. Dan yang tak kalah penting dalam penyampaian materi pelajaran yaitu penyampaiannya harus dilakukan secara perlahan-lahan dan berulang-ulang. Kemampuan anak tunagrahita dalam menyerap pelajaran cenderung lebih lambat dibandingkan anak berkebutuhan khusus lainnya. Soemantri 2006 mendeskripsikan anak tunagrahita sebagai anak dengan kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Disamping itu anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam berpikir abstrak. Kelambatan anak tunagrahita dalam menerima pelajaran akan berdampak pada perkembangan pendidikannya. Anak tunagrahita mempunyai progress yang lambat dalam pendidikannya. Engelbrecht dkk. 2001 dalam Paulse 2005 mengatakan bahwa kegagalan anak didik dalam mencapai progress yang diharapkan merupakan salah satu sumber stres bagi guru tunagrahita. Anak tunagrahita selain mempunyai kesulitan dalam belajar juga mempunyai kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri oleh karena itu guru dituntut untuk mampu mengajarkan program bina diri sehingga nantinya anak didik dapat mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Guru tunagrahita juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat kepada anak didik. Mengajarkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Rendahnya kemampuan intelektual anak didik menyebabkan mereka tidak mengetahui cara untuk menyampaikan maksudnya kepada orang lain di sekelilingnya oleh karena itu anak tunagrahita sering menunjukkan pola perilaku yang kurang produktif untuk merealisasikan maksud mereka. Beresford dalam Maulina dan Sutatminingsih 2005 mengatakan bahwa ibu yang memiliki anak penyandang cacat cenderung merasakan harga diri yang menurun. Oleh karena itu orang tua mempunyai harapan yang besar kepada guru di sekolah. Orang tua cenderung menuntut perkembangan anaknya baik dalam pendidikan ataupun kemandirian. Berdasarkan perhitungan hasil kuesioner penelitian didapati skor stres kerja dan tingkat stres kerja untuk masing-masing jenis guru. Pada guru tunarungu dari 7 orang guru, 5 orang 71,4 diantaranya memiliki tingkat stres kerja ringan dan 2