14 tidak hanya dapat meningkatkan produksi tetapi dapat memberikan peningkatan
hasil perikanan, seperti ikan bandeng, mujair, bawal dan udang jenis lain. Penelitian yang sama juga dijelaskan oleh Panjaitan 2009 dan Zepriana
2010 yang memaparkan mengenai prospek perikanan di Indonesia yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembangunan nasional, khususnya
pada perikanan budidaya. Panjaitan 2009 menganalisis komoditas ikan bandeng di Desa Muara Baru Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang.
Penelitian ini lebih membahas mengenai analisis tataniaga ikan bandeng. Potensi ikan bandeng di daerah ini cukup besar karena Desa Muara Baru merupakan
sentral ikan bandeng terbesar di Indonesia. Ikan bandeng dapat dibudidayakan di tambak maupun di keramba jaring apung. Selain mudah untuk dikembangkan atau
dibudidayakan, ikan bandeng juga merupakan salah satu hasil perikanan tambak yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Ikan Bandeng dapat dipelihara
tanpa pemberian pakan, yaitu dengan memanfaatkan klekap lumut yang tumbuh di dasar tambak sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi para petambak.
Ikan bandeng juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu mengandung asam lemak omega-3, dimana asam lemak ini bermanfaat mencegah terjadinya
penggumpalan keping-keping darah sehingga mengurangi risiko terkena
arteriosklerosis dan mencegah jantung koroner. Asam lemak juga bersifat hipokolesteromik yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Ikan bandeng
juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta berperan dalam pertumbuhan otak pada janin serta pendewasaan sistem saraf.
2.2 Produksi Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Pada Komoditas Udang
Prospek udang windu yang dinilai masih baik ini ternyata berbeda jauh dengan apa yang ada di lapangan. Serangan virus bintik putih White Spot
Syndrome Virus atau yang biasa dikenal dengan nama WSSV ini menyerang sebagian besar tambak udang di Karawang. Virus ini dapat mematikan udang
dalam waktu yang begitu cepat. Jika suatu tambak udang sudah terserang white spot maka dalam waktu kurang dari tiga hari udang-udang tersebut akan mati dan
harus dipanen keesokannya. Penelitian Zepriana 2009 juga menjelaskan faktor-
15 faktor produksi yang diduga dalam budidaya udang galah terdiri dari sembilan
faktor, antara lain : 1 luas lahan, 2 benih, 3 tenaga kerja dalam keluarga, 4 tenaga kerja luar keluarga, 5 pupuk urea, 6 pupuk TSP, 7 pupuk kandang, 8
pupuk buatan, 9 kapur. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan model Cobb- Douglas, dimana dalam fungsi Cobb-Douglas nilai sekaligus menunjukkan nilai
elastisitas X terhadap Y. adapun kelebihan dari model ini, antara lain : 1 penyelesaian fungsi produksi relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi
lain, karena dapat diubah ke dalam bentuk linier, 2 hasil pendugaan garis fungsi akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas, 3
besaran elastisitas tersebut juga sekaligus menunjukkan return to scale.
2.3 Penelitian Yang Terkait Dengan Risiko Produksi
Bila dilihat dengan pengukuran risiko tersebut penelitian Lestari 2009 mengenai Manajemen Risiko Dalam Usaha Pembenuran Udang Vannamei
Litopenaeus vannamei, Studi Kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten menggunakan analisis-analisis tersebut. Analisis yang
digunakan adalah berawal dari mengidentifikasi sumber-sumber risiko yang ada dan terjadi di dalam perusahaan, lalu mengklasifikasikan sumber risiko ke dalam
peta risiko. Analisis lain yang digunakan adalah mengidentifikasi strategi penanganan risiko perusahaan dengan menggunakan metode analisis deskriptif.
Analisis yang dilakukan selanjunya adalah analisis probabilitas dan dampak dari risiko produksi naupli, produksi benur, risiko derajat kelangsungan hidup benur,
dan risiko penerimaan perusahaan. Pengukuran probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian dapat dilakukan dengan analisis nilai standar atau analisis z-
score. Sedangkan pengukuran dampak risiko dilakukan dengan menggunakan analisis Value at Risk VaR.
Berbeda dengan penelitian Ginting 2009, Tarigan 2009 dan Wisdya 2009. Ketiga penelitian ini menggunakan analisis penilaian terhadap risiko
produksi berdasarkan ukuran yang menggunakan pendekatan Expected Return. Dimana risiko produksi ini dapat diukur berdasarkan penilaian hasil perhitungan
Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation yang diduga dapat menunjukkan besarnya risiko yang terjadi. Pada penelitian Ginting 2009
16 mengidentifikasi tentang strategi pengelolaan risiko produksi terhadap perusahaan
dengan menerapkan strategi preventif yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Indikasi risiko produksi pada budidaya jamur tiram putih dapat
dilihat dengan adanya fluktuasi atau variasi jumlah produksi ataupun produktivitas yang dialami perusahaan. Hasil dari ukuran Coefficient Variation
didapat sebesar 0,32 artinya adalah setiap satu satuan hasil produksi yang diperoleh perusahaan, maka risiko atau kerugian yang dihadapi adalah sebesar
0,32 satuan. Sedangkan penelitian Tarigan 2009 melakukan portofolio pada beberapa komoditas. Komoditas yang dianalisis pada spesialisasi adalah brokoli,
bayam hijau, tomat, dan cabai keriting. Sedangkan kegiatan portofolio yang dilakukan adalah komoditas tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan
brokoli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi, risiko produksi berdasarkan keempat komoditas yang diteliti diperoleh hasil risiko
tertinggi adalah bayam hijau sebesar 0,225 artinya setiap satu satuan yang dihasilkan, maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,225. Risiko terendah adalah
cabai keriting sebesar 0,048 artinya setiap satu satuan yang dihasilkan, maka risiko yang dihadapi sebesar 0,048. Analisis risiko produksi yang dilakukan pada
kegiatan portofolio
menunjukkan bahwa
kegiatan diversifikasi
dapat meminimalkan risiko.
Penelitian Wisdya 2009 dan Tarigan 2009 memiliki persamaan pada kegiatannya, yaitu spesialisasi dan portofolio.
Hanya komoditas
yang digunakannya berbeda. Komoditas yang digunakan Wisdya 2009 adalah
tanaman anggrek bibit seedling dengan bibit mericlone. Sedangkan portofolionya adalah bibit seedling dan bibit mericlone. Permintaan terhadap anggrek dunia
terus meningkat karena didukung oleh berbagai keperluan, seperti upacara keagamaan, hiasan, dan dekorasi ruangan, ucapan selamat serta untuk ungkapan
dukacita. Hasil penelitian yang didapat menyebutkan bahwa pada kegiatan spesialisasi, risiko produksi paling tinggi yang dihadapi adalah tanaman anggrek
dengan menggunakan teknik seedling sebesar 0,078 artinya adalah setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,078. Koefisien
variasi paling tinggi terjadi pada tanaman anggrek dengan teknik seedling, yaitu
17 1,319 artinya setiap satu rupiah yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan
sebesar 1,319. Penelitian Fariyanti 2008 menjelaskan mengenai model ekonomi rumah
tangga petani sayuran yang difokuskan pada dua komoditi secara monokultur, yaitu kentang dan kubis dimana kedua komoditi ini ditanam pada waktu yang
bersamaan dengan areal yang berbeda. Penelitian ini juga membahas mengenai dua aspek, yaitu risiko produksi dan harga produk. Penentuan model analisis
dengan Garch 1,1 yang dapat menjelaskan risiko dalam produksi serta data yang digunakan adalah data produktivitas kentang dan kubis dalam tiga musim tanam.
Fungsi produksi yang digunakan dalam menganalisis variance produksi yaitu fungsi produksi logaritman Cobb-Douglas. Hasil pendugaan model Garch 1,1
menunjukkan R
2
pada komoditi kentang sebesar 32,94 persen yang memiliki arti bahwa variabel-variabel independent hanya mampu menjelaskan variabel
dependent produktivitas kentang sebesar 32,94 persen dan sisanya sebesar 67,06 dijelaskan oleh error. Error kuadrat musim sebelumnya dan variance error
produksi musim sebelumnya menunjukkan tanda positif yang berarti risiko sekarang dipengaruhi oleh risiko sebelumnya.
Pada persamaan produksi menunjukkan bahwa variabel pupuk phospor dan pupuk kalium menunjukkan tanda negatif, berarti variabel tersebut dapat
menurunkan produksi kentang karena pemakaian pupuk phospor dan kalium sudah melebihi batas normal pemakaian. Sedangkan lahan, benih kentang, pupuk
nitrogen, tenaga kerja dan obat-obatan menunjukkan tanda positif yang berarti penggunaan variabel tersebut dapat meningkatkan produksi kentang. Pada fungsi
variance terdapat beberapa variabel yang dapat mengurangi risiko adalah variabel lahan, benih kentang dan obat-obatan. Variabel yang dapat menimbulkan risiko,
antara lain pupuk nitrogen, pupuk phospor, pupuk kalium dan tenaga kerja. Hasil dugaan pada komoditi kubis menunjukkan bahwa R
2
yang didapat 28,02 persen. Hasil pendugaan pada fungsi produksi menunjukkan beberapa
variabel yang bertanda negatif yang berarti dapat menurunkan produksi kubis, yaitu variabel benih sedangkan variabel yang menunjukkan tanda positif yang
berarti dapat meningkatkan produksi kubis terdapat lima variabel, yaitu lahan, pupuk nitrogen, pupuk NPK, tenaga kerja dan obat-obatan. Hasil dugaan fungsi
18 variance yang bertanda positif ditunjukkan oleh variabel lahan dan obat-obatan
dan sisanya variabel yang bertanda negatif ditandai oleh variabel benih kubis, pupuk nitrogen, pupuk NPK dan tenaga kerja.
Jurnal Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 2 April 2010 yang berjudul Pengaruh Preferensi Risiko Produksi Petani Terhadap Produktivitas Tembakau :
Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik Dengan Struktur Error Heteroskedastis menunjukkan hasil penelitian preferensi risiko produksi petani
tembakau di Kabupaten Pamekasan menunjukkan hasil bahwa preferensi risiko produksi petani dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu petani yang selalu
menghindari risiko risk averse, petani yang netral terhadap risiko risk neutral dan petani yang menyukai risiko risk seekerrisk taker. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Pemekasan menghasilkan bahwa petani di daerah ini tergolong ke dalam kategori petani yang menghindari risiko risk averse.
Adapun beberapa faktor penyebabnya, yaitu keterbatasan sumber daya yang dimiliki untuk membeli input-input produksi dan mengupah tenaga kerja dari luar
keluarga, terbatasnya akses informasi karena sebagian besar petani tidak tergabung dalam kelompok tani dan ketidakpastian harga tembakau di pasaran
karena petani bertindak sebagai price taker serta saluran pemasaran dikuasai oleh bandol dan juragan yang menjadi kepanjangan tangan dari pabrik rokok.
Gambaran tersebut dipengaruhi oleh risiko dan inefisiensi. Di daerah pegunungan bentuk organisasi produksi usaha tani adalah dengan kemitraan, gambaran ini
menghasilkan bahwa preferensi risk taker petani disana dalam mengalokasikan input-input produksi lebih dipengaruhi oleh inefisiensi teknis dibandingkan oleh
risiko yang mereka hadapi. Sedangkan pada petani swadaya yang berada di tegalan preferensi risk averse pada kedua kelompok menunjukkan alokasi input-
input produksi lebih dipengaruhi oleh risiko daripada inefisiensi teknis ketakutan dalam risiko produksi menjadi pertimbangan utama dalam alokasi input.
Salah satu contoh petani tembakau di pegunungan yang bekerjasama dengan Sampoerna pabrik rokok tergolong sebagai risk taker walaupun lahan
yang dimiliki terbatas, yaitu rata-rata keseluruhan 0,48 ha. Hal ini dikarenakan kemitraan yang sudah terjalin dengan baik dan masing-masing pelaku kemitraan
berpegang pada komitmen yang telah disepakati. Adapun konsekuensinya adalah
19 semakin efisiensi kegiatan produksinya baik secara teknis maupun alokatif maka
semakin besar pula produktivitas dan keuntungan yang diperoleh. Selanjutnya kasus petani kemitraan di daerah agroekosistem tegalan dan petani tembakau
swadaya memilih menghindari risiko risk averse karena banyaknya
pengingkaran kesepakatan antara petani dengan pabrik rokok dan juga petani yang memiliki lahan di bawah 0,5 ha menghasilkan produktivitas dan keuntungan yang
semakin rendah. Begitu pula dengan petani tembakau kemitraan pada agroekosistem sawah memiliki menghindari risiko bagi petani yang memiliki
lahan kurang dari 1 ha. Hal ini berimbas pada produktivitas dan keuntungan yang didapat juga sedikit.
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN