Pengelolaan Sumber Daya Air

air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun kabupatenkota. Pengelolaan DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai Pendekatan Letak Perbedaan Implikasi Teknis dan Organisasi Konservasi Menekankan pemeliharaan sumber daya hutan di hulu dan sepanjang aliran sungai Rehabilitasi di hulu dan sepanjang DAS. Pengelolaan catchment area menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan Hidrologis Menekankan pengelolaan DAS river basin Pengelolaan secara utuh intregated water resources management menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum Otonomi Daerah Menekankan kewenangan pemerintah daerah tempat DAS berada sesuai dengan batas-batas administratif Pengelolaan wilayah DAS menjadi urusan pemerintah daerah. Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air hydrocentric, yang memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu integrated water resources management – IWRM. Pendekatan ini mendorong pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital Dublin principle. Hooper 2003 mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup manusia dan lingkungan ternyata lebih merupakan krisis pengelolaan governance dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada pengelolaan daerah aliran atau wilayah sungai, dan peranserta masyarakat dan pemangku kepentingan akan sumber daya air. Perubahan pengelolaan ini menyiratkan perlunya kebijakan baru, strategi baru, peraturan serta kelembagaan baru untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan prinsip IWRM. Selanjutnya Sjarief 2009 menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah substansi yang kompleks dan padat konfik sehingga memerlukan perubahan lembaga dan menata ulang peran para pemangku kepentingan stakeholders dalam masyarakat. Pemangku kepentingan perlu mewujudkan pengelolaan yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga perubahan kinerja perlu dilakukan. Kemitraan dari semua pihak yang berkepentingan dan kelompok yang terpengaruh adalah mekanisme yang perlu dalam proses pengelolaan sumber daya air terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial, efisiensi dan keberlanjutan. 1. People support what the help create, orang-orang akan mendukung apa yang ikut yang mereka rumuskan. 2. When more people are heard fewer asset are wasted. Kalau lebih banyak mendengar saran dan masukan, maka wasted akan menjadi lebih sedikit. Lembaga pengelola wilayah sungai atau bisa disebut river basin organization RBO memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air Napitupulu, 2005. IWRM mensyaratkan perlunya satu sungai dikelola kedalam satu kesatuan sistim yang utuh dari hulu hingga muara yang tidak dapat dipilah-pilah oleh batas administrasi pemerintahan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 7 tentang Sumber Daya Air, bahwa air mempunyai fungsi sosial, lingkungan maupun ekonomi. Oleh karena itu dalam operasionalisasinya konsep IWRM harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar utama yaitu berwawasasn lingkungan, berkeadilan sosial dan pendanaan yang berkesinambungan dalam sistem pengelolaan yang terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 4. Gambar 4 Sistem pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Dalam mewujudkan ketiga pilar tersebut diperlukan pembagian kewenangan dan keterkaitan yang erat baik antara unit-unit pengelola yang terlibat maupun koordinasi dan komunikasi antara unit pengelola dengan para pemangku kepentingan stakeholders dan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk wadah koordinasi yang efektif dengan menempatkan wakil-wakil dari seluruh pemangku kepentingan. Sementara, pemerintah berperan menjembatani program – progam pembangunan serta mensosialisasikan kebijakan atau peratuan baru kepada pemda kabupatenkota, serta memotivasi masyarakat untuk berperanserta baik dalam pelaksanaan pembangunan prasarana maupun pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan yang efektif tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa dukungan pendanaan yang berkesinambungan sehingga peran pemerintah daerah dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Bilamana kerjasama dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan pengelola dapat disinkronkan dan terintegrasi serta didukung dengan tersedianya tata cara yang jelas dalam pengaturan kelembagaan, manajemen pelaksanaan pengelolaan serta mekanisme pendanaannya maka dapat dicapai IWRM yang berkelanjutan, terintegrasi dan holistik. Aspek Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan Aspek Aspek Sosial KELEMBAGAAN PENDANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN Ketersediaan Air baku Kualitas Air Cost Recovery

2.2 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Scott 2008 mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang memberikan kedamaian dalam kehidupan sosial dan memberikan dukungan bagi sistem sosial dalam ruang dan waktunya. Scott 2008 menganalisisnya atas tiga elemen yang disebut tiga pilar kelembagaan yaitu aturan, norma dan pengetahuan budaya. Masing-masing pilar memiliki unsur dan konsekuensi yang berbeda. Kelembagaan yang dikategorikan regulatif memiliki pengertian yang sama dengan organisasi. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan seperti perusahaan dan negara yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya serta memiliki sanksi dan kewenangan yang diatur secara formal. Pemahaman kelembagaan sebagai organisasi juga dikemukakan oleh North dan Horton 1984. Mereka memandang organisasi sebagai kontinum dari kelembagaan, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Institution adalah the rules of the games, organizations are the players. Horton merumuskan bahwa institution do not have members, they have followers. Sementara itu Tjondronegoro 1984 menyatakan kelembagaan berkembang secara kontinum ke organisasi. Tjondronegoro membedakan kelembagaan dengan organisasi. Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, berpegang pada norma dan bersifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sementara organisasi lebih berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi dan merupakan alat dalam mencapai tujuan tertentu. Kelembagaan menurut Schmid 1972 dalam Pakpahan 1989 adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab. Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan adalah: 1 Batas kewenangan jurisdiksi adalah menyangkut masalah kewenangan dalam menentukan harga output dan peranan dalam keberhasilan produksi; 2 Hak kepemilikan property right adalah mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Property right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap sumber daya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain. Hak pemilikan yang lebih jelas akan adapat menentukan besarnya kekuatan tawar terhadap suatu persoalan; 3 Aturan adalah representasi dalam masalah sistem atau prosedur mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut Anwar 2006. Pengertian kelembagaan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kelembagaan dimaknai oleh para penulisnya secara beragam. Pada intinya kelembagaan diartikan sebagai seperangkat pengaturan formal dan non-formal yang mengatur perilaku behavioral rules dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan interaksi antar individu. Oleh karena itu, kelembagaan memiliki: 1 aturan main rules of the games; 2 organisasi yang melaksanakan rules of the games atau sebagai the player of the games; 3 aturan main yang telah mengalami keseimbangan equilibrium rules of the games. Perkembangan kelembagaan menuju organisasi menyebabkan organisasi menjadi alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan untuk menggabungkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kelembagaan dalam bentuk organisasi tersebut menuntut adanya efektivitas dan efisiensi yang dapat mengkoordinir berbagai kegiatan yang kompleks secara terintegrasi. Pengelolaan sumber daya air yang komplek dan menyangkut kepentingan banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Ditinjau dari fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air secara garis besar dapat dipilah secara sederhana atas lima unsur yaitu: a. Regulator atau pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan misalnya Gubernur, BupatiWalikota dan Kepala Dinas terkait yang menjadi subordinatnya; b. Operator, yaitu institusi yang sehari-hari berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan air, sumber air dan prasarana yang ada dalam suatu Wilayah Sungai misalnya Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelolaan Sumber daya air, Perum Jasa Tirta II ataupun Balai Pengelola DAS. Institusi ini dibentuk oleh regulator dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat; c. Developer, yaitu institusi yang berfungsi melaksanakan pembangunan prasarana dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah misalnya Badan Pelaksana Proyek, BUMN atau BUMD maupun lembaga non pemerintah investor. Perannya terutama ketika terjadi ketidak seimbangan antara permintaan dengan kemampuan menyediakan air, sehingga perlu pembangunan prasarana misalnya bendungan, pengendali banjir atau jaringan irigasi; d. User atau penerima manfaat, yaitu mencakup seluruh unsur masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air; e. Wadah koordinasi, yaitu wadah koordinasi yang berfungsi untuk menerima, menyerap dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua unsur stakeholders. Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas menyampaikan masukan kepada regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan rekomendasi penyelesaian masalah-masalah sumber daya air. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar keterwakilan. Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, sebagai wadah koordinasi tersebut dibentuk Dewan Sumber daya Air yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air melalui proses koordinasi. Secara berjenjang Dewan SDA dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, kabupatenkota, dan bilamana diperlukan pada tingkat wilayah sungai. Tugas Dewan SDA adalah: a menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air; b memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; c menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi; d Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah. Dewan Sumber daya Air menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui: a Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan pengintegrasian kebijakan serta tercapainya kesepahaman antar sektor, antar wilayah dan antar pemilik kepentingan; b Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; c Konsultasi dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; d Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; e Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi; f Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi. Menurut Gany 2005 setelah lolosnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dari uji formil dan materiil Mahkamah Agung, perlu segera diikuti dengan komitmen yaitu membentuk dan memfungsikan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wilayah sungai, propinsi dan kabupatenkota untuk memfasilitasi dialog konstruktif antara semua pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan melalui prinsip kemitraan yang sejajar. Gany 2005 menyatakan bahwa perlunya penerapan pendekatan kemitraan terpadu hulu, tengah dan hilir yang konsisten, pendataan terpadu dan transparan dengan melibatkan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan, pendanaan yang memadai dan penegakan hukum yang konsisten. Biaya pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air. Kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan semata-mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Biaya dimaksud mencakup tiga aspek pengelolaan sumber daya air, yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi: a. Biaya sistem informasi; b. Biaya perencanaan; c. Biaya pelaksanaan konstruksi termasuk di dalamnya biaya konservasi sumber daya air; d. Biaya operasi dan pemeliharaan OP; dan e. Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat. Sumber dana untuk setiap jenis biaya dapat berasal dari: a Anggaran pemerintah; b Anggaran swasta; dan atau c Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air.

2.3 River Basin Organization RBO

Aspek kelembagaan merupakan satu komponen penting dalam proses pengelolaan wilayah sungai yang terpadu dan menyeluruh. Kelembagaan wilayah sungai, kemudian secara internasional dikenal sebagai River Basin Organization RBO, telah menjadi unsur yang menentukan dalam mengimplementasikan konsep pengelolaan sumber daya air.

2.3.1 Perkembangan RBO di Dunia

Beberapa jenis RBO telah berkembang di dunia yang masing-masing mempunyai sejarah, fungsi, tanggung jawab dan kapasitas yang berbeda Blomquist, et al. 2005. Mostert 1998 membagi RBO dalam tiga kategori berdasarkan batasan wilayah operasionalnya, yaitu: a model hidrologi; b model administratif; dan c model koordinasi. RBO model hidrologi adalah suatu RBO yang wilayah operasionalnya didasarkan pada batas-batas hidrologi sehingga jenis RBO ini seringkali melewati batas-batas administratif yang ada Oleh karena itu pengelolaan sungai dari wilayah hulu sampai dengan hilir secara utuh menjadi wewenangnya Alaert dan Le Moigne 2003. RBO model administratif merupakan kebalikan dari model hidrologi Japan bank 2008. Pada saat RBO ini praktek pengelolaan air diselenggarakan oleh pemda kabupaten maupun provinsi yang wilayahnya dilewati oleh sungai tersebut. Oleh karena itu pengelolaan sungai menjadi terbagi-bagi fragmented. RBO model koordinasi adalah suatu RBO dengan kombinasi dari kedua model diatas. Pada model ini, pengambilan keputusan terutama dalam menentukan perencanaan wilayah sungai