AME = 100
x A
A S
;
N Si
S
N
Ai A
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan.Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa
perilaku model pengelolaan sumber daya air dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang
dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan padaTabel 29 dan Gambar 62 untuk penduduk DKI, Gambar 63 untuk revenue, Tabel 30 dan
Gambar 64 untuk beban pencemaran. Tabel 29 Data validasipenduduk DKI
Gambar 62 Perbandingan jumlah penduduk DKI Jakarta aktual dan simulasi
Time Penduduk DKI
Penduduk Aktual DKI 01 Jan 2005
01 Jan 2006 01 Jan 2007
01 Jan 2008 01 Jan 2009
01 Jan 2010 8.842.346,00
8.936.074,87 9.030.797,26
9.126.523,71 9.223.264,86
9.321.031,47 8.842.346,00
8.979.716,00 9.064.591,00
9.146.181,00 9.223.000,00
9.321.031,47
05 06
07 08
8.600.000 8.800.000
9.000.000 9.200.000
Pe nduduk DKI Sim ulasi Pe nduduk DKI Ak tual
Time P
e n
d u
d u
k ji
w a
Waktu
Gambar 63 Perbandingan revenue aktual dan simulasi Tabel 30 Data validasi parameter beban pencemaran
Gambar 64 Perbandingan beban pencemar aktual dan simulasi
05 06
07 08
100.000.000.000 200.000.000.000
300.000.000.000
Revenue Ak tual Revenue Sim ulasi
Time
R e
v e
n u
e R
p
Time BP Domestik
BP Domestik Data 01 Jan 2005
01 Jan 2006 01 Jan 2007
01 Jan 2008 01 Jan 2009
01 Jan 2010 335,77
341,65 347,63
353,71 359,90
366,20 317,14
321,22 325,35
329,53 333,77
333,77
05 06
07 08
100 200
300 400
BP Dom e stik Ak tua l BP Dom e stik Sim ula si
Time B
e b
a n
P e
n c
e m
a r
to n
h a
ri
Waktu
Validasi dilakukan terhadap tiga parameter yang mewakili sub-model sosial, ekonomi dan lingkungan, yaitu validasi jumlah penduduk, revenue dan beban
pencemaran. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0,4 untuk pertambahan penduduk DKI Jakarta dari
data aktual. Hasil validasi terhadap revenue menunjukkan nilai AME sebesar 9 dan validasi terhadap beban pencemar domestik menunjukkan nilai AME sebesar
7. Batas penyimpangan pada parameter AME adalah 10, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi
secara aktual di lapangan.
6.3 Konsep Kebijakan Pengelolaan SDA
Dasar bagi pengelolaan sumber daya air dengan tepat dirumuskan dalam ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmu
ran rakyat”. Dengan demikian secara konstitusional landasan pengelolaan sumber daya air memberikan dasar
bagi diakuinya hak atas air. Oleh karena itu, meskipun negara mempunyai hak penguasaan atas air, namum karena air menyangkut aspek hak asasi, maka
pengelolaan sumber daya air harus dilaksanakan secara transparan yaitu dengan mengikutsertakan peran masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini
sangat sejalan dengan hasil analisis prioritas kebijakan dengan teknik AHP pada level kriteria kinerja yang menghendaki transparansi dan akuntabilitas sebagai
prioritas paling tinggi. Berdasarkan hasil analisis MDS, pada dimensi kelembagaan menunjukan
perlunya hubungan kerja yang baik antara satu instansi dengan instansi lainnya.Sedangkan pada dimensi lingkungan masalah kekeringan menjadi isu
utama. Hal ini menunjukan bahwa pada bagian hilir Sungai Citarum masih mengalami kekurangan air yang serius. Kondisi ini, sangat ironis karena DAS
Citarum memiliki tiga waduk besar yang mestinya dapat melakukan pengaturan air secara optimal.Hal-hal diatas menunjukan betapa pentingnya mekanisme
dalam pelaksanaan koordinasi. Dimensi kebijakan yang menghasilkan leverage factor: perlunya sosialisasi peraturan yang ada, bahkan memperkuat mendesaknya
tuntutan akan koordinasi. Oleh karena itu, sejalan dengan Undang-undang Nomor
7 Tahun 2004 makakonsep kebijakan dalam pengelolaan DAS Citarum perlu mempertimbangkan dibentuknya wadah koordinasi pada tingkat DAS yaitu
dengan pembentukan Tim Koordinasi –Pengelolaan Sumber Daya Air TK-
PSDA. Sebagai wadah koordinasi TK-PSDA juga bertugas untuk merumuskan kebijakan operasional pengelolaan sumber daya air serta penyelesaian konflik
terutama dalam pembagian alokasi air.Keanggotaan TK –PSDA jumlahnya
seimbang antara pemerintah dan non pemerintah, sehingga diharapkan dapat mewakili aspirasi masyarakat.
Selain prinsip-prinsip diatas, konsep kebijakan pengelolaan SDA tetap harus memperhatikan sifat universal air yang mensyaratkan perlunya menerapkan
pandangan holistik air sebagai bagian dari ekosistem. Oleh karena itu konsep kebijakan perlu berpegang pada prinsip keterpaduan, terutama mengintegrasikan
kepentingan hulu vs hilir upstream vs downstream, kesimbangan air permukaan vs air tanah surface water vs ground water dan kuantitas vs kualitas air quantity
vs quality.
6.3.1 Pemisahan fungsi publik dan fungsi ekonomi
Berdasarkan hasil analisis AHP, model pengelola utama yang dipilih adalah model PJT. Sehingga PJT II perlu dikukuhkan sebagai pengelola utama RBO.
Namun demikian, secara finansial PJT II sangat berat untuk memikul tanggung jawab pengelolaan secara keseluruhan.Sebagaimana hasil focus group discussion
FDG, ternyata di negara yang sudah majupun seperti Korea dan Jepang ternyata bantuan pemerintah tetap diperlukan dalam pengelolaan SDA. Hal ini sejalan
dengan pemahaman bahwa air memiliki nilai ekonomi, namun tetap berfungsi sosial. Oleh karena itu perlu ada pemisahan yang jelas antara fungsi publik dan
fungsi ekonomi dalam pengelolaan SDA.Komponen publik harus tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan komponen ekonomi yang memiliki
potensi pendapatan revenue dapat ditangani oleh RBO yang berbentuk korporasi, seperti PJT II. Namun demikian pengelolaan kedua komponen ini
mutlak memerlukan keterpaduan integrasi. Untuk lebih memastikan komponen apa saja yang dapat dikelola oleh PJT II
sebagai RBO utama, maka dilakukan simulasi dengan beberapa skenario dalam pengaturan beban tanggung jawab PJT II yang berbeda lihat Tabel
31.Pembagian ini didasarkan pada prinsip akuntabilitas yaitu keutuhan tanggung jawab pengelolaan pada suatu komponen yang meliputi operasi, pemeliharaan dan
rehabilitasi OPR. Pemisahan tanggung jawab atas tiga kegiatan itu akan menjadi disinsentif bagi kinerja pengelolaan.
Tabel 31 Skenario Pengelolaan Prasarana DAS Citarum Skenario
Badan Waduk
Prasarana Irigasi
Sungai Utama
S ̶
OP OP
O S
1
OPR OPR
OPR OPR
S
2
OPR OPR
OPR ̶
S
3
̶ OPR
OPR ̶
Simulasi dilakukan dengan mengintervensi berbagai kebijakan terkait, guna mencapai model optimasi dengan fokus pada sub-model nilai ekonomi yang
terkait dengan kinerja cost recovery PJT II. Penentuan kebijakan disusun dalam beberapa skenario kondisi aktual dan tiga skenario dengan mengintervensi
pengelolaan biaya. Skenario satu S1 dilakukan dengan membebankan seluruh pembiayaan OPRmenjadi tanggung jawab PJT II.Skenario dua S2 dengan
melanjutkan S1 ditambah dengan mengeluarkan OPR irigasi dari tanggung jawab PJT. Skenario tiga S3 dengan melanjutkan S2 ditambah dengan mengeluarkan
OPR badan sungai dari tanggung jawab PJT II. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 65.
Gambar 65 Hasil simulasi cost recovery Perubahan signifikan bisa dicapai pada skenario tiga yang bisa memenuhi
kebutuhan air sekitar tahun 2024. Secara umum, skenario tiga S3 merupakan
skenario paling optimal dengan indeks pemenuhan kebutuhan air dan cost recovery terbesar. Skenario satu memiliki kinerja paling rendah, karena semua
beban pembiayaan operasional ditanggung PJT.Hal ini bahkan menunjukkan kinerja yang tidak lebih baik dari kondisi aktual S0. Skenario dua memiliki
kinerja lebih baik dari skenario satu, perbedaannya hanya pada pengurangan beban biaya OPR irigasi. Skenario tiga merupakan skenario terbaik yang mampu
mempertahankan cost recovery di atas satu sejak diberlakukan hingga akhir simulasi pada tahun 2040, sementara S0 sempat mencapai CR1 dan menurun
hingga di bawah satu pada tahun 2015. Sementara skenario lainnya S1 dan S2 tidak pernah mencapai cost recovery lebih besar dari satu.
Dengan demikian skenario tiga merupakan satu-satunya pilihan yang memberikan cost recovery diatas satu, artinya secara finansial PJT II sebagai
koorporasi bisa tetap sehat bilamana cakupan tanggung jawabnya dibatasi pada pengelolaan waduk dan prasarana utama.Selanjutnya komponen-komponen ini
dianggap sebagai komponen fungsi ekonomi, sedangkan komponen sisanya dianggap merupakan komponen publik yang harus menjadi tanggung jawab
pemerintah.
6.3.2 Pembagian Kewenangan pemerintah pusat-daerah
Meskipun DAS Citarum merupakan kewenangan pusat, namun konsep kebijakan perlu mempertimbangkan semangat otonomi daerah.Pengelolaan
komponen publik perlu dibagi atas strata pemerintah dengan memperhatikan keseimbangan beban tanggung jawab serta kapasitas pada instansi-instansi
tersebut. Sesuai dengan prinsip akuntabilitas, maka dalam pengaturan tersebut peran pemerintah pusat, Pemerintah Propinsi dan KabupatenKota haruslah jelas
batas- batasnya sehingga terlihat “siapa” berbuat “apa”, demikian pula dunia usaha
dan masyarakat juga harus jelas kewajiban dan haknya.Namun demikian, prinsip dasar kewenangan yang melekat didalamnya dengan tanggung jawab, maka
pemerintah pusat pada dasarnya bertanggung jawab atas seluruh pembebanan biaya komponen publik, termasuk pembangunan dan pengeloaan.Pelimpahan
kepada pemerintah propinsi dan kabupaten dapat dilakukan dengan mekanisme tugas pembantuan TP.
Pengaturan yang diusulkan dalam konsep kebijakan ini antara lain meliputi tanggung jawab pembangunan yang harus tetap menjadi beban
Pemerintah Pusat, yang pelaksanaannya ditangani oleh BBWS. Pengelolaan irigasi yang merupakan fungsi publik, pengelolaannya bisa dilakukan secara tugas
pembantuan kepada pemerintah kabupaten.Namun demikian, sekiranya diperlukan dapat diatur masa transisi dimana pengelolaan irigasi dapat dilakukan
melalui contract service dengan PJT II.Demikian juga dengan pengelolaan badan sungai.Pada dasarnya badan sungai terutama terkait dengan pengendalian banjir,
oleh karena itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat BBWS. Sementara itu, pemerintah propinsi Jawa Barat Balai PSDA dapat dilimpahi
tanggung jawab atas pengelolaan sungai orde dua dan tiga.Mekanisme pelaksanaannya dapat dilakukan melalui mekanisme tugas pembantuan dari
BBWS ke Balai PSDA.Penanganan konservasi hulu tetap dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan melalui BPPAS bersama dengan pemerintah
propinsikabupaten dan masyarakat. Memperhatikan pembagian tanggungjawab diatas, maka jelas bahwa
meskipun DAS Citarum terletak pada wilayah sungai yang merupakan kewenangan pusat, namun pengembangan model harus mempertimbangkan
ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Pembagian kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten
dalam konsep kebijakan ini memiliki efektifitas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh instansi pada masing-masing strata pemerintah.
Secara garis besar, pembagian kewenangan masing-masing strata pemerintahan dalam konsep kebijakan ini berdasarkan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 32.
Selanjutnya pengaturan pembagian tanggung jawab dalam fungsi operator secara menyeluruh dibagi habis sampai pada tingkat paling hilir sampai dengan
pelibatan peran serta masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 33.