kromatik, yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan kualitas pencahayaan Aslan 1998.
Duri pada thalus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thalus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang utama
keluar saling berdekatan ke daerah basal pangkal. Rumput laut tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram.
Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus
mengarah ke arah datangnya sinar matahari Atmadja 1996. Umumnya
Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu. Habitat
khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati Aslan 1998. Pola reproduksi
yang dikenal oleh rumput laut menurut Kadi dan Atmadja 1988 adalah reproduksi generatif seksual dengan gamet, reproduksi vegetatif aseksual
dengan spora dan reproduksi fragmentasi dengan potongan thalus. Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia
perdagangan internasional sebagai penghasil karaginan. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah Malaysia dan Kepulauan Sulu Filipina.
Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budidaya Atmadja 1996. Di Indonesia, seluruh produksi Eucheuma cottonii berasal dari
budidaya, antara lain dikembangkan di Jawa, Bali, NTB, Sulawesi dan Maluku Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005.
2.2 Budidaya Eucheuma cottonii
Pertumbuhan rumput laut Eucheuma diperlukan persyaratan lingkungan antara lain Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
2004 adalah: a substrat dasar perairan stabil, dasar perairan terdiri dari campuran karang mati,
batu karang, terlindung dari ombak besar dan umumnya di daerah paparan terumbu karang;
b tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran; c kedalaman air pada waktu surut terendah 10-50 cm untuk metode lepas dasar,
2-15 m untuk metode rakit apung, metode longline, dan sistem jalur; d perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun;
e kecepatan arus antara 0,25-0,35 cmmenit;
f jauh dari mulut sungai; g perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih;
h suhu air laut sekitar 27-30
o
C dan salinitas sekitar 33-37 ppt.
2.2.1 Metode budidaya
Pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut dibagi menjadi tiga metode sesuai dengan teknologi budidaya yaitu rakit apung, lepas dasar dan patok dasar.
Metode budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp. yang sudah memasyarakat di Indonesia adalah metode lepas dasar, dan metode rakit apung.
Sistem lepas dasar dilakukan dengan langsung menebarkan bibit di dasar perairan dan dibiarkan tumbuh secara alami. Sistem patok dasar dilakukan dengan
cara mengikat bibit dengan tali rafia pada tali plastik PE yang direntangkan beberapa centimeter di atas perairan dengan patok kayu atau bambu.
Letak tanaman diusahakan selalu terendam dalam air.
Pada sistem apung, biasanya digunakan rakit bambu yang direntangi tali dan bibit diikat pada tali tersebut.
Letak rakit dari permukaan air diatur dengan pemberat sehingga rumput laut tidak muncul dari permukaan air pada saat tanaman menjadi besar. Diantara ketiga
teknik penanaman tersebut, yang banyak dilakukan adalah sistem patok dasar dan apung, dengan bobot bibit awal sekitar 50-100 g Kadi dan Atmaja 1988.
Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Pusat Penelitian Oseonografi LIPI terhadap Eucheuma spinosum di Pulau Pari Kepulauan Seribu dan Pulau
Samaringa Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa sistem apung yang dekat dengan permukaan air menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih baik bila
dibandingkan dengan sistem dasar. Menurut Soegiarto et al. 1978 hal ini
disebabkan oleh senantiasa terpenuhinya kebutuhan rumput laut akan cahaya dan pergerakan air yang optimal pada sistem apung.
Percobaan penanaman dengan bibit bagian ujung dan pangkal menghasilkan bagian ujung tumbuh lebih cepat selama lima minggu pertama dan bagian pangkal
tumbuh lebih cepat pada lima minggu berikutnya. Hasil percobaan juga
menunjukkan bahwa berat awal yang ringan memberikan laju pertumbuhan yang lebih cepat Soegiarto et al. 1978. Sulistijo dan Atmadja 1977 menyatakan bibit
bagian ujung merupakan bibit yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan bagian lainnya, bibit yang lebih muda tampak memberikan gambaran yang terbaik