2.2. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat.
Konsep pemberdayaan empowerment mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970an, dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah
dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke 20 yang lebih dikenal dengan aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang
berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Munculnya konsep pemberdayaan
merupakan akibat dari reaksi terhadap alam fikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara pranarka dan Vidhyandika,
1996. Selanjutnya dinyatakan bahwa konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada
hakikatnya, proses pemberdayaan dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak-absolut. Konsep ini digantikan dengan sistem baru yang
berlandaskan ide manusia dan kemanusiaan humanism. Craig dan Mayo 1995 menyatakan bahwa perspektif Maxis terhadap
power dalam masyarakat kapitalis tidak dapat dipisahkan dari kekuatan ekonomi. Power ini bersinggungan erat dengan kepentingan-kepentingan kapitalis lewat
kerjasama transnasional yang berskala global. Dalam keadaan semacam itu, pemberdayaan masyarakat miskin dibatasi oleh gerakan-gerakan kapitalis. Karena
itu, masyarakat miskin harus diberdayakan untuk dapat berpartisipasi lebih efektif dalam proyek dan program pembangunan yang dicanangkan pemerinah.
Kemampuan tawar menawar bargaining position dan pelayanan terhadap masyarakat miskinpun semakin meningkat.
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada tingkat kekuatan individu dan sosial. Mcardle 1989 mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan
keputusan oleh orang-orang yang secara konsekwen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui
kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan dan sumber
lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa tergantung pada pertolongan
14
dari hubungan eksternal. Wardhani dan Haryadi 2004 mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses untuk meningkatkan aset dan
kemampuan masyarakat, terutama yang miskin dan terpinggirkan menuju keswadayaan dan kemandirian. Pada konteks ini, proses pemberdayaan
masyarakat bertumpu pada upaya penyadaran conscientization, peningkatan kapasitas capacity building, self organization, akses terhadap sumberdaya serta
pengembangan kemampuan advokasi, yang diharapkan secara bertahap mampu menginisiasi perubahan yang mendasar dalam tata kehidupan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang dalam kiprahnya berorientasi pada collective- self-empowerment mempunyai sasaran ganda yaitu meningkatkan keswadayaan
masyarakat untuk keluar dari belenggu rantai kemiskinan poverty circle dan mendorong perubahan instituis dan kebijakan Publik yang mempengaruhi
kehidupan mereka.
Reformasi Kelembagaan Masyarakat Miskin dan Pemerintahan Organisasinya
Aturan main dan Proses
Norma dan
Tingkah Laku
Dukungan bagi Pemberdayaan
• informasi • partisipasiinklusif
• akuntabilitas • kapasitas
kelembagaan lokal Aset dan kapabilitas
INDIVIDUAL •
Materi •
Insani •
Sosial •
Politik KOLEKTIF
• Suara • Organisasi
•
Perwakilan
Kondisi Sosial Ekonomi dan Politik
HasilDampak Pembangunan
• Perbaikan tata pemerintahan dan akses keadilan
• Layanan dasar yang efektif dan inklusif
• Akses pasar dan layanan bisnis yang makin adil
• Penguatan masyarakat madani • Penguatan organisasi
masyaraka miskin • Peningkatan kepemilikan aset
dan kebebasan memilih
Sumber: Narayan 2002
Gambar 1. Dimensi Pokok Pemberdayaan
Nerayan 2002 menyatakan bahwa ada tiga dimensi pokok pemberdayaan yang secara ringkas ditunjukkan pada Gambar 1. Pertama, inti: investasi untuk
meningkatkan aset dan kemampuan masyarakat miskin, baik sebagai individu maupun secara kolektif. Arahnya adalah kemampuan memecahkan masalah
secara swadaya dan peningkatan daya tawar dalam hubungan kelembagaan.
15
Kedua, penunjang: reformasi kelembagaan kepemerintahan dan lokus kekuasaan lain menuju good governance dan akuntabilitas Publik baik akibat tuntutan
masyarakat maupun karena keharusan penyesuaian dengan pergeseran paradigma pembangunan. Ketiga, mekanisme: merubah tata hubungan, terutama hubungan
kekuasaan melalui proses dialogisinteraktif menuju tata hubungan berdasarkan kesetaraan, keadilan dan kemartabatan.
Berdasarkan Gambar 1 tersebut, ada empat kunci yang perlu diacu dalam rekonstruksi masyarakat melalui pemberdayaan desa yaitu: i akses informasi, ii
keikutsertaanpartisipasi, iii akuntabilitas, dan iv kapasitas keorganisasian lokal. Disamping aspek substansi, yang lebih penting dalam pemberdayaan
masyarakat desa adalah proses, terutama partisipaasi dan pembelajaran. Craig dan Mayo 1995 menyatakan bahwa partisipasi merupakan
komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka
dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru.
Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki maka akan semakin baik kemampuan partisipasinya. Selanjutnya
Wardhani dan Haryadi 2004 menyatakan bahwa proses pemberdayaan merujuk pada bentuk partisipasi yang paling intens berupa berbagi kewenangan shared
control sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Oleh karena pemberdayaan masyarakat desa adalah suatu proses pembelajaran sosial yang berkesinambungan,
maka selain proses saling memahami dan saling belajar antara stakeholders, dalam proses pemberdayaan masyarakat desa mereka perlu secara bersama-sama
mencari solusi pemecahan masalah dengan mengedepankan pendekatan Participatory Learning and Action.
Tukar Konsultasi KolaborasiPengambilan Pemberdayaan Informasi Umpan Balik Keputusan Bersama Berbagi Kewenangan
Dangkal Dalam
Sumber: Wardhani dan Haryadi 2004 Gambar 2. Spektrum Kedalaman Partisipasi
16
Secara ringkas pemberdayaan masyarakat desa dapat dirangkum menjadi tiga daur hidup yang disebut Tri Daya Wardhani dan Haryadi, 2004, yaitu:
i Daur hidup pengembangan sumberdaya manusia SDM dalam kelembagaan
kelompok orang miskin, meliputi: proses penyadaran diri yang diikuti dengan pengembangan kepemimpinan bersamakolektif. Selanjutnya
dilakukan pengembangan perilaku wirausaha sosial agar mereka mampu mengelola usaha bersamamikro. Daur hidup pengembangan SDM
ditunjukkan pada Gambar 3. Penyadaran
Diri
KELOMPOK
Perilaku Wirausaha Sosial
Kepemimpinan Bersama
Usaha Bersama Mikro
Sumber: Wardhani dan Haryadi 2004
Gambar 3. Daur Hidup Pengembangan SDM dalam Kelembagaan Kelompok Orang Miskin
ii Daur hidup pengembangan usaha produktif dalam kelembagaan kelompok orang miskin, meliputi: Pengaturan ekonomi rumah tangga ERT agar
mereka mampu menabung bersama dalam kelompok. Menabung bersama dalam kelompok untuk modal usaha bersama yang digunakan dalam
kegiatan usaha produktif. Daur hidup usaha produktif ditunjukkan pada Gambar 4.
17
Pengaturan ERT
KELOMPOK
Modal Bersama
Menabung Bersama
Usaha Produktif
Sumber: Wardhani dan Haryadi 2004
Gambar 4. Daur Hidup Pengembangan Usaha Produktif dalam kelembagaan Kelompok Orang Miskin
iii Daur hidup kelembagaan kelompok orang miskin, meliputi: pengelolaan organisasi yang akuntabel sehingga didapatkan kepemimpinan yang
partisipatif diikuti pengelolaan keuangan yang transparan dan pengembangan jejaring yang luas. Daur hidup kelembagaan kelompok orang
miskin ditunjukkan pada Gambar 5. Pengelolaan
Organisasi
KELOMPOK
Pengelolaan Keuangan
Kepemimpinan Partisipatif
Pengembangan Jaringan
Sumber: Wardhani dan Haryadi 2004
Gambar 5. Daur Hidup Pengelolaan Kelembagaan Kelompok Orang Miskin
18
2.3. Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris