clxiii Tabel 2.22 Tingkat kepentingan kualitatif faktor pemberlakuan standar mutu
terhadap pengelolaan perkerasan jalan
Faktor yang dipertimbangkan dalam pemberlakuan standar mutu
Tingkat kepentingan kualitatif pada: Pembangunan
jalan baru Pemeliharaan
berkala Peningkatan
jalan Kapasitas SDM pengendali mutu
●● ●●●
●● Utilisasi alat uji mutu
●●● ●●●
●● Utilisasi bahan uji mutu
●●● ●●
●● Utilisasi standar mutu
●● ●●●
●● Diseminasi standar mutu
●●● ●●
●● Distribusi standar mutu
●●● ●●
●● Ketepatan implementasi standar mutu
●●● ●●●
●●● Manajemen data mutu
●●● ●●
●● Pencapaian mutu
●●● ●●●
●●● Kekuatan struktural
●●● ●●
●●● Kekuatan fungsional
●● ●●●
●● Kemantapan jalan
●●● ●●●
●● Kenyamanan jalan
●●● ●●
●●●
Catatan: ●●● = sangat penting
●● = penting ● = kurang penting
8. Kerusakan perkerasan lentur jalan
Perkerasan lentur sangat sensitif dengan perubahan lingkungan di sekitarnya karena dipengaruhi oleh kineja bahan susunnya aspal dan agregat, cara
pencampuran dan pelaksanaan di lapangan serta metode ketepatan pengujian mutunya B.C. Ministry of Transportation, 2007; Wignall et al., 2002; Scott et al.,
2004; Bennett et al., 2007. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja aspal sebagai bahan ikat dalam perkerasan lentur, adalah: i temperatur udara; ii lama
penyimpanan; iii kandungan parafin dalam susunan kimianya; iv angka penetrasi aspal; dan v nilai modulus elastisitas aspal. Demikian pula kinerja
agregat batuan sebagai bahan susun pokok dalam perkerasan lentur dipengaruhi banyak faktor, antara lain: i jenis satuan geologi batuan AASHTO, 1998.a; TNZ,
2002.a; Balitbang Departemen PU, 2005.c; ii tekstur dan bentuk serta gradasi butiran agregat AASHTO, 1998.a; Balitbang Departemen PU, 2005.c, B.C.
Ministry of Transportation , 2007; Bennett et al., 2004; iii kandungan air
AASHTO, 1998.a; Balitbang Departemen PU, 2005.d; Morgan Casanova, 2006. Balitbang Departemen PU 2005.a telah menyimpulkan dalam spesifikasi
teknis bidang jalan, yang menyebutkan beberapa faktor mikro penting yang mempengaruhi kualitas mutu campuran agregat aspal sebagai bahan susun
perkerasan lentur, antara lain: i suhu pencampuran dan pemadatan; ii tingkat kepadatan lapangan; iii jenis dan jumlah passing alat pemadatan di lapangan; iv
clxiv tebal hampar dan padat di lapangan; v kandungan air yang masuk dalam rongga
selama pelaksanaan; dan vi cara mencampur agregat dan aspal di lapangan. Oleh karenanya faktor-faktor mikro tersebut harus didukung pemantauan proses
implementasi standar mutunya agar tidak terjadi peningkatan kerusakan perkerasan. Kerusakan perkerasan jalan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: i
kerusakan struktural; dan ii kerusakan fungsional. Kerusakan struktural berkaitan dengan penurunan daya dukung karena struktur perkerasan mengalami perubahan
komposisi kohesitas dan homogenitas campuran bahan susunnya, yang disebabkan beberapa faktor antara lain: i ketidaktepatan mutu pelaksanaan Mulyono, 2007.a;
Sjahdanulirwan, 2006.b; Ma’soem, 2006; ii repetisi beban lalu lintas yang melebihi beban maksimal yang diijinkan Mulyono, 2002; Aly, 2006; Ditjen Bina
Marga, 2006.a; Brown Brunton, 1987; dan iii perubahan cuaca hujan sehingga terjadi infiltrasi air hujan masuk ke dalam perkerasan Watmove, 2007;
Aly, 2006; Hankins, 1975 dalam FHWA-USA, 2006. Kerusakan fungsional yang berkaitan dengan penurunan rasa kenyamanan jalan oleh pengguna yang
disebabkan oleh perubahan cuaca antara bulan kering dan basah TNZ, 2002.b dan permukaan perkerasan yang licin Drakos, 2007; Lawson et al., 2007; TNZ, 2002.b
sehingga berdampak penurunan kekesatan permukaan serta kemiringan permukaan jalan yang melebihi batas kritisnya akan memperbesar kecenderungan terjadinya
kecelakaan akibat selip roda kendaraan Hankins, 1975 dalam FHWA-USA, 2006. B.C. Ministry of Transportation 2007 mengidentifikasi kerusakan
perkerasan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi performansi permukaan perkerasan jalan di lapangan yang meliputi 12 jenis kerusakan, selanjutnya
dikelompokkan dalam 3 tiga tipe kerusakan, yaitu: i tipe cracking retak, terdiri atas: longitudinal wheel path cracking retak sepanjang jalur roda kendaraan,
longitudinal joint cracking retak pada sambungan memanjang, pavement edge
cracking retak pada tepi perkerasan, transverse cracking retak melintang,
meandering longitudinal cracking retak memanjang yang berkelok, dan alligator
cracking retak berbentuk kulit buaya; ii tipe surface deformation penurunan
permukaan terdiri atas: rutting bekas alur roda kendaraan, shoving permukaan sobek, dan distorsion permukaan bergeser atau distorsi, yang didominasi oleh
rutting; dan iii tipe surface defects kerusakan fisik permukaan, yang terdiri atas:
bleeding banjir aspal, potholes lubang, dan ravelling pelepasan butiran
agregat, yang didominasi oleh potholes. Ditjen Bina Marga 2006.a
clxv mengelompokkan berbagai jenis kerusakan perkerasan ke dalam 3 tiga tipe, yaitu:
i tipe potholes yang banyak terjadi terutama pada kawasan rural, diawali dengan pelepasan butiran dan retak blok; ii tipe rutting yang banyak terjadi di kawasan
sub urban yang diawali dengan retak-retak memanjang dan permukaan keriting,
diperparah oleh repetisi beban lalu lintas; dan iii tipe deformation yang banyak terjadi di kawasan rural yang diawali terjadinya permukaan bergelombang,
selanjutnya diperparah dengan beban lalu lintas maka terbentuklah penurunan permukaan perkerasan. Gedafa 2006 menyimpulkan ada 3 tiga tipe kerusakan
struktural yang sangat mempengaruhi performansi perkerasan jalan, yaitu: i potholing
permukaan berlubang yang dinyatakan dalam jumlah lubang tiap kilometer; ii rutting yang dinyatakan dalam kedalaman alur atau luasan retak-
retak memanjang tiap kilometer; dan iii texture depth kedalaman tekstur yang dinyatakan dalam kedalaman penurunan permukaan tiap kilometer. Drakos 2007
menyimpulkan dari risetnya tentang evaluasi kerusakan perkerasan jalan arteri di Florida, yang meringkas berbagai kerusakan dalam 3 tiga tipe yang paling banyak
terjadi, yaitu: i tipe rutting, yang meliputi consolidation rutting bekas alur roda kendaraan yang menyebabkan penurunan permukaan dan instability rutting bekas
alur roda kendaraan yang menyebabkan kelabilan permukaan; kerusakan ini diawali terbentuknya cracking; ii tipe potholes, kerusakan ini diawali
terbentuknya ravelling; dan iii tipe depression depresi, yang diawali terjadinya penurunan permukaan deformasi. Watanatada et al. 1987 juga mengelompokan
jenis kerusakan perkerasan dalam 4 empat model, yaitu: i rutting dan cracking; ii potholes; iii distortion dan deformation; dan iv ravelling dan corrugation
permukaan berkeriting. Riset yang dikembangkan Sjahdanulirwan Nono 2005.b telah menyimpulkan 3 tiga kelompok kerusakan perkerasan, yaitu: i
kelompok retak, yang didominasi retak berbentuk kulit buaya; ii kelompok disintegrasi, yang didominasi lubang-lubang permukaan; dan iii kelompok
deformasi, yang didominasi permukaan bergelombang dan penurunan permukaan bekas alur roda kendaraan. Bennett 2004 dan Bennett et al. 2007 telah
melakukan evaluasi kualitas data survai performansi perkerasan jalan di 21 negara Asia Pasifik termasuk Indonesia yang menyimpulkan bahwa ada 8 delapan jenis
kerusakan jalan yang sering terjadi, yaitu: i alligator cracking; ii longitudinal
clxvi dan transverse cracking; iii rut depth; iv shoving; v potholes; vi scabbing;
vii flushing; dan viii edge break. Kerusakan struktural yang banyak terjadi di Indonesia sehingga
memperbesar biaya BOK adalah potholes dan rut depth, sedangkan cracking dan flushing
masih dianggap sebagai gangguan funsional jalan Bennett et al., 2007. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian riset terhadap kerusakan jalan dan
kelayakan pembiayaan hanya terfokus pada jenis kerusakan besar yang terlihat secara visual dan yang berpotensi terhadap penurunan kemantapan jalan, belum
mendetailkan pada bagian-bagian mikro seperti retak permukaan, flushing permukaan yang licin dan edge break retak tepi perkerasan.
Kecenderungan penyimpangan standar mutu pada saat konstruksi tanah dasar, perkerasan berbutir pada lapis pondasi dan perkerasan beraspal pada lapis
permukaan jalan terhadap terjadinya kerusakan perkerasan secara kualitatif dapat dijelaskan dalam Tabel 2.23.
Tabel 2.23. Kecenderungan secara kualitatif penyimpangan standar mutu pada saat konstruksi perkerasan
Jenis kerusakan perkerasan Penyimpangan standar mutu pada:
Konstruksi tanah dasar
Konstruksi pondasi berbutir
subbase base Konstruksi
permukaan sufrace course
Retak permukaan berbentuk kulit buaya alligator cracking
Retak permukaan memanjang searah sumbu jalan longitudinal cracking
Retak permukaan melintang sumbu jalan transverse cracking
Retak permukaan berbentuk blok block cracking
Retak permukaan pada tepi perkerasan pavement edge cracking
Retak permukaan karena roda kendaraan yang selip slippage cracking
Bekas alur roda kendaraan rutting Permukaan sobek dan berkeriting shoving
and corrugation Penurunan permukaan depression;
deformation Pelepasan butiran agregat pada permukaan
ravelling Banjir aspal pada permukaan bleeding
Permukaan agregat yang mengkilap polished aggregate
Banjir air pada permukaan karena proses kapilaritas water bleeding and pumping
Permukaan perkerasan berlubang potholes
clxvii
Catatan: = sangat signifikan = signifikan = kurang signifikan
Kerusakan struktural perkerasan banyak terjadi pada konstruksi perkerasan beraspal sebagai lapis permukaan karena jenis dan jumlah parameter teknis mutu konstruksi
yang harus dikendalikan lebih komplek dalam ragam satuan daripada konstruksi tanah dasar dan perkerasan berbutir. Salah satu parameter yang dimaksud adalah
suhu campuran yang tidak disyaratkan dalam konstruksi tanah dasar dan perkerasan berbutir. Penyimpangan mutu konstruksi tanah dasar mendominasi penyebab
terjadinya kerusakan tipe depression. Deskripsi penyebab dan dampak kerusakan perkerasan jalan beserta usulan perbaikannya yang diolah dari berbagai riset dan
institusi serta dokumen kerusakan perkerasan di lapangan, dapat dijelaskan secara detail dalam Lampiran-1.
B. Pemberlakuan Standar Mutu Perkerasan Lentur Jalan