xxiii Gambar 3. 4. Kronologis seleksi dan pengelompokkan variabel pengaruh dengan
metode analisis faktor factor analysis sebuah matriks identitas tidak dapat ditolak tingkat signifikansi lebih dari 0,05,
maka pembuatan model faktor dari sekumpulan variabel tersebut dinilai tidak layak untuk dilanjutkan. Sementara itu, matriks anti-image berisi negatif dari koefisien
korelasi parsial atau kovariansi parsial antar variabel. Untuk memperoleh model faktor yang baik, nilai-nilai koefisien ini harus cukup kecil. Pada SPSS, diagonal
matriks anti-image ini berisi nilai KMO-MSA tiap variabel sehingga dapat digunakan untuk memeriksa variabel mana yang kiranya perlu ditinggalkan
MSA0,5 sebelum model faktor dibentuk. Kronologis analisis faktor dengan menggunakan paket program tersebut dapat ditunjukkan dalam Gambar 3.4.
Jumlah sampel yang dianjurkan antara 50 – 100 responden dalam pengertian SPSS adalah 50-100 baris. Dalam SPSS dapat juga digunakan patokan
rasio 10 : 1 dalam arti untuk 1 variabel seharusya ada minimal 10 sampel Santoso,
2003. 2. Pembobotan variabel pengaruh dengan pendekatan AHP
Proses pengambilan keputusan dapat melibatkan permasalahan yang sederhana sampai dengan kompleks. Kompleksitas pengambilan keputusan dapat
terjadi akibat keberagaman pilihan alternatif dan kriteria, atribut atau tujuan dari permasalahan yang dihadapi oleh pengambil keputusan Saaty, 1988; 1990 2004;
Saaty Vargas, 2001; Mollaghasemi Edwards, 1997. Kebutuhan pengambilan keputusan dari permasalahan sederhana dan komplek ini dapat terjadi di berbagai
bidang kehidupan, baik terkait dengan permasalahan sosial maupun rekayasa engineering. AHP merupakan salah satu metode pengambilan keputusan
multikriteria dengan cara menentukan artikulasi preferensi awal prior articulation of preferences. Model pengambilan keputusan lainnya adalah metode skoring
scoring method, metode berbasis utilitas utility based method, metode pemograman tujuan akhir goal programming method dan metode outranking
outranking methods. Metode berbasis utilitas terdiri atas: metode multiattribute value functions dan multiattribute utility functions. Perbandingan AHP dengan
metode-metode lain tersebut dapat ditunjukkan dalam Tabel 3.3.
a. Alasan penggunaan AHP dalam penelitian ini.
Pengelolaan perkerasan jalan nasional dan propinsi dilakukan pada 3 tiga alternatif
xxiv implementasi, yaitu: pembangunan perkerasan jalan baru, peningkatan dan
pemeliharaan perkerasan jalan lama. Pada ketiga program implementasi tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan standar mutu perkerasan untuk mencapai kualitas
jalan yang mantap.
25 Tabel 3.3. Perbandingan AHP dengan metode lain yang berbasis pendekatan sistemik analisis preferensi awal
No. Metode pengambilan
keputusan Tipe
permasalahan Tipe keluaran
Prinsip dasar Kelebihan
Kelemahan
1 Metode skor
scoring methods
Multiatribut, deterministik
Ranking ordinal Pengambil keputusan memberikan skala
tingkat kepentingan relatif dari tiap atribut dengan menggunakan skala 1-10 atau 1 -100.
alternatif yang memiliki skor paling tinggi dipilih sebagai pilihan yang terbaik
Kemudahan dalam penggunaan karena menggunakan skala numerik yang jelas
Kurang didukung dasar-dasar teori yag kuat, sangat tergantung subyektifitas pengambil
keputusan
2 Metode Multiattribute
Value Functions Multiatribut dan
multi obyektif, hasil tidak pasti
Ranking kardinal Pengambil keputusan menjawab pertanyaan trade-off
untuk menjadikan fungsi nilai, memilih bentuk dari fungsi multi atribut dan
menentukan skala konstanta Permasalahan memiliki tujuan tunggal setelah fungsi
nilai telah diperhitungkan secara tepat untuk mencapai penyelesaian yang akurat
Proses penyelesaian masalah membutuhkan waktu yang lama jika kriterianya bertambah.
Pengambil keputusan harus mengartikulasikan preferensi mereka atas berbagai alternatif
3 Metode Berbasis
Utilitas Multiatribute Utility Functions
Multiatribut, deterministik
Ranking kardinal Pengambil keputusan menjawab pertanyaan trade-off
untuk menjadikan fungsi utilitas tunggal, memilih bentuk dari fungsi multi
atribut dan menentukan skala konstanta Permasalahan memiliki tujuan tunggal setelah fungsi
utilitas telah diperhitungkan secara tepat untuk mencapai penyelesaian yang akurat
Proses penyelesaian masalah membutuhkan waktu yang lama jika kriterianya bertambah.
Pengambil keputusan harus mengartikulasikan preferensi mereka atas berbagai alternatif
4 Metode Pemogramam
Tujuan Akhir Goal Programming
Multi obyektif, deterministik
Identifikasi solusi kompromi terbaik
Secara eksplisit hubungan yang bersifat matematis antara variabel keputusan, kendala
dan tujuan dapat dirumuskan Merupakan pendekatan yang cocok untuk pemrograman
matematis dan tujuan yang lebih banyak Pengambil keputusan sering mengalami kesulitan
menyusun model matematika 5 Metode
Outranking Multiatribut,
deterministik Ranking ordinal
parsial atau utuh Pengambil keputusan menyediakan suatu
rangking ordinal dari berbagai alternatif - Kehandalan memepertimbangkan kriteria obyektif
dan subyektif - Jumlah informasi dari pengambil keputusan sangat
sedikit Rangking dari alternatif secara lengkap tidak
dapat diperoleh
6 Metode Analytical
hierarchy process AHP
Multiatribut, deterministik
Ranking kardinal skala rasional
Menyediakan suatu mekanisme yang kokoh, komprehensif eksplisit dan sistemik yang
menggambarkan dan mengkuantifikasikan penilaian subyektif kualitatif karena input
utamanya berupa persepsi manusia. Empat prinsip utama yaitu, decomposition proses
memecahkan persoalan yang utuh menjadi elemen-elemen yang hierarkis, comparative
judgement
penilaian terhadap perbandingan tingkat kepentingan antar dua elemen pada
satu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya, synthesis of priorities
menganalisis bobot untuk menetapkan prioritas,
dan logical consistency membuktikan konsistensi logis jawaban
responden. - Dapat memecahkan suatu masalah yang kompleks
dengan kriteria yang cukup banyak, yang disebabkan struktur masalahnya belum jelas dan ketidakpastian
tersedianya data statistik yang akurat - Masalah yang komplek dan tidak terstruktur dipecah
ke dalam kelompok elemen yang diatur menjadi suatu bentuk hierarki
- Memakai persepsi manusia yg dianggap pakar sebagai input utamanya
- Dapat mengolah data kualitatif dan kuantitatif serta mampu mengkuantifikasikan hal-hal yang bersifat
kualitatif - Bersifat fleksibel sehingga dapat menangkap tujuan
dan kriteria dalam sebuah model yang hierarkis - Memiliki model skala rasio 1 satu sampai dengan 9
sembilan yang sudah teruji keakuratannya dalam menampung persepsi manusia terhadap perbandingan
elemen yang satu dengan yang lainnya - Memiliki uji konsistensi sehingga dapat dievaluasi
ulang jika persepsi manusia yang diberikan kurang tepat
- Analisis dapat dilakukan dengan cara hitungan matematik sederhana
- Ketergantungan pada persepsi seorang pakar yang keliru berakibat pada hasil akhir yang
tidak ada artinya. - Kriteria yang pasti untuk seorang pakar
expert diperlukan agar orang tidak ragu dalam menanggapi solusi yang dihasilkan
- Adanya pendapat sebagian kecil masyarakat bahwa persepsi pakar belum dianggap
mewakili populasi secara keseluruhan - Sering terjadi kesulitan analisis konsistensi
jawaban responden karena harus membandingkan antar elemen satu sama lain
dengan menggunakan pilihan-pilihan skala rasio 1 satu sampai dengan 9 sembilan.
Sumber: Mollaghasemi Edwards 1997; Saaty 1988; Permadi 1992
26 Pemberlakuan standar mutu perkerasan memerlukan monitoring dan evaluasi secara
sistemik input-process-output-outcome-impact agar dapat diketahui pada unsur elemen mana yang perlu mendapatkan perhatian yang intensif. Pemberlakuan
standar mutu perkerasan memiliki keragaman faktor kriteria yang dapat dikelompokkan dalam tiap-tiap subsistem pemberlakuannya. Faktor-faktor kriteria-
kriteria pemberlakuan tersebut lebih banyak yang bersifat kualitatif daripada yang kuantitatif. Selanjutnya setiap faktor kriteria pemberlakuan standar mutu tersebut
dapat direpresentasikan oleh berbagai variabel subkriteria. Variabel subkriteria pemberlakuan standar mutu bersifat kualitatif karena ketidakpastian tersedianya data
statistik yang akurat bahkan tidak ada, beragamnya persepsi pengambil keputusan, struktur masalah yang belum jelas dan beberapa diantara subkriteria bertentangan
satu sama lain, sehingga sangat subyektif terhadap multiobyektif dan multikriteria. Permasalahan mendasar adalah menentukan seberapa besar sesungguhnya faktor-
faktor kriteria-kriteria tersebut mempengaruhi keberhasilan pemberlakuan standar mutu perkerasan. Permasalahan tersebut akan mudah diselesaikan jika permasalahan
di bawahnya harus diselesaikan, yaitu seberapa besar sesungguhnya variabel subkriteria mempengaruhi faktor kriteria pemberlakuan standar mutu perkerasan.
Dengan demikian akan lebih jelas bahwa monitoring dan evaluasi pemberlakuan standar mutu perkerasan tidak lain adalah memonitor dan mengevaluasi faktor
kriteria dan variabel subkriteria terhadap pemberlakuannya. Berdasarkan kronologis permasalahan tersebut, struktur dari berbagai faktor kriteria beserta
variabel subkriteria terhadap pemberlakuan standar mutu dapat disusun berdasarkan sistem hierarki. Struktur hierarki berbagai faktor dan variabel tersebut
akan memudahkan analisis keterkaitan antar dan inter elemen pemberlakuan standar mutu. Oleh karena itu, penelitian ini memerlukan suatu metode untuk
menstrukturkan hierarki faktor kriteria beserta variabel subkriteria pemberlakuan standar mutu perkerasan pada 3 tiga alternatif pengelolaan jalan. Terkait dengan
pemikiran ini, maka metode analytical hierarchy process AHP dipilih sebagai metode yang tepat untuk melakukan proses hierarki analisis permasalahan
pemberlakuan standar mutu. Implikasi penggunaan metode AHP dalam penelitian ini, adalah:
1 AHP mampu menyusun struktur hierarki dari tujuan =pemberlakuan standar mutu perkerasan ke tingkatan di bawahnya level-1 berupa kriteria-kriteria
27 =faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan standar mutu, selanjutnya
ke tingkatan di bawahnya lagi level-2 berupa sub-sub kriteria =variabel- variabel yang mempengaruhi faktor-faktor pemberlakuan standar mutu. Setelah
itu ke tingkatan yang paling bawah level-3 berupa alternatif pengelolaan perkerasan jalan: pembangunan perkerasan jalan baru, peningkatan dan
pemeliharaan jalan lama; 2 AHP mampu menganalisis bobot sub kriteria variabel pengaruh terhadap
kriteria faktor pemberlakuan; bobot kriteria terhadap tujuan monitoring pemberlakuan standar mutu; bobot prioritas antar alternatif pengelolaan
perkerasan jalan pembangunan, peningkatan, pemeliharaan; 3 AHP mampu mengkuantifikasikan data kualitatif faktor dan variabel-variabel
dengan menganalisis konsistensi jawaban pendapat responden pakar yang dituangkan dalam skala rasio 1 satu sampai dengan 9 sembilan, yang
dianggap cukup mewakili persepsi manusia untuk memberikan perbandingan tingkat kepentingan pasangan variabel satu sama lainnya.
b. Deskripsi metode AHP.
AHP adalah salah satu cara untuk membuat keputusan multikriteria yang mempertimbangkan faktor obyektif dan subyektif
dalam memilih alternatif terbaik. Pendekatan ini digunakan untuk menentukan peringkat skala rasio alternatif untuk masalah keputusan multikriteria.
AHP diperkenalkan oleh Thomas Saaty pada pertengahan tahun 1970-an Saaty, 1988; 1990; 1994. Dalam perkembangannya AHP telah banyak digunakan dalam
berbagai bidang termasuk dalam bidang ekonomi dan perencanaan, kebijakan energi, kesehatan, resolusi konflik, pemilihan proyek dan alokasi anggaran Saaty,
1994; Triantaphyllou Mann, 1995; Wedley et al., 2001. Kenyataannya, AHP merupakan salah satu metode pembuatan keputusan multikriteria yang paling
popoler saat ini. Kepopulerannya disebabkan fleksibilitasnya dan kemudahan untuk digunakan, juga ketersediaannya paket software yang dinamakan Expert Choice.
AHP Saaty, 1988 1990 dapat memecahkan masalah yang komplek dengan kriteria yang diambil cukup banyak multikriteria. Kompleksitas ini disebabkan
oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data statistik yang akurat atau bahkan
tidak ada sama sekali. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak
28 mungkin dapat dicatat secara numerik, hanya secara kualitas saja yang dapat diukur
yaitu berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi. Dalam AHP dikenal adanya keputusan yang konsisten dan keputusan yang tidak konsisten.
Secara fundamental, AHP adalah suatu kerangka kerja framework yang terstruktur, logis dan komprehensif dari permasalahan pengambilan keputusan.
Chavarria 2002 menjelaskan bahwa AHP menyediakan suatu mekanisme yang kokoh, komprehensif, eksplisit dan sistematik untuk menggambarkan dan
mengkuantifikasi penilaian subyektif. Teknik ini sebenarnya sangat cocok untuk diterapkan pada evaluasi permasalahan yang di dalamnya terdapat faktor-faktor
kualitatif yang sangat dominan Frair et al., 2002. AHP juga dapat membantu meningkatkan pemahaman terhadap kompleksitas pengambilan keputusan melalui
dekomposisi permasalahan tersebut dalam suatu struktur yang hierarkis. AHP merupakan teknik pengambilan keputusan multi kriteria yang dapat mengakomodir
faktor-faktor subyektif maupun obyektif dalam pemilihan alternatif. Bagan alir yang digunakan dalam struktur pemecahan sebuah masalah terdiri dari tiga tingkatan yaitu
hasil keputusan yang diperoleh diletakkan pada tingkat pertama, berbagai multikriteria mendukung alternatif pemecahan diletakkan pada tingkat kedua, serta
beberapa alternatif yang mungkin menjadi pemecahannya diletakkan pada tingkat ketiga. Konsep dasar hierarki elemen dalam AHP dapat ditunjukkan dalam Gambar
3.5. Tingkat 1 :
Tujuan Tingkat 2 :
Kriteria
Tingkat 3 : Alternatif
Sumber : Mollaghasemi Edwards 1997; Saaty 1988; 1990; 1994
Gambar 3.5. Hierarki kriteria dan alternatif untuk memecahkan masalah AHP dikembangkan berdasarkan empat prinsip utama: decomposition,
comparative judgement, synthesis of priorities dan logical consistency Saaty, 1988;
Pemecahan masalah
Kriteria 1 Kriteria 2
Kriteria 3 Kriteria 4
Alternatif 1 Alternatif 2
Alternatif 3
29 Saaty Vargas, 2001; Mollaghasemi Edwards, 1997. Prinsip decomposition
menyatakan bahwa satu proses pemecahan permasalahan yang utuh diuraikan kedalam unsur-unsur atau elemen permasalahan dalam suatu proses hierarki;
pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut sehingga didapatkan beberapa hierarki dari
permasalahan tersebut. Prinsip comparative judgment adalah penggunaan perbandingan berpasangan pairwise comparison yang merepresentasikan suatu
skala dari tingkat kepentingan relatif elemen-elemen dalam suatu level tertentu yang terkait dengan level di atasnya yang akan dianalisis. Skala dasar untuk menentukan
tingkat kepentingan perbandingan antara elemen satu dengan elemen lainnya ditunjukkan dalam Tabel 3.4. Prinsip synthesis of priorities adalah mengambil setiap
turunan skala rasio prioritas-prioritas lokal dalam berbagai level dari suatu hierarki dan menyusun suatu komposisi global dari kumpulan prioritas untuk elemen-elemen
dalam hierarki terbawah. Logical consistensy adalah menilai intensitas hubungan diantara elemen-elemen yang didasarkan pada suatu kriteria khusus yang telah
menjustifikasi satu sama lain dalam cara-cara yang logis. Tabel 3.4. Skala penilaian elemen dalam matriks perbandingan tingkat
kepentingan antar elemen
Tingkat intensitas kepentingan
Definisi Penjelasan
1 sama pentingnya
dua elemen yang diperbandingkan sama pentingnya
3 sedikit moderate lebih
penting satu elemen yang diperbandingkan sedikit
moderate lebih penting dibandingkan dengan elemen lainnya.
5 lebih penting
satu elemen yang diperbandingkan lebih penting dibandingkan dengan elemen lainnya
7 sangat lebih penting
satu elemen yang diperbandingkan sangat lebih penting dibandingkan dengan elemen
lainnya 9
mutlak lebih penting satu elemen yang diperbandingkan mutlak
extreme lebih penting dibandingkan dengan elemen lainnya
2,4,6,8 tingkat kepentingan
diantara angka-angka tersebut yang berdekatan
kesepakatan diperlukan di antara 2 dua penilaian tersebut
Sumber : Mollaghasemi Edwards 1997 dan Saaty 1988
Dalam menggunakan prinsip-prinsip tersebut di atas, AHP mencakup aspek-aspek kualitatif dan kuantitatif dari pemikiran manusia. Aspek kualititatif tersebut untuk
30 mendefinisikan permasalahan dan hierarkinya, sedangkan aspek kuantitatif
digunakan untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara tepat. Proses dalam AHP sendiri sebenarnya dirancang untuk mengintegrasikan kedua aspek
tersebut. Metode AHP memiliki 4 empat aksioma penting yang harus diperhatikan:
i reciprocal comparison, artinya pengambil keputusan harus dapat membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya, misal kalau A lebih disukai dari B
dengan skala 4, maka B lebih disukai dari A dengan skala 14; ii homogeneity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau
dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain; iii independence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria
tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh obyek secara keseluruhan; dan iv expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan,
struktur hierarki diasumsikan lengkap. Formulasi matematis dasar dalam model AHP dilakukan dengan matriks
yang ditunjukkan dalam Gambar 3.6. A
1
A
2
… A
n
A
1
a
11
a
12
… a
1n
A
2
a
21
a
22
… a
2n
… … … … … A
n
a
n1
a
n2
… a
nn
Sumber: Permadi 1992 dalam Rostianti 2003
Gambar 3.6. Matriks perbandingan antar elemen yang berpasangan Matriks A
nxn
merupakan matriks resiprokal dan diasumsikan terdapat n elemen, yaitu W
1
, W
2
, …, W
n
yang akan dinilai dengan perbandingan berpasangan. Nilai perbandingan secara berpasangan antara W
i
dan W
j
dapat dipresentasikan seperti matriks dalam Gambar 3.6.
n j
i a
Wj Wi
j i
,..., 2
, 1
, ;
,
= =
3.3. Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matriks dengan unsur-unsurnya adalah
a
ij
dengan ij = 1,2,…, n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan membandingkan satu elemen operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat
31 hierarki yang sama. Misalnya unsur a
11
adalah perbandingan kepentingan operasi A
1
dengan operasi A
1
sendiri sehingga dengan sendirinya nilai unsur a
11
adalah sama dengan 1. Cara yang sama akan diperoleh semua unsur diagonal matriks
perbandingan sama dengan 1, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.7. A
1
A
2
… A
n
A
1
1 … A
2
1 … … … … 1 …
A
n
… 1
Sumber: Saaty 1988 dalam Rostianti 2003
Gambar 3.7. Unsur diagonal bernilai 1 satu dalam matriks perbandingan antar elemen yang berpasangan
Nilai unsur a
12
adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A
1
terhadap elemen operasi A
2
. Besarnya nila a
21
adalah 1a
12
, yang menyatakan tingkat intensitas kepentingan elemen operasi A
2
terhadap elemen operasi A
1
. Bila vektor pembobotan elemen-elemen operasi A
1
, A
2
, …, A
n
tersebut dinyatakan sebagai vektor W, dengan W = W
1
, W
2
, …, W
n
, maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A
1
dibandingkan A
2
dapat pula dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A
1
terhadap A
2
yaitu W
1
W
2
yang sama dengan a
12
, sehingga matriks perbandingan yang ada dapat dinyatakan seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.8.
A
1
A
2
… A
n
A
1
W
1
W
1
W
1
W
2
… W
1
W
n
A
2
W
2
W
1
W
2
W
2
… W
2
W
n
… … … 1 … A
n
WnW
1
WnW
2
… WnWn
Sumber: Permadi 1992 dalam Rostianti 2003
Gambar 3.8. Matriks perbandingan preferensi antar elemen Setelah semua kuesioner selesai diisi, analisis selanjutnya adalah menghitung
satu hasil akhir dari sekian banyak responden yang menjawab kuesioner-kuesioner tersebut. Cara lain untuk mencari hasil akhir adalah membiarkan hasil pengisian
setiap responden secara terpisah, artinya tidak ada usaha untuk sampai pada satu hasil akhir dan tetap menganggap setiap penilaian responden sebagai suatu kesatuan
yang berdiri sendiri. Keluaran akhir cara ini misalnya A mempunyai penilaian X, B mempunyai penilaian Y, C mempunyai penilaian Z dan seterusnya, tanpa ada suatu
32 hasil akhir yang konkrit dan pasti. Cara terakhir yang umumnya digunakan oleh
pengguna model AHP adalah mencari rata-rata penilaian dari semua responden dalam bentuk rata-rata hitung dan atau rata-rata ukur.
Dalam pemakaian rata-rata hitung, ada dua jenis asumsi yang digunakan. Asumsi pertama adalah peran setiap responden sama, sedangkan asumsi kedua adalah peran
setiap responden berbeda tergantung pada bobot tertentu. Untuk asumsi pertama digunakan rata-rata hitung yang biasa digunakan dengan Persamaan 3.4.
n a
a a
W
n i
+ +
+ =
...
2 1
3.4. dengan: W
i
= penilaian gabungan penilaian akhir, a
i
= penilaian responden ke-i dalam skala 19 – 9, dan n = jumlah responden.
Penilaian ini dilakukan untuk setiap sel dalam matriks perbandingan maka akan didapatkan suatu matriks perbandingan baru yang merupakan matriks perbandingan
gabungan semua responden. Untuk asumsi kedua, rumus yang digunakan seperti dalam Persamaan 3.5.
n a
w a
w a
w W
n n
i
+ +
+ =
...
2 2
1 1
3.5. dengan : w
i
= bobot prioritas tingkat kepentingan responden ke-i. Secara statistik ada metode rata-rata lain yang lebih tepat untuk deret bilangan yang
sifatnya rasio atau perbandingan skala rasio dalam model AHP. Cara tersebut adalah rata-rata ukur yang menyatakan akar pangkat n dari hasil perkalian bilangan
sebanyak n. Kelebihan metode rata-rata ukur selain sesuai untuk bilangan rasio atau perbandingan juga mampu mengurangi gangguan yang ditimbulkan salah satu
bilangan yang terlalu besar atau terlalu kecil. Rumus dari rata-rata ukur dapat ditunjukkan dalam Persamaan 3.6.
n ij
i i
i
xa x
xa xa
a Wi
...
3 2
1
= 3.6
Perhitungan dilanjutkan dengan memasukkan nilai W
i
pada matriks hasil perhitungan tersebut ke dalam Persamaan 3.7.
∑
= Wi
Wi Xi
3.7 Matriks yang diperoleh tersebut merupakan eigenvector yang juga merupakan bobot
kriteria. Nilai eigenvalue yang terbesar λmaks diperoleh dari Persamaan 3.7 ke
dalam Persamaan 3.8.
33 λmaks = Σa
ij
X
i
3.8 Setelah nilai
λmaks diketahui, kemudian mengevaluasi tingkat konsistensi jawaban responden. Pengukuran konsistensi dari suatu matriks didasarkan atas suatu
eigenvalue maksimum, sehingga inkonsistensi yang biasa dihasilkan matriks
perbandingan dapat diminimalkan. Rumus untuk menghitung indeks konsistensi ditunjukkan dalam Persamaan 3.9.
1 n
n maks
CI −
− =
λ 3.9
dengan: CI= consistency index, λ = eigenvalue maksimum, dan n = ukuran matriks.
Eigenvalue maksimum suatu matriks tidak akan lebih kecil dari nilai n sehingga
tidak mungkin ada nilai CI yang negatif. Makin dekat eigenvalue maksimum dengan besaran matriks, makin konsisten matriks tersebut dan apabila sama
besarnya maka matriks tersebut konsisten 100 atau inkonsisten 0. Indeks konsistensi kemudian diubah dalam bentuk rasio inkonsistensi dan membaginya
dengan suatu random index RI. Hasilnya menunjukkan bahwa makin besar ukuran matriks, maka makin tinggi tingkat inkonsistensi yang dihasilkan. Nilai indeks
random dapat ditunjukkan dalam Tabel 3.5. Tabel 3.5 Nilai random index RI
ukuran matriks random index
ukuran matriks random index
1 0,00 10 1,49
2 0,00 10 1,49
3 0,58 11 1,51
4 0,90 12
1,48 5 1,12 13
1,56 6 1,24 14
1,57 7 1,32 15
1,59 8 1,41 - -
9 1,45 - -
Sumber : Mollaghasemi Edwards 1997 dan Saaty 1988
Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai consistency ratio
CR yang ditunjukkan dalam Persamaan 3.10. RI
CI CR
= 3.10
Untuk model AHP, matriks perbandingan berpasangan dapat diterima jika nilai rasio konsistensi 0,1. Batasan diterima tidaknya konsistensi suatu matriks sebenarnya
tidak ada yang baku hanya menurut beberapa eksperimen dan pengalaman tingkat
34 konsistensinya lebih kecil dari 10, artinya tingkat inkonsistensi yang masih bisa
diterima. Pada matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut, harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal Saaty, 1988
dalam Rostianti, 2003, seperti ditunjukkan dalam Persamaan 3.11 dan Persamaan 3.12.
Hubungan kardinal : aij . ajk = aik 3.11.
Hubungan ordinal : A
i
A
j
, A
j
A
k
, maka A
i
A
k
3.12. Pada keadaan sebenarnya dapat juga terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan
tersebut, sehingga matriks tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidakkonsistenan dari preferensi responden Saaty, 1988.
Contoh matriks sebagai berikut :
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎣ ⎡
= 1
2 2
1 2
1 1
4 1
2 4
1 k
j i
k j
i A
Matriks AHP di atas konsisten karena aij x ajk = aik, artinya 4 x ½ = 2; aik x akj = aij, artinya 2 x 2 = 4; aik x aki = aii, artinya 2 x 1 = 2. Apabila ketiga syarat di atas
sudah dipenuhi maka dikatakan bahwa matriks AHP tersebut konsisten 100 atau tingkat inkonsistensinya 0. Keputusan manusia sebagian didasarkan logika dan
sebagian lagi didasarkan pada unsur-unsur bukan logika seperti perasaan, pengalaman, intuisi maka model keputusan tidak menuntut syarat konsistensi 100
secara mutlak. Manusia mempunyai keterbatasan dalam menyatakan persepsinya secara konsisten terutama kalau harus membandingkan banyak elemen Saaty,
1988. Sebagai contoh A tiga kali lebih penting dari B, B dua kali lebih penting dari C, C dua kali lebih penting dari D, maka D tingkat kepentingannya 110 dari A.
Jawaban tersebut tidak konsisten seharusnya D tingkat kepentingannya 112 A, karena A lebih penting 12 kali dari D. Bagan alir proses analisis pembobotan antar
kriteria faktor dan subkriteria variabel pengaruh serta pembobotan prioritas alternatif pengelolaan jalan dalam aplikasi formula matriks perbandingan
berpasangan dapat ditunjukkan dalam Gambar 3.9.
d. Batasan penggunaan metode AHP dalam penelitian ini . Berdasarkan
prinsip matematis dalam deskripsi AHP tersebut, maka beberapa batasan penggunaan AHP dalam penelitian ini adalah:
35 1 penerapan AHP diharapkan menghasilkan bobot lokal antar subkriteria variabel
pengaruh terhadap tiap faktor kriteria pemberlakuan standar mutu yang didukung analisis bobot global terhadap prioritas alternatif pembangunan,
peningkatan dan pemeliharaan yang sudah teruji konsistensi matriksnya; 2 penerapan AHP juga harus dapat menghasilkan bobot global antar faktor
kriteria pemberlakuan standar mutu yang sudah teruji konsistensi matriksnya; 3 bobot lokal antar subkriteria variabel pengaruh dan antar kritria faktor dari
analisis AHP tersebut, selanjutnya digunakan untuk membuat logic model yang merepresentasikan sistem hierarki seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.10.
Struktur hierarki dalam logic model tersebut terdiri atas: i tingkat pertama adalah tujuan goal yang akan dicapai; ii tingkat kedua adalah kriteria faktor
pemberlakuan standar mutu yang dikelompokkan dalam tiap subsistem pemberlakuannya; iii tingkat ketiga adalah sub kriteria variabel yang
mempengaruhi faktor pemberlakuan standar mutu. Sedangkan tingkat keempat pembobotan alternatif pengelolaan jalan pembangunan, peningkatan, pemeliharaan
yang hanya digunakan untuk data analisis konsistensi matriksnya.
36 Gambar 3.9. Bagan alir proses pembobotan faktor kriteria, variabel pengaruh
subkriteria dan alternatif dengan metode AHP
MULAI
Definisi Masalah Mencari Solusi
Struktur Hirarki Goal
Tujuan Kriteria Faktor
Subkriteria Variabel Pengaruh
Terseleksi Alternatif
Focus Group Discussion
Metode Analisis Faktor
Kompilasi Data Primer untuk Mencari Tingkat Perbandingan Berpasangan Antar Alternatif, Antar
Subkriteria, Antar Kriteria, Sebagai Data Input
λ max Global Priorities
of the Alternatives
CR = λ max - N
N - 1 R.I CR 0,1
Ya Bobot Tiap Subkriteria dan Altenatif Diterima
SELESAI
Tidak Bobot Tiap Subkriteria
Analisis Sensitivitas Bobot Tiap Subkriteria dan Alternatif CR 0,1
Tidak Ya
Bobot Tiap Subkriteria dan Alternatif Diterima walaupun terjadi perubahan urutan prioritas bobot
Pairwise Comparison Matrix Used in
for theInter Subcriterion
AHP antar subkriteria
Pairwise Comparison Matrix Used in AHP for the Alternative with Respect to each
Subcriterion Rata-rata Ukur
Geometric Mean
Bobot Tiap Alternatif
Tidak
Pairwise Comparison Matrix Used in AHP for
the Inter Criterion Antar kriteria
Bobot Tiap Kriteria
Global Priorities MULAI
SELESAI
Bobot Tiap Subkriteria dan Alternatif Diterima
Konsistensi jawaban responden terhadap matrik pairwise comparison yang terbentuk
Pola sama
Gambar 3.10. Kerangka berfikir analytical hierarchy process AHP yang digunakan dalam menyusun logic model
UTILISASI ALAT UJI
UAU UTILISASI
BAHAN UJI UBU
TAMPILAN FORMAT
STANDAR TFS
SOSIALISASI STANDAR
SOS DISTRIBUSI
STANDAR DIS
IMPLEMENTASI STANDAR
IMS MANAJEMEN
DATA MDA
TINGKAT PENCAPAIAN
MUTU TPM
TINGKAT PENCAPAIAN
SOSIALISASI TPS
TINGKAT KEKUATAN
STRUKTURAL TKS
TIN KEK
FUNG T
MONITORING DAN EVALUASI PEMBERLAKUAN STANDAR MUTU
PERKERASAN LENTUR JALAN NASIONAL DAN PROPINSI
FLEXIBLE PAV EMENT
PEMBANGUNAN PERKERASAN
JALAN BARU PENINGKATAN
PERKERASAN JALAN
PEMELIHARAAN PERKERASAN
JALAN
SUBSISTEM PEMBERLAKUAN STANDAR MUTU
INPUT SUBSISTEM
PEMBERLAKUAN STANDAR MUTU PROCESS
SUBSISTEM PEMBERLAKUAN
STANDAR MUTU OUT PUT
SUBSISTEM PEMBERLAKUA
STANDAR MUT OUT C
SUMBER DAYA
MANUSIA SDM
ii
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN