Rumusan Masalah Tujuan Penelitian
6
2006-2007 itu berupa; menarik minat sekaligus mendekatkan diri kepada konsumen, pada umumnya tidak menggunakan kerangka bahasa Indonesia yang
baik dan benar serta melanggar Ejaan Yang Disempurnakan EYD, menggunakan unsur dialek bahasa daerah, menggunakan gaya bahasa hiperbola
dan personifikasi, dan bermaksud untuk menjalin keakraban dengan konsumennya.
Selanjutnya, studi makna konotasi pada iklan luar ruang rokok produk PT Djarum oleh Mirah Hapsari pada tahun 2013. Mahasiswa Jurusan Desain, Institut
Seni Indonesia, Yogyakarta ini menggunakan kajian semiotika pada media billboard produk PT Djarum di wilayah Daerah Isrtimewa Yogyakarta. Ia
menguraikan makna konotasi yang terkandung dalam billboard tersebut. Kesimpulan yang diambilnya ialah media billboard yang dibuat oleh perusahaan
rokok digunakan sebagai media komunikasi promosi kepada target audience-nya. Diketahui pula bahwa setiap produk memiliki target audience-nya masing-
masing, sehingga bahasa penyampaian, isi pesan, dan visualisasinya akan berbeda.
Pada kasus iklan televisi rokok Djarum 76, versi-versi yang telah ditelaah dan dikaji berupa; Tersesat di Pulau Terpencil, Kawin dengan Mawar Kembang
Desa, Jangkrik, Jin Serakah Matrealistis, Jin Ketipu, Pengin Kaya Pengin Ganteng, Sogokan, Dimarahi Istri, Kontes Jin, dan Naik Pangkat Wakil
Dibuang. Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur memilih versi “Sogokan” sebagai objek penelitian mereka. Keduanya meneliti makna yang
terkandung dalam iklan Djarum 76 versi “Sogokan” ditinjau dari elemen-elemen
7
yang terdapat pada iklan. Elemen-elemen tersebut berupa heard word and sound effect kata kata yang didengarkan dan efek suara, music musik, seen word
kata-kata yang telihat, picture gambar, colour warna, dan movement gerakan.
Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur menyimpulkan bahwa; pertama, iklan televisi Djarum 76 merupakan iklan kreatif yang berbalut komedi
dan humor sehingga mendapat tempat di masyarakat terlepas dari perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, iklan tersebut merupakan media
kritik sosial sebab mengangkat fenomena Gayus Tambunan sebagai simbol kebobrokan sistem dan budaya yang ada di tubuh perangat pemerintah. Ketiga,
iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Sogokan” ini mencerminkan budaya korupsi
pada akhirnya menempatkan masyarakat kecil menjadi korban. Abid Helmy yang juga memilih versi yang sama berpendapat bahwa
regulasi pemerintah untuk membatasi iklan rokok ternyata tidak mampu memenjarakan ide dan kreativitas para kreator iklan rokok. Menurutnya, iklan
rokok Djarum 76 termasuk iklan komersil yang kreatif. Penelitiannya mengungkapkan bahwa iklan ini lebih mengemban misi sosial dibanding dengan
misi komersialnya terdapat kritik sosial terhadap pemerintah lewat parodi Gayus Tambunan. Misi sosial itu berupa kritik akan fenomena korupsi. Ia
menambahkan bahwa fenomena tersebut sulit untuk diberantas dan bahkan mustahil untuk dihilangkan di negeri ini. Wacana Indonesia bebas dari korupsi
merupakan hal yang irasional, tidak masuk akal dan mustahil. Sebaliknya, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI