Semiotika Nonverbal dan Visual

10 berbagai bidang keilmuan yang sangat luas yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya semiotika sastra, semiotika televisi, semiotika fashion. Semiotika film, dan termasuk semiotika nonverbal serta semiotika visual. Kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur tubuh, dan tindakan badaniah lainnya merupakan tanda dan kode pada perilaku nonverbal. Perilaku ini dihasilkan oleh persepsi yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial tertentu. Danesi 2010: 64 menyebut perilaku semacam ini sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar zat fisik melainkan tanda yang mengomunikasikan sesuatu. Secara teknis, studi atas tanda-tanda ini diberi nama semiotika nonverbal. Perilaku nonverbal tampak alamiah karena diperoleh secara osmotik tanpa dipikirkan dalam konteks kultural. Pada kenyataannnya, perilaku ini sebagaian besar berasal dari kesepakatan menurut sejarah, bukan dari kewajaran atau tiadanya kewajaran. Pendeknya, nilai-nilai sosial, jenis-jenis pesan yang dibuat dengan tanda nonverbal selalu melibatkan konotasi, artinya pesan-pesan itu jarang ditafsirkan sebagai murni sinyal fisik. Selanjutnya ialah studi tentang tanda visual. Tanda-tanda visual adalah simbol visual yang bersifat ringkas dan abstrak serta mengarah pada komunikasi melalui gambar. Studi tanda visual disebut semiotika visual. Semiotika visual pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihat visual senses. Tanda visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang dikonstruksi dengan sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 dapat dilihat bukan didengar, disentuh, dikecap, atau dicium. Seperti semua tanda lainnya, tanda visual dapat dibentuk secara ikonis wajah-wajah, indeksikal anak panah yang menunjukkan arah, dan simbolis logo iklan.

1.6.2 Teori Tanda menurut Roland Barthes

Teori tanda menurut Roland Barthes merupakan teori yang dikembangan berdasarkan sistem penandaan signifiant oleh Ferdinand de Saussure. Saussure membagi sistem penandaan menjadi dua bagian, yaitu signifiant penanda, bentuk dan signifié petanda, makna. Hubungan antara penanda dan petanda merupakan hubungan langsung, yaitu penanda secara langsung menandai petanda. Bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi, sedangkan bidang petanda untuk menjelaskan konsep atau isi. Prinsip Saussure ini menekankan bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Selain itu, aliran strukturalisme pun menekankan pentingnya analisis sinkronik untuk menjelaskan relasi dan sistem tanda yang diteliti. Saussure pun menghubungkan konsep sinkronik tersebut dengan “waktu” atau aspek diakronik. Diakronik mengandaikan kausalitas sebuah keterhubungan. Akan tetapi, konsep diakronis diberi perhatian lebih banyak justru oleh para pengikutnya yang melihat strukturalisme terlalu kering jika tertuju pada aspek sinkronis Christomy, 2004: 112. Semiologie Barthes mengisi kekeringan itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 Roland Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang disebutnya sistem, yaitu perbendaharaan tanda kata, visual, gambar, benda dan sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu. Ia merumuskan sistem penandaan terdiri dari dua lapis, tiga lapis, dan seterusnya, karena ia percaya masing-masing tanda memiliki beberapa kemungkinan makna atau hubungan antara ekspresi dan isi terjadi pada manusia lebih dari satu tahap. Berdasarkan sistem itu, dikembangkanlah dua tingkatan pertandaan staggered system, yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat- tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Seperti yang ditulis dalam bukunya, berikut ini: Juga dalam sebuah teks tertulis, teks membuat kita terus-menerus membaca suatu message kedua yang terdapat di antara baris-baris kata message pertama: jika saya membaca judul besar Paus Paulus IV Takut, judul itu juga ingin mengatakan: jika anda membaca lanjutannya, anda akan mengetahui kenapa Paus Paulus IV takut Barthes, 2007: 264. Barthes menyebut sistem pemaknaan berlapis tersebut dengan sebutan sistem pemaknaan tataran kedua atau sistem semiologis tingkat kedua the second order semiological system, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Hubungan yang ditunjukkan jenis tataran kedua yaitu hasil penandaan pada tahap yang pertama yang menghasilkan makna denotatif denotative meaning akan secara langsung yang menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada hasil tataran signifikasi lapis kedua, Barthes 2007: 85 menyebutnya sebagai makna konotatif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 conotative meaning. Pada tataran selanjutnya, ia menyebut dengan istilah mitos myth. Tingkatan makna menurut Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua The Second Order Semiological System menurut Barthes 2007: 85 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini ialah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif.

Dokumen yang terkait

MAKNA IDENTITAS SOSIAL DALAM IKLAN ROKOK DI TELEVISI (Analisis Semiotik Dalam Iklan Rokok Djarum 76 versi “Jin Botol”)

0 8 21

MAKNA IDENTITAS SOSIAL DALAM IKLAN ROKOK DI TELEVISI (Analisis Semiotik Dalam Iklan Rokok Djarum 76 versi “Jin Botol”)

0 6 21

Representasi Korupsi Pada Tayangan Iklan Djarum 76 (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Korupsi Dalam Tayangan Iklan Djarum 76)

7 42 99

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “JIN TAKUT ISTRI” (Studi Semiotik Terhadap Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Jin Takut Istri” di Televisi).

0 1 127

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “JIN TAKUT ISTRI” (Studi Semiotik Terhadap Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Jin Takut Istri” di Televisi).

0 2 127

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “TERDAMPAR” (Studi Semiologi Tentang Pemaknaan Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Terdampar” di Televisi).

1 13 94

1 PENGGAMBARAN KONSEP EKSIS DENGAN MEROKOK DALAM IKLAN TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIKA PADA IKLAN TELEVISI DJARUM 76 VERSI “PENGEN EKSIS”)

0 0 11

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “TERDAMPAR” (Studi Semiologi Tentang Pemaknaan Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Terdampar” di Televisi)

0 0 16

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “JIN TAKUT ISTRI” (Studi Semiotik Terhadap Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Jin Takut Istri” di Televisi)

0 1 20

PEMAKNAAN IKLAN ROKOK DJARUM 76 VERSI “JIN TAKUT ISTRI” (Studi Semiotik Terhadap Iklan Rokok Djarum 76 Versi “Jin Takut Istri” di Televisi)

0 0 20