Usia Pria Tokoh Pria Paruh Baya
23
Yulianto dalam bukunya yang berjudul Pesona „Barat‟: Analisis Kritis-
Historis tentang Kesadaran Warna Kulit Indonesia menjabarkan berbagai hal mengenai sentimen warna kulit. Menurutnya sentimen tersebut dibangun oleh
globalisasi, kapitalisme, kelas, kekuasaan, dan superioritas. Sentimen ini pun mampu menunjukkan secara signifikan mentalitas rendah diri bangsa Timur dan
keterpesonaan mereka terhadap warna kulit orang Barat. Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto lebih difokuskan pada keterpesonaan wanita
Indonesia terhadap kulit putih
____
dengan mengonsumsi produk pemutih
____
pada poin ini peneliti akan mengaitkannya dengan warna kulit yang dimiliki oleh pria
paruh baya. Pertama ialah idealisme warna kulit bangsawan. Dalam penelitian Yulianto
2007: 44-48, idealisme warna kulit keraton Surakarta adalah kuningkuning gading
____
peneliti mengaitkannya sebagai idealisme warna kulit bangsawan. Hal ini dibuktikannya berdasarkan penemuan akan idealisme warna kulit orang Jawa
dalam literatur Jawa, yaitu kakawin. Dalam literatur tersebut, kulit yang kekuning- kuningan disebut kulit indah, sedangkan dalam kecantikan priyayi bisa
dideskripsikan sebagai gelap atau kehitam-hitaman. Dalam visualisasi kulit sawo matang pria paruh baya, secara jelas menunjukkan bahwa ia bukan berasal dari
golongan bangsawan. Kedua, idealisme warna kulit orang kota. Melalui pemaparan di muka,
ekpresi keterpesonaan Timur akan warna kulit orang Barat sangat mempengaruhi orang kota. Yulianto menyimpulkan bahwa standar warna kulit yang awalnya
24
ialah warna kuning gadingkekuning-kuningan telah bergeser menjadi warna putih khas orang Barat.
Dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan iklan pemutih kulit
___
yang bersifat halus, tak terasa, dan tak terlihat memaksa
____
secara pasti menjadi idealisme warna kulit tunggal Indonesia kontemporer. Dari standar tersebut, diketahuilah
bahwa idealisme warna kulit orang kota ialah putih seperti orang Barat dan karena kulit pria paruh baya tidak putih berarti ia bukan orang kota.
Adapun pemaparan idealisme kulit ini menunjukan secara pasti bahwa strategi pemasaran produk pemutih dalam melokalkan, menggeneralisasikan,
memperdalam atau memperluas gairah keinginan orang Asia terhadap kulit putih tidak terjangkau kepada pria paruh baya. Atau dengan kata lain, indroktinasi dan
persuasi akan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas pun tidak mampu membuat ras cokelat yang satu ini untuk mengamini pesan tersebut.
Bukti ketiga ialah identifikasi golongan pribumi. Kulit sawo matang yang dimiliki pria paruh baya Yulianto menyebut jenis kulit ini dengan ras cokelat
merupakan bukti kuat bahwa ia dari golongan pribumi ditunjukkan Yulianto melalui pengutipan perkataan Soekarno dalam biografi yang berjudul Soekarno an
Autobiography As Told to Cindy Adams: Klub sepak bola adalah pengalaman traumatik bagiku. „Hey kamu kulit
cokelat...Hey oran g kulit cokelat Bodoh dan miskin … Pribumi …
Inlander … Petani … Hey, kamu lupa pakai sepatu…‟ „Meski anak bule yang masih kecil pun sudah tahu meludahi kami, inilah hal pertama yang
diajarkan oleh orangtua mereka setelah tidak lagi memakai popok Yulianto, 2007: 73.
Jadi, terdapat hubungan yang erat antara tanda visual warna kulit dengan mitos idealisme warna kulit. Penjabaran mitos ini menuju pada kesimpulan bahwa