Makanan khas Tiongkok Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
mirip dengan dodol Betawi, hanya saja kue bulan tidak menggunakan santan dalam bahan baku pembuatannya.
Kue bulan biasanya ditaruh di atas meja persembahan bersama dengan makanan lain ketika Imlek. Biasanya di atas meja persembahan tersedia
penganan wajib untuk Imlek seperti kue keranjang, nasi putih, kue mangkok merah, kue ku ketan, kue bugis, kue pepe, arak putih, babi cin
99
dan buah- buahan.
100
Tradisi mempersembahkan kue bulan kepada leluhur mengandung makna keutuhan keluarga. Selain sebagai kue persembahan pada saat Imlek, kue
bulan juga disajikan pada festival kue bulan mooncake festival yang diselenggarakan setiap malam ke lima belas bulan kedelapan penanggalan lunar.
Di dalam novel DT yang bertemakan keluarga, kue bulan sebagai simbol kebulatan keluarga menjadi kue yang penting untuk dibahas, kue ini tidak hanya
numpang lewat sebagai pelengkap kebuadayaan Tionghoa namun, kita bisa melihat dari sisi tema dari novel ini. Terlihat dalam teks berikut.
Mama meletakkan meja dengan taplak merah di depan teras dan menata beberapa kue di atas meja tersebut. Sudah pasti ada kue bulan dan
bakpao. Kata “persatuan” yaitu yuan diucapkan sama dengan kata untuk
“bulat”. Hari itu menjadi peringatan istimewa untuk setiap keluarga Cina, bahwa hari itu tonggak pengingat bahwa persatuan keluarga sangatlah
penting. Keluarga yang bulat adalah keluarga yang tidak terpecah belah.
101
Filosofi kue bulan ini dipegang oleh keluarga Nung Atasan dan keluarga Tionghoa kebanyakan. Bagi masayarakat Tionghoa keutuhan keluarga sangat
penting. Sesama keluarga harus saling menghormati, menyayangi, dan kompak. Menghormati orang tua merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh keluarga
Nung Atasana. Keinginan orang tua harus diindahkan dan kewajiban seorang anak untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Rosi pun demikian, ia berusaha
mewujudkan keinginan ayahnya yang sedang sakit, meskipun dengan jalan
99
Babi masak kecap
100
Santosa, Op. Cit. h. 144 —145.
101
Clara Ng, Op. cit.,h. 171 –172.
berbohong. Itu lebih baik menurutnya daripada keinginan ayahnya tidak mampu ia penuhi, terlihat dalam kutipan berikut.
Roni masih mengusap-usap kepalanya bekas kena gebuk tas. Dia menelan ludah susah payah.
“aku akan minta bantuan teman untuk berpura-pura menjadi calon suamiku. Tentu aku tidak akan menikahi dia. Aku akan bilang pada Papa
bahwa kami belum siap menikah karena secara ekonomi kami belom mapan.”
… “Menghina sekali kamu. Pokoknya pasti ada” Sergah Roni keras
kepala. “Ketiga, aku… eh maksudku, kami… ehm, aku dan calon suamiku… tentu akan berhenti berakting dengan sempurna sampai Papa
meninggal dengan tenang. Yang penting, Papa mendapatkan apa yang dia inginkan. Melihat keempat anaknya akan menikah, khususnya aku. Ulangi
aku, oke? Bukan orang lain. AKU”
102
Dalam kutipan tersebut, terlihat Roni Rosi yang berniat untuk membohongi ayahnya. Ia melakukan kebohongan demi menyenangkan orang
tuanya. Rosi ingin Papanya tenang. Ia tahu ia berbeda, ia tidak mungkin menikahi laki-laki, tapi demi Papanya ia akan berpura-pura.
Dalam kutipan lain juga terlihat hal tersebut. “Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak
keturunan Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku
yang diajarkan mamaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui
jelek, karma buruk.”
103
Kutipan tersebut menunjukkan budaya Tionghoa yang menghormati orangtua, budaya menghormati orangtua bukan hanya ada pada budaya Tionghoa
namun, kekuatan budaya ini lebih menekankan penghormatan kepada orangtua, melalui sistem karma,
104
seperti yang tergambar dalam teks di atas. Rosi bersikeras ingin memenuhi keinginan ayahnya. Dalam tradisi Tionghoa, menyia-
102
Clara Ng., Op. cit., h. 140.
103
Clara Ng, Op. cit., h. 193.
104
Akibat buruk dari melanggar budaya
nyiakan orangtua bisa berdampak buruk seperti, mendapatkan nasib sial dan fengshui yang tidak bagus.
Kembali pada kue bulan, beberapa kutipan di atas menunjukkan makna filosofis kue bulan. Bulat sempurna seperti bulan, begitulah seharusnya sebuah
keluarga, utuh tidak terpecah belah. Dalam kebudayaan, kuliner khas Tionghoa dimasukkan dalam tataran
artefak. Bentuk fisik dari makanan tersebut merupakan peninggalan turun- temurun yang masih dipegang oleh masyarakat Tionghoa, seperti tradisi makan
dimsum. Penganan dimsum bahkan menjadi judul novel. Dimsum dalam novel
berfungsi sebagai latar sekaligus konflik dalam struktur novel. Tradisi makan dimsum dalam keluarga Nung Atasana dilakukan setiap pagi imlek sebelum
mereka beraktivitas. Mereka melakukan tradisi ini pada pagi hari karena pada masa pemerintahan Soeharto segala aktivitas keagamaan dilarang dirayakan dan
anak-anak Tionghoa harus tetap masuk sekolah.