Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno

pernah dilakukan pada masa sebelumnya. 46 Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No. 141967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam intruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Intruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total. 47 Dengan adanya intruksi ini, kebebasan etnis Tionghoa semakin dikebiri. Hak-hak mereka sebagai warga negara dibatasi oleh undang-undang. Sejak intruksi ini dikeluarkan, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Imlek, cap go meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Sama halnya juga tari-tarian barongsai dilarang dipertunjukkan. Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 tahun 1968 tentang Penataan Kelenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02SEDitjenPPGK1968 tentang Larangan dan Pencetakan TulisanIklan beraksara dan berbahasa Cina, ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-IOS-12 tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. demikian juga setiap warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui surat keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. 48 Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi warga Tionghoa ini bisa dilihat dari beberapa peraturan pemerintah yang diskriminatif berikut ini. a. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127Kep121966 tentang Peraturan ganti nama bagi warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina 46 Leo Surydinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2010, h. 217. 47 Setiono., Op. cit., h. 1008 48 Ibid., h. 1009. b. Intruksi Presidium Kabinet Nomor 37UIN61967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina. kebijakan ini mengatur pembatasan pendidikan, kegiatan, usaha, dan tenaga kerja. c. Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 1967 tentang Pembentukan staf khusus urusan Cina. keputusan ini menugaskan staf khusus untuk merumuskan kebijaksanaan, mengikuti dan mengawasi pelaksanaannya, serta mengendalikan kegiatannya. d. Diterbitkan pula pembatasan dalam penyelenggaraan perayaan agama, kepercayaan maupun adat istiadat Cina melalui Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967. 49 Proses pembauran seperti didefinisikan dan diimplementasikan oleh pemerintah dan aparatnya serta elit kekuasaan tidak menuju ke kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya bertalian dengan golongan etnis Tionghoa dan masyarakat luas yang secara sengaja atau tidak memupuk sentimen anti-Cina yang meledak dengan tindakan kekerasan yang dahsyat yang terjadi pada Mei 1998. 50

4. Etnis Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998

Peristiwa Mei 1998 menjadi klimaks perlakuan rasial dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan dan tindakan rasial terhadap etnis Tionghoa sudah sangat parah dan cenderung tidak manusiawi. Peristiwa ini bermula pascapenyerbuan kantor DPP- PDI yang sebelumnya diduduki oleh PDI-Megawati oleh oknum tidak dikenal pada tahun 1996 ternyata berbuntut panjang. Kepanikan rezim otoriter Soeharto makin menjadi dan bertindak sewenang-wenang. Terjadi beberapa aksi penculikan aktivis oleh kelompok pasukan baret merah di bawah satuan tugas Tim Mawar. Para korban penculikan tersebut antara lain wakil sekjen PDI- Megawati Harjanto Taslam, Pius Yustrilanang, andi Arief, Faisol Reza, Aan Rusdiyanto, Herman Hendrawan, Widji Thukul, dan belasan aktivis lainnya yang 49 Prasetyadji, Op. cit., h. 39. 50 Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta. Yayasan Obor, 2008, h. 206. sampai saat ini tidak pernah kembali. Krisis moneter yang terjadi di Thailand dan kemudian merembet ke negara tetangga seperti Malaysia dan Korea Selatan juga Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok, dari Rp2.500 per dollar US menjadi Rp16.500 per dollar US. Terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Para pemegang dana di bank ramai-ramai melakukan penarikan dananya serentak di seluruh Indonesia. Masyarakat tidak percaya lagi pada rupiah dan ramai-ramai membeli dollar. Untuk mengatasi situasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia senilai ratusan triliun rupiah. Namun, pada prakteknya bank penerima bantuan BLBI ini menyelewengkan dana bantuan. Indonesia berada di puncak krisisis yang memicu aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto. Pada 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan demonstrasi di halaman kampusnya ditembaki oleh oknum militer yang mengepung kampus tersebut. Empat orang mahasiswa menjadi korban yaitu Elang Mulya Lesmana, Herry hartanto, Hafidain Royan, dan Hendrawan Sie. Tewasnya sejumlah mahasiswa Trisakti tersebut telah menyulut kemarahan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pada 13 Mei terjadi aksi mahasiswa di halaman kampus Trisakti untuk memprotes kelaliman penguasa yang telah menembaki sejumlah mahasiswa yang tidak bersenjata. Ternyata aksi tersebut ditunggangi oleh provokator yang kemudian berubah menjadi isu anti-Tionghoa dan meluas ke seluruh Jakarta, Tangerang, Bekasi. Ribuan toko dan rumah etnis Tionghoa dijarah kemudian dibakar. Kendaraan seperti mobil dan motor pun tidak luput dari amukan masa. Hampir seluruh mal dan department store dijarah oleh massa yang terprovokatori. Rakyat kecil digiring untuk menjarah mal kemudian mal tersebut dibakar oleh provokator. Ribuan orang terpanggang hidup-hidup di dalam mal. Suasana begitu mencekam. Asap mengepul dari rumah-rumah, dan toko-toko etnis Tionghoa di daerah Glodok dan di seluruh Jakarta. Gerakan anti-Tionghoa seolah mengesahkan para oknum tidak