Upacara Pasca-Kematian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir

Selama masa berkabung, anggota keluarga benar-benar terkuras tenaganya untuk melaksanankan beragam ritual upacara kematian ini. Ada konflik yang terjadi manakala Rosi diposisikan sebagai anak lelaki keluarga ini. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Rosi adalah seorang transgender. Pada salah satu ritual yang dijalankan ketika upacara kematian disebutkan bahwa yang harus membawa bendera adalah anak laki-laki, namun seperti kita ketahui bahwa Nung Atasana tidak memiliki anak laki-laki maka Rosi yang transgender itu diusulkan oleh Siska untuk membawa bendera, terlihat dalam teks berikut. “Pertanyaannya siapa yang akan membawa bendera?” “Roni,” jawab Siska singkat. Dia sudah mempersiapkan jawaban itu sejak lama. Indah dan Novera terdiam. Mereka tahu mengapa Siska menjawab seperti itu. “Aku tidak keberatan.” Novera memandang kedua saudarinya bergantian. Tatapan menjadi ragu. “Tapi memangnya boleh?” aku khawatir nanti akan membuat heboh keluarga. Belum lagi komentar pedas tentang karma yang buruk atau feng shui sic yang tidak menguntungkan. Gimana kalau benar- benar terjadi?” “Terjadi apa?” “Karma yang buruk.” 154 Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat adanya perdebatan antara mereka berempat. Siska mengusulkan agar Roni Rosi lah yang membawa bendera karena Siska sudah mengakui eksistensi Roni sebagai anak laki-laki Nung Atasana. akan tetapi Novera dan Indah masih ragu-ragu, mereka takut pandangan buruk kerabat mereka dan karma yang mungkin saja terjadi. Namun, keputusan sudah bulat, Roni Rosi lah yang akhirnya membawa bendera. Perhatikan teks berikut. Demikianlah, Roni yang mengarak bendera di tengah serbuan pertanyaan dari pihak keluarga. Berdiri di samping Siska, dia menggenggam bilah bambu erat-erat. Pada sembahyang pertama, napasnya nyaris tercekat. Punggungnya pasti ditatap heran oleh puluhan 154 Ibid., h. 346. keluarga besarnya. Pertama, dia memegang bendera. Kedua, dia menggunakan pakaian duka laik-laki. 155 Berdasarkan kutipan tersebut, kita bisa melihat bahwa akhirnya yang membawa bendera adalah Roni Rosi. Rosi sadar dirinya tengah berada dalam pandangan aneh keluarganya bahkan mungkin cemoohan. Ia grogi. Ia menyadari perbedaanya akan menjadi pertanyaan besar di kalangan keluarganya. Mereka mungkin saja akan bertanya-tanya kenapa Rosi membawa bendera dan mengapa Rosi memakai pakaian duka laki-laki. Show must go on, Rosi terus saja dengan jalannya. Upacara kematian Nung atasana seolah menjadi puncak pengakuan bagi Rosi. Ia berusaha menunjukkan dirinya yang transgender dihadapan keluarga besarnya. Dukungan dari Siska seolah menguatkannya. Pada saat ini lah Rosi berdiri tegak di atas dirinya sendiri. Rosi telah keluar dari cangkanngya, pada upacara kematian ayahnya ia seolah membaptis dirinya sendiri sebagai Roni. Perhatikan teks berikut. Rosi hio mengepul di udara. Wangi, masuk menyelinap di hatinya. Suara kerencengan berbunyi bagai lagu di telinga. Nyanyian aneh berbahasa asing mendayu sempurna. Tang-tung. Tang-tung. Tang-tung. Roni rebah, kepalanya serata tanah. Ini peristiwa istimewa. Ini orchestra tentang pengakuan atas sesksualitasnya. Masa bodoh apa kata orang- orang. Dia anak lelaki papa. Seutuhnya. Satu-satunya. 156 Pada titik ini, Rosi sudah lengkap bermetamorfosis sebagai Roni. Ia telah mengambil posisi dalam hidupnya sendiri. Ia telah memberitahukan pada dunia perbedaannya pada upacara kematian ayahnya. Selain ritual di atas, segenap kerabat yang meninggal juga membakar uang-uangan dari kertas dan beberapa perabotan rumah tangga, kendaraan, dan lain sebagianya yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss joss paper. Terlihat dalam kutipan berikut. 155 Ibid., h. 348. 156 Ibid., h. 348. Beberapa pihak keluarga masih melanjutkan membakar uang- uangan dan emas-emasan yang terbuat dari kertas harus dibakar agar almarhuma cukup mendapat “dana” dalam perjalanan menuju nirwana. 157 … Di dalam ruangan, telah tersedia rumah-rumah besar dari kertas. Di dalamnya ada perabotan lengkap. Ada mobil-mobilan. Motor. Ponsel. Televisi. Bahkan DVD player. Semuanya terbuat dari kertas minyak, dengan tongkat-tongkat bambu kecil untuk membentuk benda-benda tersebut agar terlihat sempurna. Semakin kaya seseorang, semakin banyak benda-benda materi yang bisa dibakar. 158 Kutipan di atas menunjukkan tradisi orang Tionghoa ketika melakukan upacara kematian salah satunya adalah membakar uang-uangan dan berbagai perabotan yang terbuat dari kertas minyak atau kertas joss. Kertas joss joss paper, Perkins dalam Dananjaja adalah kertas-kertas yang dicetak seperti uang, pakaian, makanan, serta barang kebutuhan lain. Barang-barang ini akan dibakar dalam upacara pemakaman Tionghoa dengan maksud agar orang yang meninggal dapat memiliki bekal dalam perjalanannya atau ketika bermukim di dunia sana. Upacara pasca kematian yang dijalani oleh anak-anak Nung Atasana, ketika Nung meninggal menimbulkan konflik ketika mereka harus menentukan siapa yang membawa bendera. Menurut aturan, yang harus membawa bendera adalah anak laki-laki yang meninggal dunia, namun Rosilah yang akhirnya membawa bendera tersebut. Berdasarkan analasis tersebut, fungsi upcara pasca kematian ini pada struktur novel adalah sebagai konflik, bukah hanya sebagai latar yang menguatkan tema novel ini. Kebudayaan terbagi menjadi tiga unsur, yaitu tataran ide, aktivitas dan bentuk fisiknya atau artefak. Untuk upacara pasca kematian ini kita bisa memisahkan tataran idenya yaitu, penghormatan terhadap leluhur dan bentuk bakti kepada orang tua. Selama upacara pasca kematian ada beragam aktivitas yang dilakukan anak-anak Nung Atasana, mulai membakar uang-uangan sampai proses pengkremasian. Hal ini termasuk dalam tataran aktivitas. Setelah 157 Ibid., h. 352. 158 Ibid. dikremasi, abu si mati disimpan dalam altar pemujaan atau dalam rumah abu. Hal ini termasuk dalam tataran artefak. Perhatikan kutipan berikut. Tanggal baik untuk menentukan upacara pembakaran segera dicari. Berdasarkan kalender Cina. masih ada enam hari menuju hari itu. Enam hari yang akan diisi dengan deretan doa, penghormatan, dan pantangan untuk melakukan hal-hal duniawi. 159

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di SMA

Kebijakan kurikulum pendidikan di Indonesia yang menggabungkan pelajaran bahasa Indonesia dengan sastra membuat pelajaran sastra seolah dianaktirikan. Nasib mata pelajaran yang tidak memiliki porsinya sendiri bisa ditebak, diajarkan dengan kurang serius dan sambil lalu. Porsi yang sedikit ini kurang lebih 25 dari keseluruhan muatan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia seharusnya digunakan dengan ekstra maksimal. Namun, tidak semua guru bahasa memiliki skill yang cukup mumpuni dalam mengajarkaan sastra di kelas sehingga kadangkala pelajaran ini dihindari oleh guru yang tidak cakap tersebut. Peran guru sebagai eksekutor sangat besar, mengajarkan sastra kepada anak didiknya selain kewajiban, lebih daripada itu tanggung jawab moral. Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra mampu membantu siswa menemukan dirinya, membantu pembentukkan wataknya. Sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, sudah sepatutnya memberikan materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya. Pelajaran sastra di sekolah mempunyai posisi yang strategis sebagai pembentuk kepribadian dan moral siswa. Guru yang kreatif dan cerdas akan memilihkan karya-karya yang baik secara mutu karya dan sesuai dengan kebutuhan siswa juga sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah. Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa. Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang akan diajarkan. 159 Clara Ng, Op. cit., h. 342. Mempelajari kebudayaan tidak melulu melalui datang ke museum atau membaca buku sejarah. Kita bisa memberikan pelajaran kebudayaan kepada siswa melalui novel. Siswa akan lebih mudah memahami kebudayaan-kebudayaan yang disamapikan dalam novel karena bahasa dan unsur cerita yang menarik. Belajar kebudayaan menjadi pengalaman yang menyenangkan ketika disampaikan dengan santai namun serius dalam suasana kelas yang hangat dan bersahabat. Stimulus yang tepat akan menghasilkan respon yang tepat. Rangsang dan arahkan siswa untuk membaca dan memahami secara mendalam novel yang diberikan kepada mereka. Bimbing siswa ke “tempat” yang kita tuju, yaitu ranah kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir. Novel ini berisikan kebudayaan Tionghoa yang menarik untuk dibahas di kelas. Karakter bangsa yang diharapkan akan tumbuh setelah mempelajari novel ini adalah sikap toleransi, saling menghargai, dan sikap empati yang tinggi. Tumbuhkan semangat menghargai perbedaan di kalangan siswa. Tumbuhkan rasa mencintai sesama anak bangsa tanpa membedakan suku, agama, dan hal-hal yang berbau rasis lainnya. Kembangkan jiwa-jiwa toleran pada anak-anak. Beri karya yang ada relevansinya dengan kehidupan mereka. Jangan beri jarak pada karya, libatkan siswa. Novel Dimsun Terakhir cocok diajarkan di tingkat SMA. Di saat usia mereka sudah cukup untuk memahami persoalan sosial dan mampu berpikir serta bertindak kritis. Novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa dan hal positif dari kebudayaan itu sendiri serta keunikan-keunikan dan nilai-niai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Hal ini sesuai dengan kurikulum sastra berkarakter di tingkat SMA. Siswa diajarkan untuk menganalisis nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra novel Indonesia maupun novel terjemahan. Dipilihnya novel Dimsum Terakhir sebagai bahan ajar bukanlah tanpa alasan. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa, tentu saja membuat novel ini memiliki keunggulan jika dijadikan bahan ajar. Siswa sekaligus akan mendapat pengetahuan baru tentang kebudayaan Tionghoa. Seperti kita ketahui bersama, keberadaan etnis Tionghoa masih menjadi problema di mana etnis minoritas ini sampai sekarang pun masih mengalami tindakan rasi s dari mayoritas “pribumi”. 160 Dengan membaca dan memahami novel ini, diharapkan siswa mampu ambil bagian dalam menyikapi persoalan etnis Tionghoa di Indonesia sehingga mereka tidak ikut-ikutan bertindak rasis terhadap mereka. Lebih jauh mereka mampu menularkan pengetahuannya kepada masyarakat sehingga masyarakat juga lebih perhatian terhadap persoalan sosial ini. 160 Baca Benny G. Setiono. Tionghoa dalam Pusaran Politik dan Leo Suryadinata. Dilema Minoritas Tionghoa. 124

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Novel Dimsum Terakhir berlatar kehidupan etnis Tionghoa pascapecah reformasi 1998. Pada era tahun 2000-an ini, pemerintah Indonesia sudah menghapuskan beberapa peraturan kontroversial dan berbau rasisme terhadap etnis Tionghoa. Akan tetapi, perilaku rasis masih kerap terjadi kepada etnis Tionghoa. Novel ini mencerminkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 2000-an dengan beragam kebudayaan yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokohnya. Berdasarkan penelitian, unsur intrinsik yang terdapat dalam novel ini antara lain, 1 tema, 2 alur, 3 sudut pandang, 4 latar, 5 tokoh dan penokohan, 6 gaya bahasa. Unsur intrinsik adalah unsur pembangun yang berada di dalam karya dan memiliki keterkaitan dengan penelitian tentang kebudayaan Tionghoa yang akan dibahas selanjutnya. Berdasarkan penelitian dalam novel, terdapat beragam kebudayaan Tionghoa yang masih dipertahankan oleh tokoh-tokoh di dalamnya dan kebudayaan tersebut juga memengaruhi pola hidup mereka. Di antara banyaknya kebudayaan yang terkandung dalam novel, peneliti telah memilih kebudayaan-kebudayaan yang paling sering muncul dalam cerita dan memiliki makna yang penting bagi tokoh-tokohnya. Kebudayaan tersebut juga dikelompokkan berdasarkan wujud kebudayaannya.

1. Kebudayaan Tionghoa yang Terkandung dalam Novel

a. Imlek

Imlek atau perayaan datangnya musim semi merupakan hari raya paling penting dalam kalender lunar etnis Tionghoa. Imlek dirayakan oleh seluruh etnis Tionghoa di dunia apa pun agamanya. Pada hari raya Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul. Perayaan Imlek menunjukkan semangat kekeluargaan yang kental dan