Etnis Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998

sendiri apa yang akan mereka lakukan untuk mengubah kedudukan atau posisi mereka sebagai kelompok minoritas yang selama ini marjinal atau dimarjinalkan. Upaya yang mereka kemudian lakukan adalah mencoba mengubah kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik, baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan etnis Tionghoa yang bertumbuh setelah peristiwa Mei 98, seperti Perhimpunan Indonesia Tionghoa INTI dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia PSMTI. Dicabutnya Intruksi Presiden Nomor 14 Tahin 1967 tentang Pelarangan Ekspresi Kebudayaan China di Ruang Publik oleh Keputusan Presiden nomer 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta dikeluarkannya UU Kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006, yang menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan warga Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang mereka rasakan, antara lain perayaan Tahun Baru Imlek yang sudah diresmikan pemerintah sebagai hari libur nasional. Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia dianggap sudah lebih terbuka sehingga banyak warga Tionghoa yang optimis bahwa situasi yang ada sudah berubah dan bahwa kesempatan warga Tionghoa untuk terlibat secara politis juga sudah terbuka. Akan tetapi, peraturan diskriminatif masih kerap terjadi. Contohnya peristiwa Pontianak pada acara Imlek Tahun 2008. Saat itu walikota Pontianak mengeluarkan surat keputusnan Nomor 127 Tahun 2008 tentang pelaksanaan prosesi naga yang dibatasi hanya di Stadion Syarif Abdurrahman. Pada era reformasi dan demokrasi ini, geliat etnis Tionghoa mulai terasa. Buku-buku Tionghoa yang pada mulanya dilarang terbit atau dibatasi kini sudah dengan bebas ditulis dan diperjualbelikan secara terbuka. Penerbit papan atas seperti Gramedia kerap menerbitkan buku-buku tentang etnis Tionghoa. Contohnya adalah buku berjudul Tepi Air Shuihu Zhuan yang berisi kisah 108 pendekar, diterbitkan pada 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku lain yang diterbitkan adalah 1421 Saat Cina Menemukan Dunia diterbitkan oleh Alvabet pada Juli 2006. Novel-novel Tionghoa pun mulai diterbitkan. Pada Januari dan Juni 2008, penerbit Hikmah merilis dua novel yakni, Empress Orchid dan sekuelnya The Last Empress karya Anchee Min. Di bidang politik, para warga keturunan pun sudah mulai menunjukkan eksistensinya. Basuki Tjahaya Purnama Zhong Wan Xie 52 atau akrab disebut Ahok, memulai debut politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung periode 2004 –2009 53 kemudian menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005 –2010. Baru menjabat satu tahun Ahok mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada wakilnya Khairul Efendi. Pada 2007 ia mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Belitung namun belum berhasil. Puncak karir politiknya saat ini adalah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012 –2017 bersama Joko Widodo. 54 Selain Ahok, warga keturunan yang mulai menunjukkan eksistensinya di dunia politik adalah Hary Tanoe Sudibjo, bos group MNC ini didaulat menjadi calon wakil presiden dari Partai Hanura mendampingi Wiranto. Sebelumnya Hary Tanoe Soedibjo adalah kader Partai Nasdem. Ia memutuskan pindah ke Partai Hanura pada tahun 2013 55 . Meskipun warga keturunan sudah mulai menunjukkan eksistensinya dalam beberapa bidang, namun perilaku rasis terhadap etnis Tionghoa seperti tidak pernah surut. Kita masih bisa mendengar sebutan rasis bagi etnis Tionghoa yang disebut “Cina” dengan tendensi melecehkan dan diidentikkan dengan sebutan “Cina pelit,” “Cina kafir” dan sebagainya.

E. Sosiologi Sastra

Cabang ilmu sosiologi pertama kali ditemukan oleh Auguste Comte pada pertengahan abad XIX. Comte mencoba menerapkan cara kerja dalam ilmu alam 52 http.forum.kompas.comnasional71843-mengenal-lebih-jauh-sosok-kepemimpinan- ahok-calon-wagub-dki-pendamping-jokowi.html diunduh pada 632014 pukul 7.30 WIB 53 http.profil.merdeka.comindonesiabbasuki-tjahaja-purnama diunduh pada 632014 pukul 7.30 WIB 54 Ibid., 55 http.politik.news.viva.co.idnewsread391005-enam-alasan-hary-tanoe-gabung-ke- partai-hanura diunduh pada 632014 pukul 07.50 WIB untuk memahami masyarakat. Bila ilmu-ilmu alam mempelajari sesuatu yang berada di luar diri manusia, yaitu alam, sosiologi menjadikan manusia itu sendiri. Namun, manusia yang dipelajari bukanlah manusia sebagai mahluk biologis yang dibangun dan diproses oleh kekuatan-kekuatan dan mekanisme-mekanisme fisik kimiawi, bukan manusia yang sepenuhnya mandiri, melainkan manusia sebagai individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan berada di antara manusia-manusia lain, manusia sebagai sebuah kolektivitas, baik yang disebut dengan komunitas maupun sosietas. Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empirik, sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan. Akan tetapi, sebagai sebuah usaha untuk menemukan hukum yang umum, keteraturan-keteraturan dan pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama, yang membuatnya teruji, sosiologi tidak berhenti hanya pada kenyataan keseharian dalam dunia pengalaman langsung saja. Bagaimanapun objek-objek pengalaman langsung cenderung menampakkan diri sebagai sesuatu yang amat bervariasi, seakan senantiasa berubah, tak berpola, tak beraturan, dan hilang sesaat setelah terjadi atau muncul. Pola-pola, keteraturan-keteraturan baru dapat ditemukan apabila sosiologi mampu bergerak melampaui apa yang secara langsung tampak dalam dunia pengalaman dan bergerak msuk ke hukum-hukum atau pola-pola yang umum, abstrak, melalui prosedur-prosedur yang sesuai dengan kaidah- kaidah logika atau rasionalitas. 56 Giddens dalam Faruk menyebut sosiologi sebagai. “… the study of human social life, groups, and societies. It is a dazzling and compelling enterprise, having a its subject matter our own behavior as a social beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis of passing encounters between individuals in the street up to the investigation of global social processes.” 57 Dalam hubungan antara ilmu sosial dalam hal ini sosiologi dan ilmu 56 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012, h. 17. 57 Ibid., h. 18. kesusastraan terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan. Berangkat dari sebuah gagasan “Sastra adalah cerminan masyarakat” melalui corong inilah kemudian sosiologi sastra muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara sastra dan masyarakat. Wellek dan Warren mengemukakan tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, poin pertama adalah sosiologi pengarang, status pengarang dan ideologinya. Ketertarikan masyarakat dalam membaca karya sastra pun dilatarbelakangi oleh ideologi pengarang. Sebab pengarang adalah warga masyarakat ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial, hal ini berkaitan dengan latar tempat pengarang itu tinggal, keluarga, bahkan ekonomi pengarang. Poin kedua adalah isi karya sastra. Dalam isi karya sastra, masyarakat tentunya terpengaruh oleh ideologi pengarang pula sebab ini berkaitan dengan masalah sosial, namun poin ini unsur estetik mengambil bagian besar dimana keindahan yang terkandung dalam sebuah karya dapat berpengaruh kepada pembaca. Poin terakhir adalah pembaca dan dampak sosial karya itu sendiri. Dampak sosial karya, dapat dikatakan bahwa nilai atau norma sepenuhnya dipegang oleh hasil karya dan pembaca. 58 Robert Escarpit dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui berbagai tinjauan sudut pandang, ia coba menjelaskan keterkaitan antara 1 kesustraan dan masyarakat, 2 Sejarah, 3 Politik perbukuan. Hubungan-hubungan ini akan menjelaskan saling keterkaitan antara sastra dan masyarakat sampai sastra dan pengarangnya yang juga bagian dari masyarakat. 59 Karya sastra tidak serta merta lahir begitu saja, sastra tidak berasal dari kekosongan. Adanya sebuah karya menunjukkan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang, ideologinya kah, idealismenya kah, pandangan hidupnya kah atau bahkan pengalaman pribadinya dan hal-hal tendensius lainnya. Pengarang sebagai warga masyarakat juga memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin disampaikan. Melalui sastra hal-hal semacam ini bisa terakomodasi, tertuangkan 58 Rene Weleek dan Austin Warren, Teori Kesusteraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990. 59 Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 dan bisa dinikmati oleh pembaca. Dalam telaah sosiologi, kita bisa mengamati gejala-gejala yang timbul di masyarakat dan meneliti penyebab timbulnya suatu konflik dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengamati pola- pola dalam masayarakat seperti adat istiadat, kultur atau kebuadayaan dan bagaimana kebudayaan tersebut lekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingwood dalam Sapardi, mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja. Diingatkannya bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “sastra adalah cerminan masyarakat”. Selanjutnya diingatkan bahwa slogan itu melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Swingwood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cerminan masyarakatnya, apakah pencerminan itu secara murni? 60 Swingwood agaknya ingin sedikit merevisi pernyataan “sastra adalah cerminan masyarakat” mengingat banyak kepentingan dalam kemunculan sebuah karya. Masyarakat yang ingin ditampilkan pengarang adalah masyarakat yang sejalan dengan ideologi pengarang. Kenyataan inilah yang coba dipertanyakan kembali oleh Swingwood terlepas dari sastra yang tidak pernah sekali pun berasal dari kekosongan. “Sastra merupakan cerminan masyarakat” dan “sastra tidak berasal dari kekosongan”, berlandaskan pernyataan inilah peneliti coba mengkaji sebuah novel karya Clara ng yang berjudul Dimsum Terakhir dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah diharapkan bermanfaat untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata. Sastra memiliki relevansi dengan dunia nyata. Untuk itu, pengajaran sastra di sekolah harus kita pandang sebagai 60 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Satsra, Ciputat. Editum, 2009, h. 19.