Tokoh dan Penokohan Kajian Struktural

b. Objective point of view, yaitu pengarang menyuguhkan cerita tanpa komentar, seperti pada omniscient of view. Penyuguhan itu seperti pementasan tonil. Pengarang tidak masuk dalam pikiran para pelaku. Walaupun kedua sudut pandang ini hampir sama, tetapi pada dasarnya kenyataan yang dihadapi manusia dalam realitas keseharian orang yang satu hanya bisa melihat atau menikmati apa yang diperbuat oang lain. Dengan melihat itu, pengarang menilai tokoh dari sudut kejiwaan, kepribadian, jalan pikiran, perasaan, dan sebagainya. Motif tindakan pelaku dinilai dari perbuatan itu dan pembaca menafsirkan seluruh paparan pengarang. c. Point of view orang pertama, yaitu menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Teknik ini dapat akrab sekali, karena pembaca diajak ke pusat kejadian, ke asal peristiwa, untuk ikut serta melihat dan merasakan apa yang terjadi. Dengan teknik ini, pengarang harus hati-hati agar tidak terjadi pencampuran antara pandangan pribadi pengarang dengan tokohnya. Pengarang harus mengadakan penelitian dan observasi yang matang agar tidak terjadi kerancuan antara dirinya sebagai pengarang dan “aku” atau “saya” yang merupakan tokoh cerpen. d. Point of view peninjau. Teknik ini digunakan pengarang dengan memilih salah satu tokoh untuk memaparkan cerita. Seluruh kejadian yang muncul dalam jalinan cerita didapatkan dari tokoh. Tokoh dapat memaparkan semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman seseorang. Biasanya segala sesuatu yang menyangkut pengalaman pribadi tokoh dapat diutarakan secara langsung, tetapi tokoh utama hanya melaporkan saja tokoh-tokoh lainnya. 14 Novel Dimsum Terakhir menggunakan sudut pandang Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Pengarang bertindak seolah Tuhan yang tahu segalanya bahkan sampai ke dalam perasaan tokoh- tokohnya. Pengarang berada di luar cerita sehingga ia mampu menceritakan 14 Ibid., h. 6 –7. kesuluruhan cerita dengan leluasa.

5. Plot

Yahya Ismail dalam Rampan, mengatakan plot ialah suatu yang menghubungkan antara pristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita itu. Hubungan antara pristiwa dalam cerita hendaklah berdasarkan hukum sebab akibat. Hubungan sebab akibat dapat dilihat dari contoh berikut ini. “Raja lalim meninggal dan rakyat jelata, karena kegembiraan mereka, lalu berpesta pora.” Dalam dua peristiwa dan dua kenyataan ini, terdapat hubungan yang erat. Hubungan ini diadakan faktor sebab akibat dan juga faktor urutan waktu. Pada kenyataan inilah terdapat plot. 15 Stanton dalam Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam Nurgiyantoro mengemukakan hal senada, plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. 16

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. 17 Bisa dikatakan bahwa karakter pengarang dapat diketahui melalui gaya atau style-nya dalam bercerita maupun dalam memilih kata. Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, 15 Ibid., h. 4. 16 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 113. 17 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, h. 113.