Perkembangan Desa Meranti Pasca Menjadi Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Asahan Tahun 1982-1990

(1)

PERKEMBANGAN DESA MERANTI PASCA MENJADI IBU KOTA

KECAMATAN DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 1982-1990

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O l e h

Handoko

Nim: 050706018

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERKEMBANGAN DESA MERANTI PASCA MENJADI IBU KOTA

KECAMATAN DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 1982-1990

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O l e h

Handoko

Nim: 050706018 Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum Nip 195707161985031003

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERKEMBANGAN DESA MERANTI PASCA MENJADI IBU KOTA

KECAMATAN DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 1982-1990

Yang diajukan oleh Nama : Handoko

Nim : 050706018

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh

Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji M.Hum Tanggal

Nip 195707161985031003

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap S.U Tanggal

Nip 195406031983032001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERKEMBANGAN DESA MERANTI PASCA MENJADI IBU KOTA

KECAMATAN DI KABUPATEN ASAHAN TAHUN 1982-1990

Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O

l e h

Handoko

Nim: 050706018 Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum Nip 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU, untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap S.U Nip 195406031983032001


(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada :

Hari :

Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A,.Ph.D Nip 196509091994031004

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. Dra. Fitriaty Harahap, S.U (...) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (...) 3. Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum (...)


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan rasa syukur dipersembahkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan karunia dengan tidak terhingga berupa petunjuk, kekuatan, pertolongan, maupun taufik dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan meskipun banyak hambatan dan tantangan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih sangat sederhana, namun tanpa bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak, skripsi ini pasti tidak akan dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tersayang, yang telah mencurahkan kasih dan sayangnya dalam mendidik, merawat dan membesarkan ananda, serta kakanda, abangda, dan adiknda tercinta yang telah memberikan dorongan pada ananda sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Pimpinan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan selama mengikuti perkuliahan.

3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, sebagai Ketua Departemen Ilmu Sejarah yang telah memberikan bantuannya pada penulis.

4. Bapak Drs. Wara Sinuhaji M.Hum, selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan dorongan serta semangat dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum yang telah memberikan perhatian beserta nasihat – nasihat kepada penulis pada masa – masa perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar khususnya dosen pada Departemen Ilmu Sejarah yang telah bersedia mentrasferkan ilmunya kepada penulis, serta Staf Administrasi Depatemen Ilmu Sejarah (Bang Ampera) yang telah banyak


(8)

membantu penulis dalam menyelesaikan hal – hal yang berkenaan dengan administrasi pendidikan dari awal hingga akhir kuliah.

7. Berbagai pihak yang berada pada dinas – dinas Kabupaten Asahan serta staf pegawai Kecamatan Meranti dan para informan yang telah memberikan bantuan serta berbagai informasi yang berhubungan dengan skripsi ini, dengan bantuan tersebutlah skripsi ini dapat selesai.

8. Para sahabat di jurusan Ilmu Sejarah semua, terkhusus stambuk 2005 seperti Edi Handoko, Noviyanti, Muhammad Rasyd, Dina Yuliandari, Dwi Apriliananda, Firmansyah, Siti Aisyah serta stambuk 2006 seperti Ramlan dan Degem yang selalu menemani serta membantu penulis selama masa – masa perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

9. Keluarga besar H. Mulia Siregar, yang penulis anggap seperti orang tua sendiri yang telah memberikan perhatian serta tempat di dalam lingkungan keluarga. Semoga budi baik seluruh kelurga mendapat balasan dari Allah SWT.

Dengan segala kerendahan hati, penulis juga turut mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang belum disebutkan atas kontribusinya dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas semua budi dan kebaikan yang telah diberikan dengan balasan yang setimpal. Sebagai manusia biasa, penulis juga tidak luput dari kesalahan – kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis menghaturkan permintaan maaf bila ada penulisan, kata – kata, dan perbuatan yang tidak berkenan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat pagi para pembaca.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(9)

ABSTRAK

Desa Meranti merupakan salah satu tempat bagi masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Desa yang beridiri sekitar tahun 1800-an ini dibuka pertama sekali oleh suku Melayu y1800-ang dat1800-ang dari arah utara (Kesult1800-an1800-an Lima Laras) di Batu Bara. Kedatangan suku Melayu di Desa Meranti (Meranti Lama sekarang) merupakan jalan yang mereka anggap terbaik untuk dapat melanjutkan kehidupan mereka. Desa Meranti tidak hanya dihuni oleh orang-orang dari suku Melayu tetapi juga dari suku Jawa yang mulai membuka lahan pada tahun 1932.

Sebelum Desa Meranti menjadi ibu kota Kecamatan di Kabupaten Asahan, Desa Meranti merupakan salah satu daerah yang masuk dalam wilayah teritorial Kecamatan Kisaran. Dalam perkembangannya, Kota Kisaran dibagi menjadi tiga kecamatan baru yaitu; Kecamatan Kisaran Timur; Kecamatan Kisaran Barat; dan Kecamatan Meranti. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982 (Pasal 5 Ayat 2) maka Desa Meranti masuk dalam wilayah Kecamatan Meranti sekaligus terpilih sebagai ibu kota Kecamatannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Desa Meranti setelah terpilih sebagai ibu kota Kecamatan terus melakukan pembangunannya dari berbagai sektor. Diantara berbagai sektor yang dibangun, adalah sektor pendidikan; sektor infrastruktur; dan sektor pertanian yang paling signifikan perkembangannya. Berbagai perkembangan yang dicapai oleh Desa Meranti itu sendiri tidak terlepas dari potensi dari desa itu sendiri, baik potensi fisik maupun non-fisik.

Demikianlah penulis mencoba menggambarkan perkembangan Desa Meranti pasca menjadi ibu kota Kecamatan di Kabupaten Asahan tahun 1982-1990. Penulis berkeyakinan bahwa apa yang telah dicapai oleh Desa Meranti (tahun 1982-1990) bukan merupakan suatu kebetulan belaka. Keberhasilan tersebut merupakan sebuah proses yang terus berlangsung secara dinamis. Untuk keberhasilan selanjutnya, sudah sepantasnya masyarakat Desa Meranti terus berbenah diri dalam menghadapi era perkembangan jaman yang semakin pesat dan kompetitif.


(10)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH... i

ABSTRAK... iii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah... 4

1.3Tujuan dan Manfaat... 5

1.4Tinjauan Pustaka... 6

1.5Metode Penelitian... 9

BAB II DESA MERANTI SEBELUM TAHUN 1982... 11

2.1 Letak dan Geografis... 11

2.2 Latar Belakang Historis... 12

2.3 Jumlah Penduduk... 16

2.4 Mata Pencaharian Penduduk... 20

2.5 Pendidikan... 22

2.6 Infrastruktur... 25

2.6.1 Infrastruktur Jalan... 26

2.6.2 Infrastruktur Jaringan Listrik... 27

2.7 Keadaan Sosial Dan Budaya... 28


(11)

BAB III DESA MERANTI MENJADI IBU KOTA KECAMATAN

TAHUN 1982... 35

3.1 Latar Belakang Pembentukan Kecamatan Meranti... 35

3.2 Langkah – langkah Persiapan Pembentukan Kecamatan Meranti... 41

3.3 Alasan Dipilihnya Desa Meranti Menjadi Ibu Kota Kecamatan... 45

3.3.1 Potensi Fisik Desa Meranti... 46

3.3.2 Potensi Non-Fisik Desa Meranti... 50

BAB IV PERKEMBANGAN DESA MERANTI PASCA MENJADI IBU KOTA KECAMATAN TAHUN 1982-1990... 51

4.1 Perkembangan Jumlah Penduduk... 51

4.2 Perkembangan Mata Pencaharian... 56

4.3 Perkembangan Pendidikan... 59

4.4 Perkembangan Infrastruktur... 62

4.4.1 Perkembangan Infrastruktur Jalan... 63

4.4.2 Perkembangan Infrastruktur Jaringan Listrik... 64

4.5 Perubahan Sosial Dan Budaya... 65

4.6 Perkembangan Tata Ruang... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 73

5.1 Kesimpulan... 73

5.2 Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA... 77

DAFTAR INFORMAN... 79 LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Desa Meranti merupakan salah satu tempat bagi masyarakat yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Desa yang beridiri sekitar tahun 1800-an ini dibuka pertama sekali oleh suku Melayu y1800-ang dat1800-ang dari arah utara (Kesult1800-an1800-an Lima Laras) di Batu Bara. Kedatangan suku Melayu di Desa Meranti (Meranti Lama sekarang) merupakan jalan yang mereka anggap terbaik untuk dapat melanjutkan kehidupan mereka. Desa Meranti tidak hanya dihuni oleh orang-orang dari suku Melayu tetapi juga dari suku Jawa yang mulai membuka lahan pada tahun 1932.

Sebelum Desa Meranti menjadi ibu kota Kecamatan di Kabupaten Asahan, Desa Meranti merupakan salah satu daerah yang masuk dalam wilayah teritorial Kecamatan Kisaran. Dalam perkembangannya, Kota Kisaran dibagi menjadi tiga kecamatan baru yaitu; Kecamatan Kisaran Timur; Kecamatan Kisaran Barat; dan Kecamatan Meranti. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982 (Pasal 5 Ayat 2) maka Desa Meranti masuk dalam wilayah Kecamatan Meranti sekaligus terpilih sebagai ibu kota Kecamatannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Desa Meranti setelah terpilih sebagai ibu kota Kecamatan terus melakukan pembangunannya dari berbagai sektor. Diantara berbagai sektor yang dibangun, adalah sektor pendidikan; sektor infrastruktur; dan sektor pertanian yang paling signifikan perkembangannya. Berbagai perkembangan yang dicapai oleh Desa Meranti itu sendiri tidak terlepas dari potensi dari desa itu sendiri, baik potensi fisik maupun non-fisik.

Demikianlah penulis mencoba menggambarkan perkembangan Desa Meranti pasca menjadi ibu kota Kecamatan di Kabupaten Asahan tahun 1982-1990. Penulis berkeyakinan bahwa apa yang telah dicapai oleh Desa Meranti (tahun 1982-1990) bukan merupakan suatu kebetulan belaka. Keberhasilan tersebut merupakan sebuah proses yang terus berlangsung secara dinamis. Untuk keberhasilan selanjutnya, sudah sepantasnya masyarakat Desa Meranti terus berbenah diri dalam menghadapi era perkembangan jaman yang semakin pesat dan kompetitif.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Penulisan sejarah adalah penulisan tentang kejadian–kejadian pada masa lampau, yang tidak terlepas dari gambaran suatu masyarakat umum dengan berbagai aspek kehidupan termasuk ekonomi, politik, religius, dan kesenian yang mencakup unsur– unsur kebudayaan masyarakat1

Desa Meranti adalah salah salah satu dari sekian banyak desa yang terdapat di Indonesia. Desa Meranti sebelum tahun 1982 merupakan sebuah kawasan yang terletak di wilayah Kecamatan Kisaran. Pada masa berada di wilayah Kecamatan Kisaran, Desa Meranti masih merupakan sebuah daerah yang agak tertinggal. Keadaan ini tidak membuat para aparatur Pemerintahan Desa Meranti berdiam diri, karena letaknya yang berada di tengah–tengah desa lain. Letaknya yang berada tepat di tengah desa sekelilingnya serta berada di jalur lalu–lintas yang strategis ini membuat Desa Meranti secara perlahan mengalami kemajuan pada tahun–tahun berikutnya.

.

Dalam hal ini dapat diamati bagaimana seseorang memberikan pandangannya atas perkembangan umat manusia dalam sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mengamati proses perkembangan itu, tentunya salah satu yang turut memegang peranan cukup penting adalah keberadaan sebuah desa. Desa dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah memberikan andil yang cukup berarti dalam memperkaya proses perkembangan umat manusia.

1

Sartono Kartodirejo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 153


(14)

Karena letaknya yang strategis, Desa Meranti menjadi salah satu jalur utama menuju ke kota dan ke daerah lainnya. Bagi masyarakat yang akan melakukan aktifitas sehari-hari, baik aktifitas transaksi perdagangan, transportasi, dan lain–lain jalur lalu–lintas dari Desa Meranti merupakan pilihan utama. Akibat yang muncul dari letak yang strategis ini telah mendatangkan berkah tersendiri bagi masyarakat Desa Meranti. Selain menjadi lebih ramai dibanding desa lainnya juga telah menumbuhkan sektor perdagangan khususnya di Desa Meranti.

Pada tahun 1982 Kecamatan Kisaran dibagi menjadi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kisaran Timur, Kecamatan Kisaran Barat, dan Kecamatan Meranti. Pembagian Kecamatan Kisaran menjadi tiga wilayah tersebut sesuai dengan usulan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Asahan Nomor 16040/2-3339/4-1980 tentang pembagian wilayah. Pembagian wilayah ini berawal dari rencana pembentukan Kota Administratif Kisaran.

Berdasarkan usulan tersebut yang dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982, maka sejak tahun tersebut Desa Meranti masuk ke dalam wilayah Kecamatan Meranti. Kelebihan Desa Meranti yang letaknya sangat strategis membuatnya terpilih sebagai ibu kota Kecamatan Meranti. Dengan terpilihnya Desa Meranti sebagai ibu kota Kecamatan Meranti, tentunya telah menjadi sebuah anugerah sekaligus keuntungan tersendiri bagi desa tersebut khususnya masyarakat Desa Meranti.

Dalam perkembangannya, setelah Desa Meranti terpilih menjadi ibu kota Kecamatan Meranti telah menunjukkan tanda–tanda pembangunan. Berbagai fasilitas umum dan infrastruktur mulai dipugar dan dibangun. Kondisi tersebut tentunya dilakukan guna untuk menunjang segala proses administratur pemerintahan yang baru saja


(15)

terbentuk. Perkembangan ini tentunya tidak terlepas dari keberadaan Pusat Pemerintahan Kecamatan Meranti tersebut. Sejauh pengamatan penulis, bahwa dari berbagai pembangunan yang telah dilakukan tersebut kiranya sudah dapat dikatakan sebuah kemajuan dan perkembangan yang cukup berarti.

Skripsi ini membahas tentang perkembangan Desa Meranti setelah menjadi ibu kota Kecamatan Meranti khususnya pada tahun 1982–1990 . Periode tahun 1982 sebagai awal dari penulisan skripsi ini, diambil karena pada angka tahun tersebutlah Desa Meranti ditetapkan menjadi ibu kota Kecamatan Meranti. Kecamatan Meranti sendiri adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Kisaran, bersamaan dengan Kecamatan Kisaran Timur dan Kecamatan Kisaran Barat2. Sedangkan periode tahun 1990 sebagai akhir dari penulisan ini, karena penulis merasa selama kurun waktu delapan tahun tersebut Desa Meranti telah menunjukkan perkembangannya. Skop spasial dari penelitian ini adalah Desa Meranti Kecamatan Meranti Kabupaten Asahan. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka penelitian ini akan diberi judul ”Perkembangan Desa Meranti Pasca

Menjadi Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Asahan Tahun 1982–1990”.

2

Kecamatan Kisaran Timur dan Kecamatan Kisaran Barat masuk dan dibawah pemerintahan wilayah Kota Administratip Kisaran, sedangkan Kecamatan Meranti masuk dalam dan di bawah wilayah Kabupaten Asahan.


(16)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari pada penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Dengan adanya akar permasalahan, maka akan dapat dilakukan penelitian, bahkan penelitian menjadi lebih terarah serta dapat berkembang sesuai dengan apa yang ingin penulis harapkan. Akar permasalahan dianggap penting karena didalamnya telah terdapat konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan.

Sesuai dengan judulnya ”Perkembangan Desa Meranti Pasca Menjadi Ibu

Kota Kecammatan Di Kabupaten Asahan Tahun 1982–1990”, maka dibuatlah suatu

batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis merunutkan beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ke beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana keadaan Desa Meranti Kecamatan Meranti sebelum tahun 1982? 2. Mengapa Desa Meranti dapat terpilih menjadi ibu kota Kecamatan Meranti? 3. Bagaimana perkembangan Desa Meranti setelah menjadi ibu kota Kecamatan

Meranti dalam kurun waktu 1982–1990?

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan pokok–pokok permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini. Dalam uraiannya, objek sentral penelitian penulis tetap bertumpu pada letak ibu kota Kecamatan Meranti yang mana hal tersebut membawa dampak positif terhadap Desa Meranti. Apabila dalam penjelasan seolah–olah keluar dari objek, hal tersebut semata–mata guna lebih mendukung penjelasan terhadap objek utamanya yaitu perkembangan Desa Meranti setelah menjadi ibu kota Kecamatan Meranti.


(17)

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah mengetahui apa yang menjadi pokok permasalahan yang dikembangkan oleh penulis, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini serta manfaat apa yang dapat dipetik.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Menguraikan keadaan Desa Meranti sebelum memasuki tahun 1982.

2. Menjelaskan proses terpilihnya Desa Meranti sebagai ibu kota Kecamatan Meranti.

3. Menguraikan perkembangan Desa Meranti setelah menjadi ibu kota Kecamatan Meranti dalam kurun waktu 1982–1990.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi masyarakat Desa Meranti, semoga kedepannya masyarakat Desa Meranti dapat lebih maju dan makmur lagi, Sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam tubuh desa itu sendiri.

2. Untuk pemerintah, kiranya penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam mengungkap kendala serta memajukan sektor pembangunan desa–desa. Khususnya untuk Pemerintah Kabupaten Asahan agar lebih gigih dan tanggap dalam merespon permasalahan yang ada di desa–desa terutama pada era Otonomi Daerah yang semakin gencar gaungnya.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.


(18)

1.4 Tinjauan Pustaka

Untuk dapat menyusun tinjauan kepustakaan yang baik, maka diusahakan pengumpulan sumber/referensi sebanyak-banyaknya, serta harus relevan dengan topik masalah yang ditulis. Selanjutnya adalah melakukan seleksi sebelum dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

Dalam hal ini buku yang menguraikan tentang latar belakang Desa Meranti di Kecamatan Meranti sama sekali tidak ditemukan penulis, sebab penulisan tentang permasalahan ini khususnya Desa Meranti baru pertama kali dilakukan yaitu oleh penulis sendiri. Beberapa buku yang dikemukakan dalam mendukung penelitian ini yang dapat dijadikan referensi adalah sebagai berikut:

B.N. Marbun SH dalam bukunya ”Proses Pembangunan Desa: Menyongsong

Tahun 2000” mengatakan, bahwa pemikiran dan pengamatan yang agak mendesak ialah

bagaimana menciptakan kemampuan para pelaksana pembangunan desa, karena pada dasarnya mereka merupakan ujung tombak ukuran keberhasilan pembangunan Indonesia. Justru merekalah yang menentukan apakah Pelita mencapai sasarannya atau tidak. Dengan kata lain, merekalah yang menjadi penentu berhasil tidaknya pembangunan Nasional. Di tangan merekalah terletak masa depan 75% nasib Bangsa Indonesia, yaitu nasib 121 juta lebih penduduk yang tinggal di desa (data hasil sensus tahun 1985 yang diterbitkan BPS, Januari 1987).3

Dengan semakin tingginya tingkat kemampuan para pelaksana pembangunan desa dalam memberikan berbagai pelayanan dan penyuluhan maka perkembangan desa-desa yang diharapkan adalah suatu keniscayaan. Maka dari itu pula peran aktif nyata dari

3

B.N. Marbun SH, Proses Pembangunan Desa (Menyongsong Tahun 2000), Jakarta: Erlangga, 1988, hlm. x.


(19)

pihak pemerintah sangat diperlukan. Masyarakat desa sendiri juga patut untuk berpartisipasi pula dalam menyambut setiap program pembangunan desa yang digulirkan pemerintahan. Dengan demikian pembangunan desa akan berjalan efektif dan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Hartati Prawironoto, dkk, menghimpun sebuah buku yang berjudul ”Peranan

Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Jawa Tengah”. Dalam buku tersebut

disebutkan bahwa keberadaan pasar pada suatu kawasan, besar kecilnya akan membawa perubahan kerangka acuan berpikir masyarakat yang ada dalam kawasan tersebut. Besar kecilnya perubahan kerangka acuan pemikiran masyarakat juga tergantung besar kecilnya nilai pasar yang ditempatkan di kawasan itu. Nilai pasar dapat dipandang sebagai nilai kuantum, yakni besar kecilnya pola interaksi pada pasar tersebut yang ternyata akan menyangkut besar kecilnya kadar pasar yang ditempatkan di kawasan tersebut.4

Madekhan Ali, menyebutkan dalam bukunya yang berjudul ”Orang Desa: Anak

Tiri Perubahan”, bahwa semasa rezim Orde Baru, persoalan kemiskinan pedesaan

hanya direduksi sebagai persoalan ekonomi semata. Padahal sebagai sebuah proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Jumlah penduduk yang terus berambah tetapi tidak diimbangi dengan bertambahnya tanah telah

Dari tolok ukur di atas dapat disimpulkan bahwa penempatan pasar pada suatu kawasan dengan kadar tertentu, maka fungsinya sebagai pusat ekonomi dan pusat budaya akan berbeda dengan pasar pada kawasan lain dengan kadar tertentu pula.

4

Hartati Prawironoto, dkk, Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Jawa Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1992, hlm. 91–92.


(20)

menyebabkan semakin berkurangnya tanah yang dapat dimiliki petani kecil sehingga terjadi sebuah kemiskinan yang terbagi.5

Dari uraian yang diungkapkan oleh Madekhan Ali di atas jelas sekali bahwa pada masa Orde Baru orang–orang desa hanya sekedar diposisikan sebagai objek yang berorientasi pada target, misalnya program swasembada pangan yang mengadopsi program kapitalisasi pertanian dengan menerapkan Inmas dan Bimas. Pemerintahan desa diharuskan mencapai target–target yang ditentukan dari atas untuk menekan petani– petani di wilayahnya melaksanakan pola pertanian yang didasarkan pada target semata.

Orang–orang desa harus berhadapan dengan ahli dan perencana pembangunan yang pongah. Ditengah kesadaran bahwa orang–orang desa telah lekat dengan identitas bawah, maka Madekhan Ali berusaha menunjukkan premis–premis optimisme. Bahwa desa yang selalu rentan terhadap pembodohan dan pemiskinan struktural akan mampu bangkit dengan inisiatif orang–orangnya.

5


(21)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah, metode penelitian adalah suatu hal yang tidak dapat dinafikan. Demikian pula dalam penelitian sejarah, haruslah memakai metode sejarah. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses penguji dan menganalisis secara kritis atas rekaman dan peninggalan masa lampau.6

1. Heuristik: yaitu mengumpulkan data–data dan sumber–sumber baik tertulis maupun lisan melalui studi kepustakaan (library research) serta studi lapangan (field research). Studi kepustakaan yaitu berusaha mengumpulkan data melalui berbagai buku, arsip, dokumen, majalah, artikel, dan media elektronik (internet) yang dianggap mempunyai kaitan dan dapat membantu penulis untuk memahami permasalahan. Studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan wawancara terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mampu memberikan masukan yang cukup sebagai sumber penelitian. Wawancara ini memakai teknik wawancara terbuka dan wawancara terstruktur.

Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum dalam metode sejarah sangat membantu setiap penulis dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah berlalu.

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni:

2. Kritik Sumber: yaitu cara penulis mendapatkan petunjuk atas nilai kebenaran dan keaslian data maupun sumber yang diperoleh. Adapun nilai–nilai tersebut menjadi suatu tolok ukur dalam melakukan suatu kritik, baik itu secara internal maupun eksternal dari sebuah sumber. Kritik internal, yakni menelaah tentang kebenaran

6

Tentang Metode Sejarah lihat Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI-Press, 1985 hlm. 18–19.


(22)

isi atau fakta dari sumber–sumber objek penelitian. Kritik ekternal, yakni dengan cara pengujian guna untuk menentukan keaslian sumber.

3. Interpretasi: yaitu tahap penafsiran atau menganalisa data-data yang diperoleh sehingga melahirkan suatu analisa baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang akan diteliti. Objek kajian yang cukup jauh kebelakang membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapat fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data–data informasi yang dapat dipercaya dari bahan–bahan yang ada.

4. Historiografi: merupakan tahap akhir dalam penulisan, atau dapat juga dikatakan dengan penulisan akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta–fakta, dilakukan dengan sistematis dan kronologis. Dalam penulisan sejarah ini aspek kronologis menjadi sangat penting untuk menghasilkan karya sejarah yang ilmiah dan objektif.


(23)

BAB II

DESA MERANTI SEBELUM TAHUN 1982

2.1 Letak Dan Geografis

Desa Meranti merupakan salah satu desa di antara 22 desa yang ada di Kecamatan Kisaran Kabupaten Asahan yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa, dan lebih kurang 80% memeluk agama Islam, sedangkan selebihnya 20% beragama Kristen. Letak desa tersebut dari ibu kota Kecamatan Kisaran lebih kurang 10 kilometer, sedangkan jarak desa dengan ibu kota propinsi (Sumatera Utara) adalah 160 kilometer. Jarak Desa Meranti dari jalan besar yang menghubungkan Kota Kisaran dengan Kota Lima Puluh sekitar 2 kilometer. Di kiri kanan jalan menuju desa tersebut terdapat lahan persawahan. Lahan persawahan inilah yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat desa Meranti. Letak Desa Meranti membujur dari timur ke barat.

Luas wilayah Desa Meranti lebih kurang 1.290 Ha. Keadaan alamnya terdiri dari dataran rendah yang memiliki ketinggian lebih kurang 6 meter di atas permukaan laut dengan temperatur 24OC–26OC. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah hitam dan

sebagian lagi tanah liat bercampur pasir. Keadaan alam yang demikian sangat memungkinkan masyarakat untuk bercocok-tanam. Tanaman utama yang ditanam masyarakat Desa Meranti adalah padi. Kegiatan bercocok tanam di Desa Meranti ini ditunjang oleh sebuah sungai (Sungai Serani) yang mengalir dari Desa Pondok Bunga ke arah Desa Rawang Panca Arga yang mengaliri lahan persawahan masyarakat desa tersebut.


(24)

Adapun batas–batas wilayah Desa Meranti adalah:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rawang Lama (Panca Arga) dan Desa Sei Beluru.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sei Balai dan Desa Pondok Bunga. - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sungai Beluru.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rawang Lama dan Desa Rawang Psr.IV.

2.2 Latar Belakang Historis

Tumbuhnya desa-desa di Indonesia mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yang memiliki keunikan–keunikan yang senantiasa menutupi kisah sejarah perkembangannya. Perkembangan antara satu desa dengan desa lain pada dasarnya tidak selalu sama, karena ada yang lambat dan ada yang cepat; hal ini tergantung dari faktor alam dari desa serta tindak tanduk atau tingkah laku dari masyarakat itu sendiri.

Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan orang pertama datang ke Desa Meranti, menurut keterangan yang berhasil dihimpun dari beberapa informan,7

7

Salah satu informan yang memberi kontribusi besar dalam memberikan informasi tentang kedatangan pertama orang–orang ke Desa Meranti adalah Bapak H. Abdurrahman. Beliau adalah anak dari suku Melayu yang pertama sekali datang ke Desa Meranti.

Desa Meranti terbentuk sekitar tahun 1800-an. Menurut cerita dari tokoh masyarakat, bahwa pada tahun 1800-an telah terjadi kekacauan terhadap Kesultanan Lima Laras di Batu Bara. Akibat ketidakstabilan tersebut, sebagian masyarakatnya (suku Melayu) bermigrasi ke tempat yang lebih aman dengan menyusuri Sungai Serani kearah Selatan. Hingga akhirnya mereka tiba pada satu daerah yang mereka anggap cocok untuk berlindung dan mendirikan perkampungan. Daerah tersebut adalah Meranti (Meranti Lama sekarang) daerah ini merupakan perkampungan pertama sekaligus perintis Desa Meranti. Dengan


(25)

sabar dan perlahan mereka membuka lahan di sekitar sungai tersebut untuk bercocok tanam serta membangun rumah–rumah sederhana yang berbentuk panggung.

Pada tahun 1932, beberapa penduduk dari suku Jawa juga datang membuka lahan dengan jarak sekitar 4 kilometer dari wilayah suku Melayu yang pertama datang. Orang-orang dari suku Jawa ini berasal dari buruh perkebunan yang berbatasan langsung dengan Desa Meranti. Menurut informan,8

8

Bapak Bori adalah salah satu tokoh dari suku jawa yang turut membuka lahan pada tahun 1932 bersama 5 orang temannya.

mereka membuka lahan setelah pulang bekerja dari perkebunan. Lahan yang mereka buka berada tepat di sisi sebelah perkebunan, sehingga perkampungan mereka diberi nama Kampung Tempel. Butuh waktu tiga tahun bagi para penggarap awal dari suku Jawa ini untuk mulai bisa memanfaatkannya menjadi lahan pertanian.

Setelah pembukaan lahan yang diawali oleh orang-orang dari suku Melayu dan di susul oleh orang-orang dari suku Jawa selama bertahun-tahun, maka penduduk daerah lain mulai berdatangan, tidak terkecuali dari suku Batak pada tahun 1970-an. Adapun yang paling banyak datang di kemudian hari adalah orang-orang dari suku Jawa. Orang-orang dari suku Jawa ini datang setelah masa kontraknya dengan perkebunan habis. Selain karena ketidakpastian hidup, juga tidak memiliki biaya untuk kembali ke pulau Jawa, maka mereka mencari tempat yang dapat dijadikan tumpuan hidup. Dalam hal ini khususnya Desa Meranti tidak lepas dari perhatian mereka sebagai pilihan untuk melanjutkan perjuangan hidup mereka. Orang-orang suku Jawa ini kemudian mendirikan rumah-rumah sederhana pada wilayah yang lebih terbuka, yaitu pada daerah tanaman alang-alang liar dan diberi nama Kampung Pematang Lalang (Desa Meranti sekarang).


(26)

Menurut informasi yang penulis dapat pada saat wawancara, asal-usul nama Desa Meranti diambil dari nama pohon Meranti yang banyak tumbuh di desa tersebut. Nama Desa Meranti sebelumnya adalah Pematang Lalang, karena perkampungan tersebut berdiri di atas lahan alang-alang. Melihat banyaknya pohon Meranti yang tumbuh serta kenyataan sifat dan karakter dari pohon Meranti maka nama perkampungan itu diganti namanya menjadi Desa Meranti. Makna dari pohon Meranti adalah ulet, kuat, dan tahan lama.

Penduduk Desa Meranti pada masa pemerintahan Kolonial Belanda maupun pada masa Pendudukan Jepang mengalami krisis pangan; terutama sekitar tahun 1943. Tentara Jepang memaksa masyarakat Desa Meranti untuk menanam tanaman pangan yang mereka butuhkan seperti padi, sedangkan masyarakat hanya memakan buah ubi. Dengan kejadian itu masyarakat Desa Meranti mulai berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan pemerintah Jepang yang sewenang–wenang tersebut. Seiring dengan proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tahun 1945, maka cepat atau lambat keadaan masyarakat akan menjadi pulih kembali khusunya masyarakat Desa Meranti.

Keadaan masyarakat pasca penjajahan yang bila dilihat dari sisi ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan memang belum pulih secara total, namun demikian haruslah dilakukan pembenahan agar kondisi demikian tidak berlarut–larut. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah dari sisi pembangunan infrastruktur jalan guna untuk memperlancar arus transportasi. Dengan lancarnya arus transportasi maka akan berdampak pada kuatnya gerak ekonomi masyarakat itu sendiri khususnya masyarakat Desa Meranti. Lancarnya sistem tranportasi yang diiringi dengan gerak ekonomi yang cepat akan berdampak pula pada kesejahteraan masyarakat.


(27)

Seiring dengan perubahan yang terjadi pada sistim transportasi di daerah–daerah Sumatera terkhusus pada Desa Meranti sendiri, dari sistim trasportasi air ke transpotasi darat, maka pada tahun 1950 masyarakat secara bertahap dan bergotong–royong membuat dan memperlebar jalur transportasi darat dari satu perkampungan ke perkampungan lain sebagai sarana penghubung. Jalur transportasi darat yang berhasil mereka buat tersebut menghubungkan tiga perkampungan. Jalur tersebut yaitu Perkampungan Suku Melayu (di sisi Sungai Serani) - Desa Meranti - Perkampungan Suku Jawa (disisi perkebunan). Total jalur yang berhasil dibuat tersebut pada masa itu lebih kurang sepanjang 4,6 kilometer.

Keberhasilan masyarakat dalam membangun dan mengembangkan jalur transportasi darat tersebut tidak terlepas dari kerja keras dari pemimpin desanya. Kepala Desa selaku pemimpin memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk mensejahterakan masyarakatnya. Bersama para staf aparatur desa dan peran serta masyarakat Desa Meranti sendiri, maka pembangunan dan pembangunan jalur transportasi darat dapat berhasil dilaksanakan.

Adapun Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Meranti diantaranya adalah: 1. Jubar 1943 – 1949

2. Sunar 1950 – 1963 3. Jimin Yanto 1963 – 1965 4. Soman 1966 – 1967 5. Sandris 1968 – 1969 6. Gentong 1970 – 1978 7. Joyolatin 1979 – 1995


(28)

2.3 Jumlah Penduduk

Sebelum tahun 1966, secara resmi Indonesia belum memiliki kebijakan kependudukan yang komprehensif. Dalam rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana juga tidak pernah ada kebijakan kependudukan yang ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran dan angka kematian yang akhirnya berpengaruh pada angka pertumbuhan penduduk.9

Di Indonesia, pertumbuhan penduduk terkonsentrasi di daerah–daerah pedesaan. Seakan tidak dapat dielakkan, bahwa jumlah penduduk yang besar di daerah pedesaan tersebut semakin diperparah dengan sikap dan tingkah laku masyarakat desa tersebut. Banyak masyarakat pedesaan yang terdapat di Indonesia melakukan perpindahan (urbanisasi) baik secara permanen maupun non-permanen ke daerah–daerah perkotaan dengan beragam tujuan dan motivasi. Perpindahan yang dilakukan oleh masyarakat desa terutama pada saat–saat krisis ekonomi terjadi.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali sangat berpengaruh bagi berhasilnya proses pembangunan nasional itu sendiri. Pertumbuhan jumlah penduduk memang cukup sulit untuk dapat diatasi. Butuh program–program yang tepat serta terarah agar pertumbuhan penduduk dapat diminimalisir.

10

Di Desa Meranti pertumbuhan jumlah penduduk juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut selain disebabkan oleh pendatang baru dari para mantan buruh kebun juga dari pendatang suku Batak. Suku Batak yang datang ke Desa Meranti awalnya adalah mereka yang beragama Islam, namun kemudian yang beragama Kristen juga turut datang. Hal ini disebabkan oleh hubungan Apalagi bila krisis ekonomi tersebut terjadi secara berkepanjangan.

9

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dinamika Kebijakan Dan

Kependudukan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 21–22. 10


(29)

marga, dimana menurut kepercayaan tradisional suku Batak bahwa apabila sama marganya atau termasuk turunan marga maka dianggap sebagai saudara walau berbeda agama. Karena ikatan marga inilah kemudian orang-orang suku Batak yang beragama Kristen masuk Desa Meranti.

Pertumbuhan angka kelahiran penduduk di Desa Meranti memang cukup tinggi, hal ini dapat kita pahami oleh karena mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah bertani. Mata pencaharian sebagai petani dalam proses produksinya membutuhkan sumber tenaga. Sumber tenaga yang paling mungkin adalah dengan memakai tenaga keluarga petani itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan bila jumlah anak dalam satu keluarga dari kalangan petani bisa mencapai 8 sampai 10 orang anak. Menurut angka tahun 1980 penduduk Desa Meranti berjumlah 774 KK dengan jumlah penduduk 7.927 jiwa. Agar kita dapat memahami pertumbuhan jumlah penduduk di Desa Meranti, maka ada baiknya bila dijabarkan pula dalam bentuk–bentuk tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

NO Jenis Kelamin Jumlah Porsentase

1. Laki-laki 4.023 jiwa 50,8 %

2. Perempuan 3.904 jiwa 49,2 %

Jumlah 7.927 jiwa 100 %

Sumber: BPS Kabupaten Asahan (Kecamatan Meranti Dalam Angka,1980).

Jika memperhatikan pada tabel 2 maka mayoritas penduduk adalah pada kelompok umur 15–24 tahun dan umur 25–49 tahun. Kelompok umur tersebut merupakan tenaga potensial dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Karena mereka senantiasa harus terlibat dalam berbagai gerak kehidupan untuk memenuhi


(30)

kebutuhan hidup sehari-hari. Terkhusus dalam hal ini adalah gerak kehidupan petani karena hal tersebut merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Meranti. Sedangkan kelompok umur 10–14 tahun merupakan kelompok umur yang kurang berpotensi dalam usaha pertanian terutama disebabkan waktu mereka yang masih harus dipergunakan untuk bersekolah.

Tabel 2: Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur

NO Kelompok Umur Jumlah Porsentase

1. 0 – 4 tahun 1.652 jiwa 20,8 %

2. 5 – 9 tahun 972 jiwa 12,2 %

3. 10 – 14 tahun 1.278 jiwa 16,2 %

4. 15 – 24 tahun 1.591 jiwa 20,1 %

5. 25 – 49 tahun 1.625 jiwa 20,6 %

6. 50 tahun keatas 809 jiwa 10,1 %

Jumlah 7.927 jiwa 100 %

Sumber: BPS Kabupaten Asahan (Kecamatan Meranti Dalam Angka,1980). Adapun persebaran penduduk Desa Meranti menurut agama yang dianut dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3: Distribusi Penduduk Menurut Agama Yang Dianut

NO Agama Yang Dianut Jumlah Porsentase

1. Islam 6.373 jiwa 80,4 %

2. Kristen Protestan 1.430 jiwa 18,0 %

3. Kristen Katholik 124 jiwa 1,6 %

Jumlah 7.927 jiwa 100 %


(31)

Seperti yang telah terungkap pada latar belakang historis Desa Meranti, penyebab terdapatnya mayoritas penduduk beragama Islam disebabkan karena agama Islam merupakan kepercayaan pertama yang dianut dan dibawa oleh suku Melayu. Namun demikian, jumlah terbesar penganut agama Islam bukanlah dari suku Melayu tetapi dari suku Jawa. Kepercayaan–kepercayaan tersebut sudah dianut sejak mereka datang sehingga mereka mewariskan agamanya kepada generasi-generasi selanjutnya.

Di Desa Meranti, masyarakat suku Jawa merupakan mayoritas dengan jumlah 6.225 jiwa. Posisi kedua ditempati oleh suku Batak dengan jumlah 1.402 jiwa. Masyarakat suku Batak kebanyakan tinggal di daerah-daerah pinggir Desa Meranti yang berbatasan langsung dengan Desa Rawang Lama. Sedangkan masyarakat suku Melayu sebagai perintis permulaan Desa Meranti hanya berada pada posisi urutan ke tiga dengan jumlah 240 jiwa. Sisa dari 7.927 masyarakat Desa Meranti setelah dikurangi suku Jawa, suku Batak, dan suku Melayu berjumlah 40 jiwa.

Tabel 4: Distribusi Penduduk Menurut Suku

NO Jenis Suku Jumlah Porsentase

1. Suku Jawa 6.225 jiwa 78,6 %

2. Suku Batak 1.402 jiwa 17,8 %

3. Suku Melayu 240 jiwa 3,1 %

4. Lainnya 40 jiwa 0,5 %

Jumlah 7.927 jiwa 100 %


(32)

2.4 Mata Pencaharian Penduduk

Ditinjau dari jenis mata pencaharian penduduk Desa Meranti, sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani. Pola kehidupan masyarakat sebagai petani sangat dominan mewarnai tatanan kehidupan masyarakat Desa Meranti. Mata pencaharian sebagai petani semakin baik dengan adanya dukungan suplai air dari sungai Serani yang membentang di ujung timur Desa Meranti yang mengaliri areal pertanian masyarakat. Bertani sebagai mata pencaharian memang umum kita dengar dikalangan masyarakat kita, namun demikian para petani Desa Meranti telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri dengan hasil panen yang selalu surplus (lihat tabel 5). Bagi masyarakat petani khususnya masyarakat Desa Meranti, musim panen yang telah tiba adalah saat-saat yang ditunggu. Hasil panen tersebut biasanya akan mereka simpan di rumah untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka sampai musim panen berikutnya tiba. Hasil panen para petani juga ada yang dijual; adapun yang dijual adalah hasil lebih setelah dikurangi kebutuhan pangan rumah tangga itu sendiri yang telah disimpan di rumah tadi. Hasil penjualan biasanya akan mereka belanjakan untuk kebutuhan hidup sehari–hari dan untuk biaya sekolah anak–anak mereka. Ada juga sebagian masyarakat yang membelanjakannya kedalam bentuk perhiasan dan apabila ada kebutuhan yang mendadak, maka bisa dijual kembali.

Tabel 5: Banyaknya Produksi dan Konsumsi Padi di Desa Meranti

Tanaman Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Surplus (Ton)

Padi 3.577,25 1.983,08 1.594,17


(33)

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Meranti tidak terlepas dari kondisi alam desa itu sendiri. Desa Meranti yang luasnya 1.290 Ha memiliki areal pertanian tanaman pangan seluas 1.019 Ha serta didukung oleh bendungan air di wilayah perbatasan dengan Desa Rawang Lama. Dengan areal pertanian yang cukup luas dan sistem pengairan yang teratur dari Sungai Serani tersebut masyarakat Desa Meranti sudah bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (kategori desa swasembada) tanpa harus mendatangkannya dari desa lain.

Untuk dapat melihat sejauh mana perbandingan mata pencaharian petani dengan mata pencaharian lainnya, berikut penulis tampilkan tabel distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian.

Tabel 6: Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

NO Jenis Pekerjaan Jumlah Porsentase

1. Petani 1.169 jiwa 80,1%

2. Pedagang 87 jiwa 6,0 %

3. Karyawan Swasta 115 jiwa 7,9 %

4. ABRI/ Pegawai Negeri 52 jiwa 3,6 %

5. Mocok-mocok 35 jiwa 2,4 %

Jumlah 1.458 jiwa 100 %


(34)

2.5 Pendidikan

Desa, sebuah nama yang tidak akan mudah dilupakan manusia apalagi bagi mereka yang sampai mengalami tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Desa merupakan tumpuan perhatian dan sasaran pendidikan bagi dunia yang baru berkembang. Untuk masyarakat seperti Indonesia, desa merupakan sumber segala inspirasi dalam dunia pendidikan.

Kita ketahui bahwa masih banyak desa-desa yang memang masih terbelakang keadaannya, dan karena itu perlu ditingkatkan secara terus–menerus. Dalam hal pendidikan mereka juga amat terbelakang, maka wajar kalau kita sering mendengar bahwa ”orang desa perlu diangkat”. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan bagi orang desa tentunya anak-anak mudanya untuk menikmati sekolah/pendidikan.11

Masyarakat yang masuk dalam kategori terakhir ini dapat dikatakan sejak kecil sudah terbiasa hidup bergelut sebagai petani dengan penghasilan yang serba terbatas. Berbagai pengertian pendidikan muncul sesuai dengan pandangan hidup suatu masyarakat. Masyarakat Desa Meranti, mengartikan pendidikan sebagai kesempatan untuk memperoleh kepandaian guna dapat bekerja. Ada yang mengidentifikasinya sebagai mencari ilmu pengetahuan. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa pendidikan berarti berguru pada orang yang pandai. Banyak juga diantara mereka yang menyatakan ketidaktahuannya tentang makna dan manfaat dari pendidikan. Mereka yang termasuk kategori ini memiliki ciri-ciri telah berusia lanjut dan buta huruf serta masyarakat dari kalangan ekonomi lemah.

11

Suprihadi Sastrosupono dan Daldjoeni, Benturan Nilai Dalam Kemajuan, Bandung: Alumni, 1981, hal. 106.


(35)

Mereka beranggapan bahwa sekolah tidak ada gunanya, maka tidak heran apabila cakrawala pengetahuan mereka sangat terbatas. Walaupun mereka hidup di lingkungan yang tidak terlalu jauh dari perkotaan (sekitar 10 km dari Kota Kisaran) yang bisa dengan mudah mendapat informasi dan komunikasi. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa manfaat utama pendidikan adalah untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung. Jalan pikiran mereka yang sangat sederhana dan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonominya termasuk tingkat pendidikan mereka yang rendah.

Pekerjaan sebagai petani menurut mereka tidak memerlukan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Sekedar untuk bisa menulis, membaca, dan berhitung agar terhindar dari perlakuan yang tidak wajar ketika menjual hasil pencaharian mereka. Sehubungan dengan tingkat penghasilan mereka yang rendah, menyebabkan mereka tidak dapat membiayai pendidikan anak mereka kesekolah yang lebih tinggi. Kebanyakan anak petani hanya sebatas tamat SD.

Pendapat seperti yang terungkap di atas merupakan sebuah keniscayaan dari acuhnya sebagian kecil masyarakat Desa Meranti terhadap pendidikan anak. Namun demikian, beberapa golongan yang berasal dari kalangan ekonomi atas dan berpikiran maju tidaklah sama pemikirannya. Beberapa diantara mereka yang lebih berpikiran maju mengajak masyarakat untuk secara swadaya membangun sarana pendidikan. Dengan munculnya gagasan untuk membangun sarana pendidikan secara swadaya, lambat laun alam pemikiran masyarakat yang awalnya acuh terhadap pendidikan anaknya menjadi lebih baik.

Sekitar tahun 1960, sekolah dasar pertama berdiri di Desa Meranti yang dipelopori oleh Yayasan Alwashliyah. Lokasi Yayasan Alwashliyah ini terletak di dusun


(36)

IV yang berada di sisi jalan utama Desa Meranti. Pada rentang waktu yang hampir bersamaan dengan dibangunnya Yayasan Alwashliyah juga dibangun Sekolah Dasar atas swadaya masyarakat yang letaknya di sisi sebelah lapangan terbuka Desa Meranti. Sekolah Dasar ini berubah menjadi Sekolah Dasar Negeri setelah di nasionalisasikan pada tahun 1970-an dengan nomor statistik sekolah 010067. Sekolah dasar yang baru muncul pada tahun 1975, yaitu SD Inpres dan mulai beroperasi tahun 1977. SD Inpres yang dibangun pada masa itu berdiri di 3 tempat yang berlokasi di dusun I, dusun V, dan dusun XI. Kelima sekolah dasar yang ada tersebut di bangun untuk dapat menampung anak-anak dari masyarakat Desa Meranti, akan tetapi anak-anak yang di Desa Sei Beluru juga turut belajar di sekolah dasar yang ada di Desa Meranti khususnya yang berbatasan langsung dengan wilayah dusun I Desa Meranti.

Dalam perkembangannya Yayasan Alwashliyah menambah program pendidikan yang diasuhnya pada tahun 1977 dengan membuka ajaran baru yaitu tingkat SMP bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikannya. Pada dasawarsa yang sama (tahun 1972) berdiri pula sebuah sekolah swasta baru yang didirikan atas swadaya masyarakat Desa Meranti. Karena sumber dana pembangunannya berasal dari sumbangan masyarakat Desa Meranti maka sekolah tersebut diberi nama Perguruan Kesatuan Meranti. Program yang dikelola pertama sekali oleh Perguruan Kesatuan Meranti adalah SMP. Lokasi Perguruan Kesatuan Meranti ini berada di dusun III tepatnya disebelah lapangan terbuka Desa Meranti.

Program SMP yang dibuka tersebut merupakan jawaban akan kebutuhan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi bagi masyarakat Desa Meranti. Hal ini ternyata sudah dipahami betul oleh para pelopor pendidikan di Desa Meranti. Karena sebelum ada


(37)

program SMP yang dibuka sebagian masyarakat Desa Meranti menyekolahkan anak– anaknya ke kota. Sampai dengan akhir tahun 1982 anak-anak yang ingin melanjutkan ketingkat SMA harus rela mengayuh sepeda setiap pulang dan pergi sekolah sejauh 10 km untuk mendapatkan pendidikan tersebut di Kota Kisaran.

Adapun distribusi jenjang pendidikan di Desa Meranti dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7: Distribsi Jenjang Pendidikan di Desa Meranti

NO Jenis Sarana Pendidikan Jumlah

1. SD Swasta 1

2. SD Negeri 1

3. SD Inpres 3

4. SMP Swasta 2

Jumlah 7

Sumber: Kantor Kecamatan Meranti.

2.6 Infrastruktur

Salah satu wujud dan cita–cita di bidang pembangunan dalam mensejahterakan masyarakat adalah dengan melaksanakan program–program yang dapat menyentuh langsung ke titik–titik aspek kehidupan masyarakat itu sendiri, khususnya adalah aspek pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur di daerah–daerah secara bertahap dan berkesinambungan dengan berdayaguna dan berhasilguna akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(38)

2.6.1 Infrastruktur Jalan

Infrastruktur jalan di Desa Meranti yang sejak kelahirannya (seperti yang telah dibahas pada latar belakang historis) hingga tahun 1980 masih dalam kondisi belum teraspal. Jalan–jalan di kawasan Desa Meranti sebagian besar terdiri dari jalan berpasir, hanya sebagian kecil saja yang sudah mendapatkan pengerasan. Pengerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan adalah jalan utama Desa Meranti (Jl. Perintis Kemerdekaan). Pengerasan jalan tersebut awalnya diperkirakan sepanjang lebih kurang 5 kilometer. Jalan sepanjang 5 kilometer tersebut dibangun untuk menghubungkan Desa Meranti dengan jalan Lintas Sumatera yang terlebih dahulu harus melewati Desa Sungai Beluru. Sehingga, total pembangunan pada masa itu adalah sepanjang 7 kilometer (pengerasan di Desa Sei Beluru sepanjang 2 kilometer) yang dilakukan secara bersamaan di dua desa, yaitu Desa Sei Beluru dan Desa Meranti.

Walaupun jalan di Desa Meranti belum teraspal dan hanya sebagian kecil yang baru mendapat pengerasan, akan tetapi kondisi jalan yang belum dikeraskan masih tergolong baik dan mudah untuk dapat dilalui. Jalan yang belum beraspal di Desa Meranti pada umumnya adalah terdiri dari tanah pasir. Tidak seperti di daerah–daerah dataran tinggi yang memiliki jalan dengan kondisi jenis tanah liat/merah. Jalan yang berjenis tanah pasir di Desa Meranti masih lebih baik untuk dilalui bila dibandingkan dengan jenis tanah liat/merah yang terdapat di daerah dataran tinggi.

Bila pada musim hujan jenis tanah pasir yang dilalui tidak licin dan melekat, sementara pada jenis tanah liat/merah akan sangat licin serta melekat pada kendaraan yang melaluinya. . Kondisi jenis tanah berpasir yang terdapat di Desa Meranti akan terasa menyesakkan bila pada musim kemarau tiba. Hal demikian disebabkan pada musim


(39)

kemarau jenis tanah pasir akan berdebu dan jenis tanah liat/merah tidak demikian. Pada musim kemarau tiba, banyak masyarakat Desa Meranti akan menyiram badan jalan dengan air agar debu–debu tidak beterbangan dan mengganggu pernapasan.

2.6.2 Infrastruktur Jaringan Listrik

Hingga tahun 1970 infrastruktur jaringan listrik di Desa Meranti belum ada sama sekali yang dibangun. Kondisi demikian membuat masyarakat Desa Meranti harus menggunakan penerangan yang sangat sederhana. Alat yang digunakan sebagai penerangan pada masa–masa itu adalah dengan memakai lampu teplok atau lampu petromak dengan bahan bakar dari minyak tanah.

Ketiadaan infrastruktur jaringan listrik yang terjadi memang membuat masyarakat sarat akan kekurangan informasi. Masyarakat hanya mengandalkan radio–radio kecil bertenaga baterai untuk mendapatkan informasi serta hiburan. Kalaupun ada yang memiliki televisi (televisi hitam putih) hanya segelintir orang dari kalangan ekonomi mapan yang dalam pengoperasiannya menggunakan tenaga baterai accu.

Baru menjelang akhir tahun 1970-an di Desa Meranti terdapat infrastruktur jaringan listrik. Infrastruktur jaringan listrik yang terdapat pada masa tersebut adalah milik perorangan (swasta) yang sifatnya tidak permanen. Jaringan infrastruktur listrik tersebut dibangun oleh warga Desa Meranti yang berdomisili di dusun IV dengan menggunakan mesin tenaga diesel. Mesin tenaga diesel tersebut hanya beroperasi pada menjelang malam hari, tepatnya dari pukul 18.00 WIB s/d pukul 00.00 WIB. Sampai tahun 1982 terdapat tiga warga Desa Meranti yang telah memiliki infrastruktur jaringan listrik dari tenaga diesel seperti ini yang memiliki kapasitas dan tenaga yang serba terbatas.


(40)

2.7 Keadaan Sosial Dan Budaya

Hubungan antara sosial dan budaya merupakan dua sisi yang saling berhubungan. Berbicara tentang masyarakat biasanya akan berujung pada munculnya hubangan yang saling terkait antara keadaan sosial dan keadaan budaya, sehingga keadaan sosial merupakan bagian dari keadaan budaya. Kebudayaan yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, aturan–aturan, serta bentuk organisasi sosial. Suatu keadaan sosial akan selalu terlihat pada kebudayaan yang berpangkal dan muncul dari organisasi sosial yang turut berpengaruh.12

Perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamikanya, disebabkan oleh karena para warganya mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam bentuk orang perorangan maupun kelompok manusia. Sebelum hubungan – hubungan tersebut mempunyai bentuk yang konkrit, maka terlebih dahulu dialami suatu proses kearah bentuk konkrit yang sesuai dengan nilai–nilai sosial di dalam masyarakat. Dalam interaksi sosial yang terjadi, prilaku masyarakat akan dapat terlihat apakah masyarakat tetap dalam kondisi yang damai atau malah terjadi kegoyahan dalam cara–cara atau bentuk–bentuk hidup yang telah ada.

13

Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan manusia yang lain. Dalam hidup bersama antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok tersebut terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya masing–masing. Sedangkan untuk mencapai keinginan tersebut harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan yang

12

Basrowi, Pengantar Sosiologi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hal. 156–157.

13

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1977, hal. 191.


(41)

timbal–balik. Hubungan timbal–balik inilah yang dimaksud dengan interaksi. Interaksi terjadi apabila suatu individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari individu–individu yang lain. Oleh karena itu, interaksi sosial terjadi dalam suatu kehidupan sosial, seperti yang telah diungkapkan oleh Soerjono Soekanto:

”Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena bila tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniyah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang perorangan atau kelompok –kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya”.14

Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan– tindakan yang berdasarkan nilai–nilai dan norma–norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Apabila interaksi tersebut berdasarkan pada tindakan yang tidak sesuai dengan nilai–nilai dan norma–norma yang berlaku, maka kecil kemungkinan hubungan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Misalnya, apabila kita mengutarakan sesuatu dengan hormat dan sopan terhadap orang tua, maka kita akan dilayani dengan baik. Sebaliknya, jika kita berprilaku tidak sopan dan tidak hormat terhadap orang tua, maka mereka akan marah, yang akhirnya hubungan antara kita dan orang tua menjadi tidak lancar.

Interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang mempertemukan individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Bentuknya tidak hanya kerja sama, tetapi bisa juga berbentuk tindakan persaingan, pertikaian, dan sejenisnya.

15

14

Ibid. hal. 192.

15

Basrowi, Op Cit, hal. 138–139.


(42)

Uraian yang dijabarkan diatas dengan jelas telah memberi kita sebuah wawasan dalam melihat prilaku sebuah masyarakat. Dengan kemampuan yang kita miliki dalam melihat masyarakat (dengan ilmu sosiologi), maka kita akan dapat memahami sejauh mana masyarakat melakukan hubungan/interaksi sosial. Apakah dalam interaksi tersebut telah terjalin sebuah hubungan baik yang saling menguntungkan atau malah membuka peluang konflik.

Dengan interaksi sosial yang baik sebuah daerah akan mampu tumbuh lebih baik, tentunya dengan spirit gotong–royong serta solidaritas sosial yang tinggi. Spirit gotong– royong serta solidaritas sosial merupakan jiwa pembangunan yang wajib terdapat dalam masyarakat. Dengan spirit gotong–royong serta rasa solidaritas sosial tersebut pula ketentraman masyarakat dapat selalu terjaga.

Seyogianya, solidaritas sosial merupakan dasar bagi munculnya spirit gotong– royong. Dengan rasa solidaritas sosial yang tinggi sebuah masyarakat telah sadar bahwa manusia juga membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Dengan hidup saling membantu yang merupakan dasar solidaritas sosial maka spirit gotong–royong itu pun muncul. Sekecil apa pun rasa solidaritas sosial yang muncul, berarti masyarakat sudah sadar untuk bangkit dari keterpurukan.

Solidaritas sosial pada masyarakat tidak terlepas dari pada aktivitas–aktivitas masyarakat itu sendiri, baik secara perindividu maupun di dalam kelompok. Karena manusia dalam perjuangan hidupnya maupun kelangsungan generasi ke generasi tidak akan pernah terlepas antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Hubungan terus berproses melalui tinggi rendahnya kadar dari pada rasa solidaritas sosial dalam kehidupan berkelompok, khususnya dalam masyarakat desa. Karena pada umumnya


(43)

masyarakat desa terdiri atas sekelompok masyarakat yang homogen dalam bentuk etnis yang sama. Dalam situasi demikian, tentunya mereka tidak pernah terlepas dari kepentingan komunitasnya yang terdiri dari keharmonisan hidup dikalangan masyarakat. Solidaritas sosialnya terbagi melalui keseragaman kebutuhan dan aktivitas masyarakat sehari–hari.

Masyarakat Desa Meranti yang mayoritas suku Jawa masih memperlihatkan kepribadian yang saling ketergantungan dengan masyarakat disekitarnya. Kehidupan yang demikian menimbulkan adanya bentuk kerja sama yang didasari oleh solidaritas sosial bersama diantara para anggotanya. Hal ini terlihat jelas pada masyarakat Desa Meranti khususnya pada suku Jawa yaitu melalui sistem gotong–royong dan organisasi sosial dalam berbagai kegiatan sepeti PKM (Persatuan Kemalangan Meranti)16

Dalam bentuk pengerahan tenaga kerja untuk pertanian khususnya masyarakat suku Jawa di Desa Meranti dilaksanakan melalui gotong–royong atau istilahnya ”Aruan” (Jawa yang artinya berganti–gantian). Dalam kelompok Aruan yang bekerja hanyalah

.

Kegiatan gotong–royong pada masyarakat Desa Meranti tidak hanya terlihat pada kelompok suku Jawa, tetapi juga pada kelompok–kelompok suku lain seperti suku Batak Toba, Batak Simalungun dan lain–lain. Aktivitas dalam bentuk kesatuan seperti ini hanya terlihat dalam hal yang berkaitan dengan pertanian. Dalam kegiatan lainnya juga masih terjalin partisipasi, misalnya apabila diadakan pesta–pesta (pesta perkawinan, pesta kematian, dan lain–lain), dimana pesta tersebut memerlukan massa, maka sesama mereka selalu saling mengundang tanpa membedakan kelompok etnisnya.

16

PKM ini dibentuk pada setiap dusun, sehingga apabila ada seorang warga meninggal, maka warga yang berada satu dusun dengan keluarga duka menyumbangkan sejumlah dana yang telah disepakati untuk kemudian diserahkan pada keuarga yang berduka tersebut. Sumbangan tersebut diharapkan dapat meringankan beban keluarga yang berduka.


(44)

pekerjaan tani saja. Tetapi dalam bentuk gotong–royong lain umumnya menyangkut beban–beban kerja sosial yang lebih besar lagi, seperti membangun atau memperlebar ruas jalan, mendirikan sarana ibadah, dan lain–lain. Gotong–royong sebagai wujud solidaritas sosial ini secara tidak disadari para kelompok atau individu yang telah mendapat bantuan dari orang lain tadi merasa wajib pula untuk membantu sebagai balasan bantuan yang telah diterimanya sebelumnya.

”Dalam kehidupan Masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa–masa sibuk dalam lingkungan aktivitet produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu seorang petani meminta dengan adat sopan santun yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya, misalnya dalam hal mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru (meperbaiki saluran-saluran air, dan pematang-pematang, mencangkul, membajak dan menggaru dan sebagainya). Petani tuan rumah hanya harus menyediakan makan siang tiap hari kepada teman–temannya yang datang membantu itu, selama pekerjaannya berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuannya”.17

2.8 Tata Ruang

Dalam upaya penataan ruang dan pembangunan di Indonesia, sudah banyak disusun Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) Daerah Tingkat I serta Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Tingkat II dan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTK).18

17

Koenjoroningrat, Masyarakat Desa Di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984, hal. 60.

18

Eko Budihardjo, Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Dan Pembangunan Daerah Untuk

Meningkatkan Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 1 – 2.


(45)

tolak pada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, namun demikian bukan berarti pada tingkat yang lebih bawah menjadi tidak diperhatikan. Bagaimanapun tingkatan sebuah daerah, tata ruang harus tetap tertata agar arah pembangunan menjadi lebih jelas.

Sistem tata ruang adalah sebagai salah satu landasan dalam menjalankan sebuah pembangunan. Dengan dijadikannya sistem tata ruang sebagai salah satu landasan dalam pembangunan, diharapkan berbagai orientasi pembangunan yang akan dilakukan pada masa–masa mendatang dapat lebih mensejahterakan masyarakat yang berorientasi pada wawasan nusantara.19

Sistem pengaturan tata ruang di Desa Meranti hingga tahun 1980 bisa dikatakan belum mendapat perhatian sama sekali. Pengaturan tata ruang yang seharusnya dapat direncanakan sedemikian rupa untuk keserasian serta keharmonisan antara warga masyarakat hingga menjelang tahun 1980 belum tersentuh sama sekali oleh pemerintah. Sangat jauh sekali perbandingannya bila dibandingkan dengan ibu kota Kecamatannya (Kota Kisaran) pada masa itu. Memang tidaklah lajim untuk membandingan antara tata ruang di kota (Kota Kisaran sebagai ibu kota Kecamatan Kisaran pada masa itu telah menunjukkan ciri–cirinya sebagai sebuah kota) dengan desa. Namun demikian sangat Berbagai alasan muncul dalam menjawab mengapa sampai sebuah desa terabaikan dalam proses pembangunan. Khusus dalam tata ruang Desa Meranti, jarak yang cukup jauh serta keterbatasan dana dan tenaga aparatur pemerintahan adalah yang paling sering terdengar. Tata ruang memang belum teratur secara maksimal, namun bukan berarti harus terus diabaikan begitu saja. Tata ruang yang baik harus terus diusahakan dengan menjadikannya sebagai tugas para aparatur pemerintahan untuk kedepannya.

19


(46)

disayangkan bila desa hanya menjadi ”anak tiri” pembangunan khususnya dalam hal tata ruang, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan.20

Tabel 8: Penggunaan Tanah Dalam Tata Ruang Di Desa Meranti

Adapun keadaan letak tata ruang Desa Meranti hingga sampai tahun 1980 adalah sebagai berikut:

NO Penggunanan Tanah Dalam Tata Ruang Luas (Ha) Porsentase

1. Perumahan 80,4 6,20 %

2. Perkantoran 0,5 0,04 %

3. Perdagangan 1 0,08 %

4. Pendidikan 5,3 0,41 %

5. Jalur/Jalan 41 3,20 %

6. Sawah ladang 1019 79,00 %

7. Lainnya 142,8 11,07 %

Jumlah 1.290 100 %

Sumber: BPS Kabupaten Asahan (Kecamatan Meranti Dalam Angka,1980).

20


(47)

BAB III

DESA MERANTI MENJADI IBU KOTA KECAMATAN

TAHUN 1982

3.1 Latar Belakang Pembentukan Kecamatan Meranti

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam beberapa daerah yang besar dan kecil. Pembagian daerah tersebut disesuaikan dengan susunan pemerintahannya yang ditetapkan berdasarkan Undang–Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak–hak asal usul daerah– daerah yang bersifat istimewa. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18 diterangkan bahwa daerah Indonesia akan dibagi ke dalam beberapa daerah propinsi. Daerah propinsi akan dibagi pula ke dalam beberapa daerah yang lebih kecil lagi. Daerah–daerah ini dapat bersifat otonom atau bersifat daerah administratif, sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang–Undang.

Sebagai realisasi dari pelaksanaan pasal 18 UUD 1945 tersebut, telah dibuat Undang–Undang yang mengatur tentang pokok–pokok pemerintahan di daerah yaitu Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974.21

21

Sebelum Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir telah ada Undang–Undang sejenis yang membahas tentang pemerintahan di daerah, berturut adalah: UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, dan UU No. 18 Tahun 1965.

Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa: Undang–Undang ini disebutkan Undang– Undang mengenai pokok–pokok pemerintahan di daerah, oleh karena dalam Undang– Undang ini diatur tentang pokok–pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah, artinya dalam Undang–Undang ini diatur pokok–


(48)

pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas Desentralisasi, asas Dekonsentrasi, dan asas Tugas Pembantuan di daerah.

Untuk mempermudah kita dalam memahami prosedur pembentukan serta sistem kerja pada tingkat Kecamatan, maka alangkah baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan ketiga asas tersebut di atas:

a. Asas Desentralisasi

Asas Desentralisasi adalah asas dimana urusan–urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, maupun yang menyangkut segi–segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri.

b. Asas Dekonsentrasi

Asas Dekonsentrasi adalah asas yang oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di Daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan–urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pejabat–pejabatnya di daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaannya, maupun pembiayaannya. Unsur pelaksananya adalah terutama instansi– instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.


(49)

c. Asas Tugas Pembantuan

Asas Tugas Pembantuan maksudnya adalah bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di Daerah karena hal tersebut akan membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Melihat uraian di atas, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa asas yang melatar belakangi dibentuknya sebuah Kecamatan adalah asas Dekonsentrasi,22

22

Walaupun kedudukan Pemerintahan Wilayah Kecamatan dalam sisitem Pemerintahan RI merupakan perangkat tingkat terbawah dari pelaksanaan asas dekonsentrasi, namun demikian Pemerintahan Wilayah Kecamatan dalam sistim kerjanya tidak dapat mengesampingkan asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan. Untuk lebih jelas bagaimana sistim organisasi dan tata kerja tentang tiga asas tersebut lihat Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik: Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Garamedia Widiasarana Indonesia, 2007, hal. 3–21.

karena asas ini menyebutkan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah Pusat yang ditempatkan di Daerah, dengan kata lain semua urusan pemerintahan di Daerah masih menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.


(50)

Disamping uraian di atas yang melatar belakangi pembentukan sebuah Kecamatan, lebih jelas lagi terdapat dalam pasal 72 ayat (3) Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintahan di daerah. Disebutkan bahwa: Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam Wilayah–wilayah Kecamatan. Dengan demikian maka dapat ditafsirkan bahwa pembentukan sebuah Kecamatan haruslah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Beranjak dari Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, bahwa sebuah Kecamatan harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka untuk tertib dan lancarnya penyelenggaraan pemerintahan dibentuklah Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) tentang tata cara Pembentukan Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan yang tertuang dalam permendagri nomor 138–210 yang mulai berlaku pada 3 Maret tahun 1982.

Pembentukan Kecamatan Meranti berawal dari rencana pembentukan Kota Administratif Kisaran pada tahun 1977. Rencana pembentukan Kota Kisaran menjadi Kota Adminstratif merupakan hal yang dirasa cukup mendesak mengingat ciri–ciri dan sifat–sifat penghidupan perkotaannya. Seiring perkembangan yang terjadi pada Kota Kisaran maka diperlukan penanganan secara khusus.

Kota Kisaran awalnya merupakan ibu kota Kecamatan Kisaran bagi 22 desa. Desa –desa tersebut tersebar disekelilingnya dengan jarak yang jauh dan akses infrastruktur yang agak sulit dilalui. Berlandaskan pada rencana pembentukan Kota Administratif Kisaran, maka berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Kota Kisaran dibagi menjadi 2 (dua) Kecamatan baru. Surat keputusan gubernur tersebut kemudian dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982.


(51)

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut maka status Kota Kisaran tidak lagi sebagai ibu kota Kecamatan Kisaran bagi 22 desa yang sebelumnya, melainkan telah berubah menjadi ibu kota Administratif Kisaran.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982 pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa: Sisa wilayah Kecamatan Kisaran setelah dikurangi dengan 11 (sebelas) Kelurahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) pasal ini terdiri dari: 1.Desa Subur; 2.Desa Sungai Beluru; 3.Desa Rawang Lama; 4.Desa Rawang Baru; 5.Desa Rawang Pasar IV; 6.Desa Sukadamai; 7.Desa Pondok Bunga; 8.Desa Meranti; 9.Desa Sidomuliyo; 10.Desa Tanah Rakyat; 11.Desa Perhutaan Silau; 12.Desa Sungai Balai dibentuk menjadi Kecamatan baru di dalam lingkungan Kabupaten Asahan, dengan nama Kecamatan Meranti dengan pusat pemerintahan kecamatan berkedudukan di Desa Meranti. Dengan demikian, maka desa yang dahulunya masuk sebagai wilayah Kecamatan Kisaran namun tidak masuk dalam wilayah Kota Administratip Kisaran dibentuk dalam kecamatan baru (Kecamatan Meranti) dengan membawahi 12 desa.

Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982 ditandatangani oleh Presiden RI (Soeharto) pada 9 Juni 1982, maka Menteri Dalam Negeri (Amirmachmud) memberitahukan Peraturan Pemerintah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara selaku Kepala Daerah Tingkat I. Selanjutnya berita dari Menteri Dalam Negeri ditindaklanjuti dengan mengadakan koordinasi pada instansi–instansi terkait di tingkat daerah untuk melakukan perencanaan, fasilitas, sarana serta pembiayaan Kecamatan Meranti yang baru dibentuk. Dengan koordinasi yang baik pula kepala daerah yang bersangkutan, Gubernur Sumatera Utara Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan Kecamatan Meranti pada 1 Mei 1983.


(52)

Dengan uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa secara De Jure Kecamatan Meranti berdiri pada 9 Juni 1982. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1982 yang ditetapkan pada 9 Juni 1982 yang ditempatkan dalam lembaran negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1982. Sedangkan secara De Facto Kecamatan Meranti berdiri pada 1 Mei 1983 setelah diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Dalam Negeri.

Sejak terbentuknya Pemerintah Kecamatan Meranti pada 9 Juni 1982 sampai tahun 1990 sudah ada tiga (3) orang yang pernah menjabat sebagai Camat Kecamatan Meranti, yaitu:

a. Bapak Alm. Bikruddin Lubis, BA. Menjabat dari tanggal 1 Mei 1983 s/d 17 Mei 1984 (1 Tahun).

b. Bapak Alm. Amiruddin Lubis, BA. Menjabat dari tanggal 18 Mei 1984 s/d 17 Pebruari 1986 (1 Tahun 7 Bulan).

c. Bapak Alm. Ribut Sairin. Menjabat dari tanggal 18 Pebruari s/d 11 April 1995 (9 Tahun 3 Bulan).


(53)

3.2 Langkah - Langkah Persiapan Pembentukan Kecamatan Meranti

Perkembangan jumlah serta meningkatnya aktifitas penduduk sangat mempengaruhi laju perkembangan suatu daerah. Dewasa ini banyak permasalahan yang selalu muncul pada setiap daerah hampir dalam setiap program–program yang digulirkan seperti, masalah kependudukan, di samping masalah sosial politik, ekonomi dan lain– lain. Sejalan dengan hal tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka usaha yang harus dijalankan adalah dengan memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Sembari terus berupaya semaksimal mungkin dan terus melakukan pembangunan. Kenyataannya dalam memanfaatkan hasil pembangunan tersebut, timbul lagi permasalahan baru seperti pertambahan penduduk serta penyebarannya yang tidak merata. Hal ini dapat menghambat menjadi salah satu usaha mensejahterakan masyarakat., karena pertambahan penduduk harus selalu diimbangi dengan penyediaan segala macam fasilitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Berbagai kebutuhan serta fasilitas tersebut harus ditingkatkan agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Untuk membina dan mengelola wilayah–wilayah Kecamatan yang ada di Indonesia agar benar–benar memenuhi persyaratan maka tugas Departemen Dalam Negeri sebagai organ Pemerintah Pusat sangat diperlukan. Dalam pembinaan dan pengelolaan ini, pemerintah harus melihat tingkat serta fungsi kecamatan tersebut. Karena dalam perkembangan serta peranannya, kecamatan–kecamatan yang terdapat di Indonesia tidaklah sama.

Agar pembinaan dan pengelolaan tersebut di atas dapat dilakukan dengan baik, maka harus ditentukan suatu ukuran untuk menentukan pola pengembangan dan pembinaan dalam memenuhi persiapan langkah–langkah pembentukan kecamatan. Untuk


(54)

menentukan ukuran tersebut perlu dilakukan suatu penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap titik–titik kecamatan di Indonesia. Tujuannya agar ukuran tersebut tetap didasarkan pada ciri–ciri umum dari kecamatan–kecamatan yang terdapat di Indonesia.

Secara garis besar uraian di atas menyimpulkan, bahwa perlunya diciptakan suatu ukuran baku untuk melakukan pembinaan dalam menghadapi langkah–langkah persiapan pembentukan sebuah kecamatan. Langkah–langkah ini sangat diperlukan untuk dapat secara tepat disesuaikan dengan fungsi dan peranannya dalam pengembangan wilayah. Ukuran baku tersebut harus diciptakan sesuai dengan hasil–hasil penelitian terhadap kecamatan–kecamatan yang ada di Indonesia.

Demikian pula dalam rangka persiapan pembentukan Kecamatan Meranti, perlu diciptakan suatu ukuran standart yang baku sesuai dengan yang telah digariskan. Ukuran –ukuran atau syarat–syarat dalam persiapan pembentukan Kecamatan Meranti tersebut harus disesuaikan dengan sifat umum dari kecamatan–kecamatan yang ada di Indonesia. Adapun ukuran yang ditetapkan untuk pembentukan sebuah kecamatan harus memenuhi kriteria jumlah penduduk dan jumlah desa.23

a. Jumlah penduduk untuk wilayah Jawa dan Bali minimal adalah 2.500 Kepala Keluarga atau 12.500 jiwa.

Adapun rincian–rincian dari kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

23

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138–210 tentang Tata Cara Pembentukan Kecamatan

Dan Perwakilan Kecamatan Tahun 1982. Perlu diperhatikan pula, bahwa dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri (bab II) tersebut juga mengatur tentang Perwakilan Kecamatan sebelum sebuah wilayah dibentuk menjadi Kecamatan baru. Dalam hal ini, terjadi pengecualian pada pembentukan Kecamatan Meranti tanpa terlebih dahulu membentuk Perwakilan Kecamatan. Hal ini disebabkan waktu yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan ketentuan tersebut (Permendagri ini ditetapkan pada Maret 1982 sementara Kecamatan Meranti ditetapkan pada Juni 1982).


(55)

b. Jumlah penduduk untuk wilayah di luar Jawa dan Bali minimal adalah 1.500 Kepala Keluarga atau lebih kurang 7.500 jiwa.

c. Wilayah bawahan minimal terdiri dari 4 desa/kelurahan.

d. Kecuali bagi wilayah yang penduduknya lebih dari 4.000 Kepala Keluarga atau 20.000 jiwa, wilayah bawahan dapat terdiri dar 3 desa/kelurahan.

Berdasarkan dengan ketentuan baku yang telah disesuaikan dengan ukuran– ukuran dan syarat–syarat yang telah ditetapkan di atas. Serta mengacu pada sifat–sifat umum seluruh kecamatan yang terdapat di Indonesia. Dengan demikian, pembentukan Kecamatan Meranti telah memenuhi kriteria–kriteria yang telah ditetapkan di atas. Pada tahun 1980 saja jumlah penduduk 12 desa ( 12 desa yang masuk wilayah pembentukan Kecamatan Meranti) sebanyak 50.618 jiwa, Luas Wilayahnya 27.089 Ha, serta jumlah desa yang masuk dalam wilayah pembentukan Kecamatan Meranti sebanyak 12 desa.

Dengan berpedoman pada penjabaran di atas, maka berbagai langkah–langkah persiapan dalam rangka pembentukan Kecamatan Meranti sudah mulai dapat dilakukan. Adapun langkah–langkah yang harus dilakukan dalam pembentukan Kecamatan Meranti adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan Kecamatan diusulkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Asahan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara.

b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara setelah meneliti dan menilai usul dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Asahan, selanjutnya mengusulkan pembentukan Kecamatan Meranti tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.


(56)

c. Usulan pembentukan Kecamatan Meranti diajukan setelah memenuhi kriteria– kriteria seperti yang telah dijabarkan sebelumnya beserta bahan–bahan pendukung sebagai bentuk pertimbangan, seperti:

1) Urgensi pembentukan Kecamatan Meranti.

2) Desa–desa yang akan masuk wilayah pembentukan Kecamatan Meranti. 3) Letak ibu kota Kecamatan Meranti.

4) Jumlah penduduk dan tingkat perkembangannya.

5) Jumlah pegawai, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. 6) Instansi–instansi vertikal dan dinas yang telah ada.

7) Fasilitas–fasilitas umum (public utilities) yang telah tersedia. 8) Jaringan–jaringan jalan yang telah tersedia.

9) Peta wilayah Kecamatan yang akan dibentuk termasuk Kecamatan induk beserta desa–desa dengan batas–batas yang jelas.

d. Usulan tersebut bersama data–data (poin c) selanjutnya diteliti oleh Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan faktor–faktor pengembangan wilayah dan pemerataan laju pembangunan antar wilayah/daerah.

e. Usulan yang telah diteliti dan telah memenuhi persyaratan–persyaratan, oleh Menteri Dalam Negeri diajukan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan.

f. Tanggapan/pertimbangan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah diolah kembali oleh Menteri Dalam Negeri untuk kemudian diajukan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuannya yang berupa Peraturan Pemerintah.


(57)

Setelah Presiden memberikan persetujuannya melalui Peraturan Pemerintah, maka Gubernur Sumatera Utara Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan Kecamatan Meranti. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut dan diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara Kepala Daerah Tingkat I maka status Kecamatan Meranti adalah setara dengan kecamatan–kecamatan lain yang sebelumnya telah lahir lebih dulu.

3.3 Alasan Dipilihnya Desa Meranti Menjadi Ibu Kota Kecamatan

Desa, lahir atau berkembang secara tradisional tanpa direncanakan dan tanpa tata ruang desa yang jelas dan bertanggungjawab. Hampir semua fasilitas yang dimiliki kota belum pernah atau mungkin masih lama tidak akan dimiliki dan dinikmati orang yang tinggal di desa. Lahirnya atau timbulnya suatu desa, kalau dilacak lebih jauh kebanyakan adalah suatu kebetulan.24

24

B.N, Marbun, Proses Pembangunan Desa: Menyongsong Tahun 2000, Jakarta: Erlangga, 1988, hal. 24–25.

Letak Desa Meranti yang strategis adalah sebuah peluang yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi desa yang maju di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Selain letaknya yang strategis, masih banyak alasan yang memungkinkan bagi Desa Meranti untuk dapat dikembangkan sebagai desa yang lebih maju. Dari berbagai aspek yang muncul dari dalam Desa Meranti itu sendiri ternyata telah membawanya dalam satu tingkat yang lebih baik lagi. Tingkatan tersebut adalah terpilihnya Desa Meranti sebagai ibu kota Kecamatan Meranti.

Hal-hal yang melatarbelakangi mengapa Desa Meranti dipilih menjadi ibu kota Kecamatan, setidaknya dapat dilihat dari potensi fisik dan potensi non-fisik desa tersebut:


(1)

5.2 Saran

Desa Meranti sebagai ibu kota Kecamatan Meranti bukanlah terpilih secara kebetulan, melainkan melalui sebuah proses. Proses yang dilakukan dalam pengkajian serta survei di lapangan yang dilakukan dengan prosedur yang baku dan standart. Hasil pengkajian serta survei yang sesuai dan tepat inilah yang kemudian menempatkan Desa Meranti terpilih dari 12 desa yang ada untuk menjadi ibu kota Kecamatan Meranti.

Setelah melihat dan belajar secara langsung dari “Perkembangan Desa Meranti Pasca Menjadi Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Asahan Tahun 1982–1990” maka penulis memberikan saran berikut ini.

Desa Meranti yang telah dapat kita katakan berhasil dalam kapasitasnya menjadi ibu kota kecamatan, sudah selayaknya memang untuk berbangga hati bagi segenap aparatur Pemerintahan Kecamatan yang telah bekerja selama ini dalam pelayanannya pada masyarakat. Rasa bangga tersebut bukan berarti harus membuat kita lupa akan hari depan yang masih panjang. Perlu kerja yang lebih keras lagi untuk meningkatkan yang belum terselesaikan sembari tetap menjaga yang telah berhasil agar jangan sampai terpuruk kembali. Seperti pada nilai–nilai gotong–royong serta budaya pada masyarakat yang mulai memudar.

Kiranya penulisan ini dapat menjadi wahana pembelajaran bagi segenap Pemerintahan Daerah baik kecamatan maupun kabupaten khususnya di wilayah Asahan. Dengan melihat kebutuhan yang mendesak pada era Otonomi Daerah saat ini dalam gaung pemekaran wilayah, kiranya “kasus Desa Meranti” ini dapat menjadi contoh. Jangan sampai “nilai suci” Otonomi Daerah menjadi “ternoda” karena salah dalam penentuan titik lokasi sebuah ibu kota hanya karena kepentingan–kepentingan tertentu.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, 1994. Pemuda Dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

Ali, Madekhan, 2007.

Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press.

Budihardjo, Eko, 1995. Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Dan Pembangunan Daerah Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Daldjoeni, N dan M. Suprihadi Sastrosupono, 1981. Benturan Nilai Dalam Kemajuan. Bandung: Alumni.

Dwipayana, G dan Nazaruddin Sjamsuddin, (ed), 1991. Jejak Langkah Pak Harto:1 Oktober 1965 – 27 Maret 1968. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada. _____________________________________, (ed), 1991. Jejak Langkah Pak Harto:28

Maret 1968 – 23 Maret 1973. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada. _____________________________________, (ed), 1992. Jejak Langkah Pak Harto:16

Maret 1983 – 11 Maret 1988. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada. Faturochman, dkk, (ed), 2004. Dinamika Kependudukan Dan Kebijakan. Yogyakarta:

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.

Gottschalk, Louis, 1985. Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI-Press.

Ibrahim, Jabal Tarik, 2003. Sosiologi Pedesaan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

Kansil, C.ST dan Cristine S.T. Kansil, 2006. Kitab Undang – Undang Otonomi Daerah (Kitab 1 dan 2). Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Kartodirejo, Sartono, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat, 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


(3)

Marbun, B.N, 1988. Proses Pembangunan Desa: Menyongsong Tahun 2000. Jakarta: Erlangga.

M.S. Basrowi, 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nurcholis, Hanif, 2007. Teori dan Praktek: Pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Prawironoto, Hartati, dkk, 1992 Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, (ed), 1982. Sosiologi Pedesaan: Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sinuhaji, Wara, 2005. Aktivitas Ekonomi Dan Enterpreneurship: Masyarakat Karo Pasca Revolusi. Medan: USU Press.

Soekanto, Soerjono, 1977. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Suhardi dan Djenen Bale, (ed), 1982/1983. Perkampungan Di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial. Jambi: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Sujamto, 1990. Otonomi Daerah: Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Syafrudin, Ateng, 2006. Kapita Selekta: Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah. Tangerang: Citra Media.

Tim Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Majalah

Pelita Desa, No 29-30, Tahun 1982/1983. Medan: CV. Patriot.


(4)

Lampiran: II

Gambar 1: Irigasi yang mengairi sawah masyarakat Desa Meranti dengan latar belakang areal persawahan.


(5)

Lampiran: III

Gambar 3: Lapangan Terbuka Desa Meranti dengan Background Kantor Kecamatan Meranti.


(6)

Lampiran: IV

Gambar 5: Sekolah Yayasan Perguruan Kesatuan di Desa Meranti