32
mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan Winarno, 2004: 91.
3. Aktor Kebijakan
Aktor kebijakan adalah siapa-siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Secara garis besar aktor kebijakan dapat digolongkan dalam dua
kategori: pemian resmi atau formal dan aktor tidak resmi atau non-formal Winarno, 2004: 91. Aktor kebijakan resmi atau formal, dalam hal ini adalah
Presiden, Menteri, pejabat publik, badan-badan administrasi pemerintah, lembaga yudikatif, dan lembaga legislatif. Sedangkan yang termasuk dalam
kategori aktor
kebijakan non-formal
meliputi kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, dan warga negara individu. Kelompok-kelompok ini memiliki peran yang sangat penting dalam
merumuskan kebijakan. Hanya saja peran kelompok kepentingan ini tergantung pada sistem pemerintahan suatu negara, apakah negara tersebut
demokrasi atau otoriter. Kelompok kepentingan ini mencangkup pegiat dan aktivis organisasi non-pemerintah, media massa, dan lembaga analis atau
pemikir kebijakan yang indenden. Istilah lain untuk aktor kebijakan adalah pemangku kepentingan
stakeholder. Stakeholder kebijakan bisa mencangkup aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik Edi,
2008:24. Stakeholder Putras, 2005 secara garis dibagi menjadi tiga kelompok.
33
a. Stakeholder kunci adalah mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder mencangkup unsur eksekutif
sesuai tingkatnya, legislatif, dan lembaga-lembaga pelaksana program. b. Stakeholder primer, adalah mereka yang memiliki kaitan kepentingan
secara langsung dengan suatu kebijakan, program, atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam
penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer mancangkup: masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan, tokok masyarakat, lembaga publik
yang bertanggung jawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan. c. Stakeholder sekunder adalah mereka yang tidak memiliki kaitan
kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, atau proyek, namun memiliki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara
dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah. Stakeholder sekunder ini meliputi kelompok-kelompok kritis, organisasi
profesional, LSM, dan organisasi sosial.
D. Penelitian yang Relevan
Penulis menemukan satu penelitian yang relevan di mana penelitian tersebut memiliki tema yang sama, yaitu partisipasi LSM. Penelitian tersebut
berjudul “Partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Mengontrol Praktek Politik Uang Pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah”, yang di
susun oleh Sirajuddin dan Solehoddin 2011. Berdasarkan bidang yang dikaji, penelitian ini meneliti pada bidang kajian politik dan seting penelitian
bertempat di Malang.
34
Hasil penelitian yang disusun oleh Sirajuddin dan Solehoddin ini menyimpulkan:
Ada 4 empat bentuk partisipasi lembaga swadaya masyarakat di Kabupaten Malang dalam mengontrol politik uang pada pemilihan langsung
kepala daerah, yakni: Pertama, melakukan kajian-kajian dan diskusi sekaligus koalisi untuk menyatukan langkah berbagai pihak untuk mengeliminir praktek
politik uang sehingga tercipta good governance. Kedua memberikan pendidikan politik bagi rakyat dalam rangka membangun kedewasaan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya Pemilu yang jurdil dan good governance. Ketiga melakukan pengawasan secara langsung pada pelaksanaan
Pilkadal; dan keempat, melakukan tekanan kepada pemerintah daerah dan DPRD agar konsisten dan sungguh-sungguh dalam mewujudkan good
governance.
Jurnal Hasil Penelitian yang Relevan
Jurnal hasil penelitian ini disusun oleh Muhammad Iqbal, mahasiswa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PSE-KP, Bogor
d alam jurnal yang berjudul “Konstelasi Institusi Pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat d alam PIDRA”, Muhammad Iqbal melakukan penelitian
pada bidang kajian ekonomi dan pertanian, yang menjadi fokus utama adalah pola kerjasama antara lembaga pemerintah dan LSM dalam menjalankan
program PIDRA Participatory Integrated Development in Rainfed Area. Setiap implementasi pembangunan memerlukan sumbangsih atau
partisipasi segenap pemangku kepentingan. Salah satu dari pemangku
35
kepentingan tersebut adalah LSM yang memiliki peran strategis sebagai mitra pemerintah.
Konstelasi institusi pemerintah dan LSM yang paling menonjol dalam Program PIDRA adalah pada tingkat desa, di mana masing-masing lembaga
ini diwakili oleh petugas teknis lapangan institusi pemerintah dan fasilitator LSM yang secara sinergis melakukan kegiatan bersama masyarakat. Hasil dari
implementasi Program PIDRA di Kabupaten Ponorogo menunjukkan bahwa konstelasi institusi pemerintah dengan LSM Algheins membawa dampak yang
cukup positif dalam pemberdayaan masyarakat setempat, baik dari sisi pengembangan
kemampuan capacity
building maupun
dari sisi
pengembangan kelembagaan institutio- nal development. Kendati selama ini ada segelintir aparat pemerintah bersikap ragu-ragu
atau bahkan berpandangan negatif terhadap LSM, keberhasilan success story Program PIDRA patut dijadikan contoh acuan untuk mengubah sikap pandang
tersebut. Pengalaman dari implementasi Program PIDRA merupakan bukti nyata keharmonisan konstelasi institusi pemerintah dan LSM. Kuncinya,
konstelasi tersebut harus dibangun melalui kerjasama ketatalaksanaan yang bersifat partisipatif participatory collaborative management.
Setelah membaca hasil penelitian yang disusun oleh Sirajuddin dan Solehoddin, beserta jurnal hasil penelitian Muhammad Iqbal, penulis dapat
melihat dengan jelas perbedaan dan kesamaan yang ada, mulai dari bidang kajian, tempat penelitian dan fokus penelitian. Meskipun begitu ada kesamaan
dalam hal tema, dan tujuan utama yakni: deskriptif dan eksploratif.